Skip to main content

Pokok-pokok Ajaran Maturidiyah Samarkand

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: July 20, 2012

Menurut Maturidiyah Samarkand, sifat-sifat Tuhan bukan sesuatu diluar dzat-nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada zat-nya dan tidak pula terpisah dari dzat-nya. Sifat-sifat tersebut mempunyai eksistensi yang mandiri dari dzat, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa banyaknya sifat-sifat itu akan membawa kepada banyaknya yang qadim (kekal). Menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya, tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan berkuasa bukan dengan dzat-Nya, tetapi berkuasa dengan kekuasaan-Nya.
Tuhan bersifat immateri karenanya ayat-ayat Al-Quran yang menggambarkan Tuhan seakan-akan mempunyai sifat materi seperti kata tangan, wajah dan penglihatan. Seperti yang terdapat dalam ayat Al-Quran.
يدالله فوق أيديهم
Artinya: Tangan Allah diatas tangan mereka (Q.S. al-Fath: 10)
Sebenarnya yang dimaksud adalah “kekuasaan, rahmat dan penguasaan” Tuhan atas makhluk-Nya. Hal ini sejalan dengan aliran Muktazilah namun berbeda dalam mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Sedangkan mengenai apakah Tuhan dapat dilihat nanti, Muturidiyah Samarkand sejalan dengan Asy’ary bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.
Paham tentang perbuatan manusia dan kehendak mutlak Tuhan
Mengenai perbuatan-perbuatan mansuia, Maturidiyah Samarkand sependapat dengan golongan Muktazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian, Maturidiyah Samarkand mempunyai paham searah dengan paham Qadariyah.
Selanjutnya menurut Maturidiyah Samarkand, segala perbuatan manusia terjadi atas kehendak dan kemauan Tuhan. Dalam hal ini ada dua perbuatan yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk pencitaan daya, sedangkan perbuatan manusia mempergunakan daya dan daya itu sendiri diciptakan Tuhan secara bersama bukan sebelum perbuatan. Akan tetapi, daya menurut Maturidi tidak sama dengan daya menurut Asy’ary. Al-Maturidi daya memberi pelung bagi manusia untuk berperan dalam perbuatannya, maksudnya Tuhan adalah pencipta yang melahirkan wujud suatu perbuatan, sedangkan manusia adalah pelaku yang mempunyai pilihan (ikhtiar) dalam perbuatannya.
Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap makhluk-Nya. Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib berbuat baik terhadap hamba-Nya. Pada perbuatan manusia terdapat daya yang diciptakan oleh Tuhan dan perbuatan itu sendiri dari manusia. Mengenai Al-Wa’ad wa al-Wa’id, menurut al-Bazdawi tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi upay kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan tidak mungkin Tuhan membatalkan janjinya untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat.
Paham tentang Iman
Ma’rifat bukanlah esensi iman melainkan faktor penyebab hadirnya iman, jadi menurut Al-Maturidi iman adalah tasdiq yang berdasarkan ma’rifat.iman adalah mengetahui Tuhan dalam ke Tuhanan-Nya, ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan segala sifatnya.
Iman adalah tasdiq bi al-qalb yaitu menyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan tasdiq bi al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Golongan ini mempunyai paham yang sama dengan kaum Asy-ariyah bahwa akal tidak sampai pada kewajiban adanya Tuhan, iman tidak dapat mengambil bentuk Ma’rifat atau amal, tapi haruslah merupakan tasdiq saja.
Paham tentang akal dan wahyu
Menurut al-Maturidy golongan Samarkand, akal mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk. Dengan demikian, akal juga dapat mengetahui bahwa berbuat buruk adalah buruk dan berbuat baik adalah baik, dan pengetahuan inilah yang memastikan adanya perintah dan larangan.
Paham tentang pelaku dosa besar
Mengenai dosa besar, Al-Maturidiyah Samarkand sependapat dengan al-Asy’ari bahwa orang berdosa besar masih tetap mu’min, dan mengenai dosa besarnya, Tuhan kelak di akhirat ia juga menolak paham al-manzilah bain al-Manzilatain Kaum Muktazilah.
Menurut aliran ini meskipun seseorang melakukan dosa besar dia masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Hal ini tentu sejalan dengan konsep keimanan al-Matudi yang telah kita uraikan di atas bahwa iman adalah ikrar wa-tasdiq sehingga iman adalah yasidu wala yangkusu. Sehingga dengan demikian hati tidak akan terpengaruh oleh perbuatan-perbuatan badan. Adapun balasan yang diterimanya nanti di akhriat tergantung apa yang dilakukannya di dunia sebab Tuhan akan menepatinya. Jika pelaku dosa besar itu mati sebelum bertaubat dan Tuhan menghendaki masuk neraka maka dia tidak akan kekal di dalamnya.
Paham tentang Al-Quran
Dalam hal ini, Al-Maturidi tidak sepaham dengan Mu’tazilah tentang al-Quran. Sebagaimana al-Asy’ary, al-Matridi mengatakan bahwa kalam atau sabda Tuhan tidak diciptakan tetapi bersifat qadim. Kalam Tuhan adalah sifat Azali Tuhan, karena itu Ia qadim dan tidak baru.
Al-Maturidi berpendapat bahwa Al-Quran (kalam Allah) terbagi terbagi dalam dua bentuk. Pertama, Kalam nafsi, yaitu kalam yang ada pada dzat Allah Swt dan bersifat qadim bukan dalam bentuk hurup dan suara. Kalam ini menjadi sifat Allah Swt sejak dahulu kata. Manusia tidak dapat mengetahui hakikat-Nya. Kalam yang terdiri dari hurup dan suara, yang disebut mushaf (kumpulan lembaran).
Paham Tentang Melihat Tuhan
Melihat Tuhan pada hari kemudian adalah hal yang dapat terjadi pendapat al-Maturidiyah ini berdasarkan pada Al-Quran surat Al-Qiyamah: 22-23 :
وجوه يومئذ ناضرة, الى ربها ناظرة
Artinya:
Wajah-wajah (orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”.
Al-Maturidi yang menetapkan bahwa Allah swt dapat dilihat pada hari kiamat, menegaskan bahwa itu merupakan salah satu keadaan khusus hari kiamat, sedangkan keadaan itu hanyalah Allah swt yang mengetahui bagaimana bentuk dan sifatnya. Manusia tidak mengetahui tentang hari kiamat kecuali melalui ungkapan dan pernyataan yang menetapkannya. Membicarakan bagaimana sebenarnya hari kiamat itu termasuk sikap yang melampaui batas.
Dalam hal ini, Maturidiyah Bukharah dan Samarkand sepaham dengan Asy’ariah. Al-Maturidi juga berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat karena ia mempunyai wujud. Menurut al-Bazdawi, Tuhan dapat dilihat, sungguhpun tidak mepunyai bentuk, tidak mengambil tempat dan tidak terbatas.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Imam Muhammad Abu Zahra, Tarikh Al-Mazahib al-Islamiyyah fi al-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyah, Diterjemahkan oleh Abdul Rahman Dahlan dan Ahmad Darib, dengan Judul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Cet. I; Logos Publishing House, 1995). Departemen Agama RI., Al-Quran dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra). Toshihiko Itzusu, The Concept of Belif in Islamic Theology, Diterjemahkan Agus Fahri Husein, Analisa Semantik Iman dan Islam (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994). Rosihan Anwar dan Abdul Razak, Ilmu Kalam (Cet. II; Bandung: Pustaka Setia, 2003). Hamka Haq, Dialog Pemikiran Islam (Makassar: al-Ahkam, 2004). Imam Abi al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, Al-Ibanah an Ushuh al-Diniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.tp). Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam, Jil. 3 (Cet. III; Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve, 1994).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar