Skip to main content

Perbedaan Ulama Tarikh Mengenai Waktu Isra dan Mi'raj

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: October 04, 2012

Para ulama ahli tarikh (sejarah) berbeda pendapat mengenai waktu Isra dan Mi’raj. Sebagian ulama mengatakan waktu Isra dan Mi’raj pada hari Sabtu malam; sebagian ulama mengatakan waktu Isra dan Mi’raj pada jum’at malam; sebagian ulama mengatakan terjadinya pada hari senin malam; dan ada juga ulama yang berpendapat dan mengatakan waktu Isra dan Mi’raj, pada hari selain hari-hari tersebut.
Adapun tanggal terjadinya Isra’ dan Mi’raj, para ulama banyak berselisih pendapat juga. Sebagian ulama berpendapat dan mengatakan waktu Isra dan Mi’raj pada malam tanggal 7 Rabiul awal.; sebagian ulama mengatakan pada tanggal 27 Rabiul Akhir; sebagian ulama mengatakan pada tanggal 29 Ramadhan; sebagian ulama berpendapat pada tanggal 27 Rajab; dan sebagian ulama yang lain mengatakan waktu Isra dan Mi’raj pada tanggal-tanggal selain dari yang tersebut. Adapun yang terbanyak ialah golongan yang mengatakan pada tanggal 27 Rajab, sekalipun tidak dengan alasan yang kuat.
Mengenai bulan terjadinya Isra’ dan Mi’raj pada ulama ahli tarikh banyak berselisih pendapat pula. Sebagian ulama mengatakan waktu Isra dan Mi’raj pada bulan Rabiul awal; sebagian ulama bulan Rajab; sebagian ulama bulan Syawal; sebagian ulama bulan zulhijjah; sebagian ulama bulan Rabiul Akhir; sebagian ulama bulan Ramadhan, dan sebagian ulama yang lain lagi mengatakan waktu Isra dan Mi’raj pada bulan yang selain dari yang tersebut.
Mengenai tahun terjadinya Isra’ dan Mi’raj pun banyak para ulama tarikh berselisih pendapat. Sebagian ulama berpendapat waktu Isra dan Mi’raj pada bulan ke-5 dari Bi’tsah (tahun mula diutusnya pribadi Nabi); sebagian ulama berpendapat pada tahun ke-12 dari Bi’tsah; sebagian ulama berpendapat pada tahun kurang setahun dan lima bulan dari Hijrah; sebagian ulama berpendapat pada tahun sebelum Nabi saw hijrah ke Thaif; sebagian ulama yang berpendapat pada tahun kurang tiga tahun dari Hijrah Nabi saw ke Madinah, dan ada sebagian ulama berpendapat waktu Isra dan Mi’raj, selain dari semua itu.
Hal senada juga disampaikan oleh Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarakfury yang mengatakan bahwa tentang tahun terjadinya Isra’ Mi’raj, terjadi perselisihan di kalangan ulama, antara lain : 1) Waktu Isra dan Mi’raj terjadi pada tahun takkala Allah memuliakan beliau dengan nubuwah. Ini menurut pendapat Ath-Thabary. 2) Waktu Isra dan Mi’raj terjadi lima tahun setelah diutus sebagai rasul. Ini menurut An-Nawawy dan al-Qurthuby. 3) Waktu Isra dan Mi’raj terjadi pada malam tanggal dua puluh tujuh dari bulan rajab tahun kesepuluh dari nubuwah. Ini merupakan pendapat al-Allamah al-Manshurfury. 4) Ada yang berpendapat, waktu Isra dan Mi’raj terjadi enam bulan setelah hijrah, atau pada bulan Muharram tahun ketiga belas dari nubuwah. 5) Ada yang berpendapat, waktu Isra dan Mi’raj terjadi setahun dua bulan sebelum hijrah. Tepatnya pada bulan Muharram tahun ketiga belas dari nubuwah. 6) Ada yang berpendapat, Isra’ terjadi setahun sebelum hijrah, atau pada bulan Rabi’ul-Awwal tahun ketiga belas dari Nubuwah.
al-Mubarakfury menjelaskan bahwa tipa pendapat waktu Isra dan Mi’raj dari yang pertama tertolak. Dengan pertimbangan, karena Khadijah ra. meninggal dunia pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh dari nubuwah. Sementara pada saat meninggalnya belum ada kewajiban shalat lima waktu. Juga tidak ada perbedaan pendapat, bahwa diwajibkannya shalat lima waktu pada malam Isra’. Sedangkan tiga pendapat lainnya tidak ada satu pun yang menguatkannya. Hanya saja kandungan surat al-Isra’ menunjukkan bahwa waktu Isra dan Mi’raj terjadi pada masa-masa akhir.
lain halnya dengan Ja’far Subhani, mengatakan bahwa waktu Isra dan Mi’raj di mana shalat fardu ditetapkan, berlangsung setelah kematian Abu Thalib, yakni di tahun kesepuluh kerasulan. Kesimpulan tersebut didasarkan pada fakta sejarah dan hadis yang mengatakan bahwa di saat mi’raj itu, Allah memerintahkan pengikut Nabi melakukan shalat lima kali sehari, sementara diketahui bahwa shalat belum diwajibkan hingga kematian Abu Thalib. Karena, ketika Abu Thalib sedang terbaring menjelang ajalnya, para pemimpin Quraisy menemuinya untuk menyelesaikan pertikaian mereka dengan kemanakannya, agar ia menghentikan aktivitasnya. Sebagai imbalan, mereka bersedia memberikan apa saja yang ia inginkan. Nabi, yang berada di situ, mengatakan, “Saya tidak menghentikan apapun dari anda sekalian kecuali membenarkan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan meninggalkan penyembahan berhala”. Beliau menyebut ini tanpa menyebut shalat atau rukun iman lain. Hal ini sendiri memperlihatkan bahwa shalat belum diwajibkan.
Anggapan bahwa waktu Isra dan Mi’raj berlangsung lebih awal dari tahun kesepuluh kenabian sangat keliru, karena dari tahun kedelapan hingga sepuluh Nabi sedang terkepung di Lembah Abu Thalib. Dan mengingat kondisi prihatin kaum muslimin saat itu, tidak bijaksana bila mereka harus memikul pula kewajiban shalat. Menyangkut tahun-tahun sebelum tahun kedelapan kenabian, di samping tekanan Quraisy sangat berat sehingga mereka tak sanggup memikul tanggungjawab tambahan, jumlah mereka juga baru segelintir. Karena itu, ketika cahaya agama dan rukun-rukunnya belum ditanamkan dalam hati sekelompok besar orang, agaknya tidak wajar bila kewajiban shalat telah diperintahkan pula kepada mereka.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Syaikh Shafiyyur Rahman al-Mubarkfury, Ar-Rahiqul Makhtum-Bahsun Fis Sirah An-Nabawiyah, diterjemahkan oleh Kathur Suhardi dengan judul, Sirah Nabawiyyah (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997). Ja’far Subhani, The Message, diterjemahkan oleh Muh. Hasyim dengan judul ar-Risalah-Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW. (Cet. II; Jakarta: Lentera, 1996).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar