Skip to main content

Pokok Ajaran Nuruddin al-Raniri

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 02, 2012

Nuruddin al-Raniri menganggap salah satu hal yang mendasar di kalangan teologi kaum muslimin Melayu Indonesia adalah Aqa’id, karena itu dia berusaha menjelaskan antara lain hubungan dengan alam raya serta manusia. Dia menjelaskan doktrin Asy’ariyah mengenai perbedaan antara Tuhan dengan alam raya, asal usul dunia dalam masa dan transendensi mutlaq Tuhan dan perbedaannya dengan manusia. Dia sangat setia dengan ajaran Al-Asy’ariyah karena itu ia sangat keras menentang Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani yang mempertahankan ajaran Imanensi Tuhan dan ciptaannya.
Tugas utama dan mendasar bagi seorang muslim dalam hidupnya ditegaskannya dalam bukunya Al-Sirat Al-Mustaqim dengan menekankan pentingnya syari’at dalam praktek Tasawuf.
Pandangan terhadap ajaran wujudiyah yang telah berkembang di Aceh dalam abad 16 dan 17 M berkat usaha dua ulama pada waktu itu, yaitu Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani, pokok ajaran tersebut berkisar pada :
  1. Kesatuan wujud Tuhan dengan alam serta manusia
  2. Perbedaan syari’at dengan hakekat.
Alam dan Tuhan bukanlah dua hal yang berlainan, keduanya merupakan dua aspek dari satu hakekat. Hubungan keduanya seperti hubungan lahir dengan batin, lahirnya adalah manusia dan batinnya adalah Tuhan.
Terhadap masalah pertama yang menyatakan Tuhan dengan wujud alam dengan manusia, syekh Nuruddin mengatakan bahwa kalau benar Tuhan dan makhluq hakikatnya satu, sehingga dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, maka jadilah semua hayawanan dan nabatat dan najasat sekaliannya itu Allah, segala barang yang kita makan dan barang yang kita minum dan barang yang kita bakar sekaliannya itu Allah. Demikian pula yang kita lakukan, seperti membunuh, merampok, dan sebagainya maka Allah turut serta juga dalam perbuatan itu.
Mengenai masalah kedua, yaitu Syari’at berbeda dengan hakekat, dan karena itu perbedaan Tuhan dengan makhluq hanya dari segi syari’at bukan dari segi hakekat, Nuruddin menolaknya dengan mengemukakan sejumlah ucapan ulama-ulama besar yang menyatakan kaitan yang sangat erat antara syari’at dengan hakekat. Di antara ulama tersebut adalah tokoh-tokoh sufi yaitu:
  1. Syekh Abu Hafs Suhra Wardi.
  2. Syekh Abu al-Husain al-Nuri berkata : Barang siapa yang anda lihat mendakwah beserta Allah suatu hal yang mengeluarkannya dari ketentuan/batas/ilmu syari’at maka janganlah sekali-kali anda mendekatinya.
  3. Imam Abu Qasim al-Qusyairi berkata: Tiap-tiap hakekat yang tidak berkaitan dengan syarat maka ia tidak berhasil.
  4. Syekh Abu Yazid al-Bustami berkata : Jikalau anda melihat seseorang lelaki dianugerahkan Allah kepadanya keramat (kemuliaan) hingga ia dapat bersila di udara maka janganlah anda terpedaya dengannya sehingga anda tilik betapa ia menjunjung melaksanakan perintah dan menjauhkan larangan serta menjaga batas-batas dan menunaikan syari’at. 
Menurut al-Attas sedikitnya ada lima hal yang dijadikan alasan al-Riniri untuk menghujat doktrin wujudiyah yaitu;
  1. Gagasan Hamzah Fansuri tentang Tuhan, alam, manusia dan hubungan masing-masing tidak berbeda dengan gagasan para filosof, kaum Zoroaster dan bahkan Brahmanisme.
  2. Ajaran Imanensi Tuhan dalam alam secara mutlaq merupakan ajaran yang sesat.
  3. Ajaran wujudiyah bahwa Tuhan itu wujud sederhana sama dengan pendapat filsafat yang dianggap sesat dan bertentangan dengan aqidah Islam.
  4. Ajaran wujudiyah bahwa al-Quran itu makhluk yang diciptakan, sama dengan ajaran kaum Qadariyah dan Muktazilah yang menyimpang.
  5. Ajaran wujudiyah bahwa alam ini terdahulu bertentangan dengan aqidah Islam.
Dengan penolakan terhadap wujudiyah, nampaknya Nuruddin al-Raniri berusaha menampilkan ajaran Asy’ariyah terhadap persoalan-persoalan ketuhanan demikian hubungan antara hakekat dengan syari’at.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Harun Nasution, Filsafat dan Mastisisme dalam Islam (Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1995). Oman Fathurrahman, Tanbih al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud, Kasus Abd Rauf Singkel di Aceh Abad XVII (Cet. I; Bandung : Mizan, 1999).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar