Skip to main content

Perdebatan Masalah Akal dan Wahyu

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 03, 2011

Masalah akal dan wahyu telah menjadi bahan polemik dikalangan kaum teolog Islam, terutama antara Muktazilah di satu pihak dengan Asy'ariyah dan Maturidiyah di pihak lain. Adapun yang dipermasalahkan adalah kesanggupan akal dan fungsi wahyu terhadap persoalan-persoalan pokok agama, yaitu soal mengetahui Tuhan dan masalah soal baik dan buruk.
Adapun hal yang menjadi bahan polemik dikalangan teolog Islam, yaitu sejauh mana akal dan wahyu mengetahui tentang adanya Tuhan, kewajiban manusia berterimah kasih kepada Tuhan, baik dan buruk, kewajiban manusia berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan buruk.
Muktazilah sebagai aliran yang paling rasional, mengakui kemampuan akal dalam mengetahui ke empat hal tersebut. Menurut mereka bentuk pengetahuan dapat diperoleh dengan kekuatan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dari pandangan tersebut, dapat dipahami bahwa menurut Muktazilah manusia senantiasa dituntut untuk mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya sesuai dengan pengetahuan akalnya. Manusia juga wajib mengetahui kebaikan dan kejahatan dan berlaku hukum tanggung jawab atasnya, yaitu wajib mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat. Sebagai konsekuensi dari itu, berlaku pula al-Wa'd wa al-Wa'id yang berarti bahwa siapa yang berbuat baik pasti akan diberi pahala dan siapa yang berbuat jahat pasti dijatuhi hukuman.
Sehubungan dengan ini Abu Huzail dengan tegas mengatakan bahwa sebelum turunnya wahyu orang telah berkewajiban mengetahui Tuhan dan jika ia tidak berterima kasih kepada Tuhan maka orang  yang demikian mendapatkan hukuman. Baik dan jahat menurut pendapatnya, juga dapat diketahui dengan perantaraan akal dengan demikian orang wajib mengerjakan yang baik, seperti bersikap lurus dan adil serta wajib menjauhi yang jahat seperti berdusta dan berbuat zhalim. Di antara pemimpin-pemimpin Muktazilah yang berpendapat demikian antara lain al-Nazzam, al-Jubba'i dan anaknya Abu Hasyim.
Menurut al-Qadi Abd al-Jabbar salah seorang pemuka Muktazilah, akal hanya dapat mengetahui kewajiban-kewajiban secara Umum (mujmal), tetapi tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik mengenai kehidupan manusia di dunia terlebih lagi kehidupan manusia di akhirat. Oleh karena itu sangat dibutuhkan datangnya wahyu untuk memberikan perincian. Contohnya, akal mengetahui wajib berterima kasih kepada Tuhan, tetapi wahyulah yang menjelaskan perincian tersebut dengan cara berterima kasih berupa ibadah shalat, zakat, puasa dan haji.
Selanjutnya tidak semua kebaikan dan kejahatan dapat diketahui oleh akal. Akal kata Ibn Hasyim dapat mengetahui kewajiban menjauhi perbuatan-perbuatan yang membawa kemudaratan tetapi ada perbuatan-perbuatan yang tidak dapat diketahui akal yaitu apakah perbuatan itu membawa kebaikan atau kejahatan. Dalam hal ini, wahyulah yang menentukan buruk dan baik perbuatan tersebut. Sebagai contoh akal mengatakan bahwa memotong binatang adalah perbuatan tidak baik tetapi wahyu turun menjelaskan bahwa menyembelih binatang untuk keperluan- keperluan tertentu seperti memperingati peristiwa keagamaan guna memperkuat tali persahabatan dan menunjukkan rasa kasih sayang kepada fakir miskin adalah baik.
Adapun golongan Asy'ariyah berpendapat bahwa akal hanya dapat mengetahui satu dari ke empat masalah tersebut, yaitu adanya Tuhan. Akal tidak mampu mengetahui tugas-tugas dan kewajiban manusia terhadap Tuhan, tidak mampu mengetahui yang baik dan yang buruk. Dengan ketidak mampuan akal, maka wahyu Tuhan datang untuk memberi petunjuk serta penggambaran yang pada mulanya tidak diketahui oleh manusia. Demikian pula dalam hal pemberian pahala bagi orang yang taat dan siksaaan bagi orang yang berbuat dosa, tidak bisa diketahui oleh akal melainkan oleh wahyu.
Al-Syahrastaniy salah seorang pengikut Asy'ariyah mengatakan bahwa kewajiban-kewajiban dapat diketahui melalui wahyu dan pengetahuan tentang Tuhan dapat diketahui oleh akal. Akal tidak dapat menentukan bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib. Wahyu sebaliknya tidak dapat mewujudkan pengetahuan tentang Tuhan akan tetapi wahyu membawa kewajiban-kewajiban.
Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa dari keempat persoalan tersebut hanya satu yang dapat diperoleh melalui wahyu yaitu kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Sedangkan mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk diperoleh melalui akal. Pendapat ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh aliran Muktazilah, perbedaannya ialah aliran Muktazilah empat persoalan yang dimunculkan tersebut seluruhnya dapat diketahui melalui akal.
Kemudian Maturidiyah Bukhara membagi dua dari empat persoalan tersebut, yaitu dua dapat diketahui melalui wahyu yakni kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, sedangkan yang dua lainnya dapat diperoleh melalui akal yaitu tentang mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang buruk.
Dalam persoalan mengetahui Tuhan, Maturidiyah berpendapat bahwa akal dapat mengetahui Tuhan melalui penalaran. Sebagaimana Allah telah memerintahkan untuk melakukan penalaran dalam sejumlah ayat-ayat Alquran. Allah memerintahkan kepada manusia untuk berfikir mengenai kerajaan langit dan bumi dan memberikan pengetahuan kepada manusia bahwa sekiranya akal pikiran diarahkan secara konsisten, telepas dari pengaruh hawa nafsu dan taqlid, niscaya ia akan sampai kepada iman dan ma’rifah tentang Allah.
Antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara terdapat perbedaan pendapat dalam memandang fungsi wahyu terhadap masalah-masalah tersebut. Kaum Maturidiyah Samarkand sependapat dengan Muktazilah, sedangkan Maturidiyah Bukhara sependapat dengan Asy'ariyah. Bagi ke dua aliaran yang disebutkan terakhir, fungsi wahyu lebih banyak dibanding dengan kedua aliran sebelumnya. Bagi mereka hanya wahyulah yang dapat menentukan wajibnya bagi manusia sebagai makhluk untuk berterimah kasih kepada Tuhan, hanya wahyulah yang dapat menentukan perbuatan yang baik dan yang buruk. Akal tidak mempunyai peranan dalam menentukan semua itu.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Maża, diterjemahkan oleh Abd. Rahman Dahlan dan AhmadQarib dengan judul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos, 1996, Abi al-Fath Muhammad Abd al-Karim bin Abi Bakar Ahmad al-Syahrastaniy, Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986, Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi rasional Mu‘tazilah. Jakarta: UI Press,1987, Nur Iskandar al-Barsany, Pemikiran kalam Iman Abu Mansur al- Maturidi: Perbandingan dengan Kalam Mu'tazilah dan al-Asy'ariy.Jakarta: Raja Grafinddo Persada, 2001.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar