Skip to main content

Aliran dalam Rukyah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: January 06, 2013

Dalam wacana rukyah, terdapat beberapa aliran kecil yang mempunyai perbedaan-perbedaan prinsipil. Salah satunya dapat dilihat dalam pemahaman pemahaman Mathla’
Dalam Pemahaman Mahtla’
Dalam pemahaman mahtla’, terjadi perbedaan menentukan wilayah. Ada yang berpendapat bahwa hasil rukyah di suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia dan ada yang berpendapat hasil rukyah di suatu tempat hanya berlaku bagi suatu daerah kekuasaan.
Jumhur ulama’ berpendapat mathla’ itu tidak menjadi perhatian. Apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan, wajiblah puasa atas semua negeri.
Jika adanya hilal telah diakui di suatu wilayah maka wajib puasa atas seluruh penduduk wilayah tersebut, baik yang dekat dengan tempat terlihat tersebut maupun yang jauh jika mereka telah menerima berita tersebut lewat jalan yang mewajibkan puasa. Dalam hal ini, perbedaan mathla’ (tempat/ garis terbitnya hilal) tidaklah dipertimbangkan sama sekali. Demikian menurut ulama’ Hanafi, Maliki dan Hambali.
Sedangkan menurut mazhab Syafi’iy, jika adanya penglihatan hilal telah diakui di suatu wilayah, wajib atas penduduk dari semua penjuru yang berdekatan dengan wilayah tersebut untuk berpuasa berdasarkan penglihatan tersebut. Dekat ditentukan oleh kesamaan mathla’, dimana jarak keduanya lebih sedikit dari 24 farsakh, penduduk tempat yang jauh tidaklah wajib berpuasa berdasarkan penglihatan tersebut karena berbedanya mathla’.
Pendapat segolongan kecil ulama tersebut berpegang kepada hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan at-Turmudzi dan Kuraib, hadits ini menetapkan, bahwa apabila telah pasti rukyatul hilal di suatu negara, wajiblah puasa di negara itu dan negara yang dekat dengannya segaris lurus tidak negeri-negeri yang lain.
Para ulama’ dalam menanggapi hadis Kuraib ini mempunyai beberapa pendapat. Pendapat-pendapat itu telah dijelaskan satu persatu oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam kitab Fathul Bari, antara lain ialah:
Pertama, yang diikhtibarkan bagi penduduk suatu negeri hanyalah rukyah mereka sendiri, tidak dapat mereka ikuti rukyah negeri lain. Inilah pendapat Ikrimah, al-Qasim Ibnu Muhammad, Salim dan Ishaq. Demikianlah pendapat mereka berempat ini menurut nukilan Ibnu Mundzir.
Kedua: tidak wajib atas penduduk suatu negeri menerima rukyah lain, terkecuali dibenarkan oleh khalifah (kepala negara), karena seluruh daerah yang dibawah kekuasaannya dipandang satu negeri. Demikianlah pendapat Ibnu Majisun.
Ketiga: jika negeri-negeri itu berdekatan satu sama lain, dipandang satu negeri. Jika berjauhan, tidaklah wajib diikuti rukyah itu oleh negeri-negeri yang lain. Inilah pendapat yang dipilih Abu Thoyib dari kalangan Syafi’iyah dan Asy-Syafi’i sendiri menurut nukilan al-Baghawy.
Pada persoalan Mathla’ inilah terdapat beberapa aliran/ mazhab yakni: pertama, rukyah lokal, yaitu menetapkan wilayah terlihatnya hilal di tempat tersebut hanya berlaku bagi satu daerah kekuasaan hakim yang menisbatkan hasil rukyah tersebut. Pemikiran ini terkenal dengan rukyah fi wilayatil hukmi. Sebagaimana pemikiran yang selama in dipegangi oleh NU (Nadlatul Ulama’).
Kedua, Rukyah global yaitu hasil Rukyah di suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia. Dengan argumentasi bahwa hadits hisab rukyah khitabnya ditujukan pada seluruh umat Islam di dunia, tidak dibedakan oleh perbedaan geografis. Pemikiran ini yang terkenal dengan rukyah internasional yang dianut oleh Hizbut Tahrir.
Dalam Pemahaman Keadilan
Dalam hal ini pemahaman rukyah, yakni melihat hilal harus ditetapkan melalui kriteria seseorang yang melihat. Oleh karena itu dalam menetapkan terdapat rincian beberapa Imam mazhab.
Pertama: mazhab Hanafi, bulan qomariyah ditetapkan dengan kesaksian dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Demikianlah bila langit berpenghalang, seperti mendung dan yang seperti itu. Jika langit cerah, maka haruslah dengan penglihatan orang banyak, orang yang memberi kesaksian harus mengucapkan kata-kata “aku bersaksi”. Sebagian ulama Hanafi menganggap sah, bila dilihat oleh orang banyak, dengan ketentuan bila cuaca terang. Sebab, bila cuaca terang, tentu banyak orang yang dapat melihatnya. Berbeda sekiranya cuaca tidak terang, dianggap sah walaupun dilihat oleh seorang saja.
Kedua: mazhab Maliki, hilal qomariyah ditetapkan dengan penglihatan dua orang adil atau orang banyak yang sedemikian rupa sehingga mustahil adanya kesepakatan berdusta dan pemberitahuan mereka memberi keyakinan. Tidaklah disyaratkan bahwa mereka harus merdeka, tidak juga harus laki-laki.
Ketiga: mazhab Syafi’iy, kesaksian satu orang adil cukup untuk menetapkan hilal Qomariyah, orang yang memberi kesaksian harus mengatakan “aku bersaksi” lafal ini disepakati oleh para ulama dari tiga mazhab, selain ulama Maliki.
Keempat: mazhab Hambali, dalam penetapan bulan qomariyah, tidaklah diterima selain dua orang adil yang memberikan kesaksian dengan lafal “aku bersaksi”.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Tengku Muhammad Hasbi Asy Shiddieqy, Pedoman Puasa, (Semarang:.Pustaka Rizki Putra,1997). Abdurrahman Al Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala al Madzahibi Al-Arba’ah, (Dar al-Fikr: Beirut, 1987. diterjemah oleh Husni Syawie, (Jakarta: Lentera Basri Tama,1998). Ali Hasan, Tuntunan Puasa Dan Zakat, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar