Skip to main content

Syarat Wajib Zakat

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 31, 2012

Kewajiban menunaikan zakat tidak digeneralisasi kepada semua umat Islam, akan tetapi hanya yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang kemudian dikenal dengan istilah syarat wajib zakat. Apabila seseorang tidak memenuhi syarat untuk mengeluarkan zakat tidak ada beban hukum kepadanya. Bahkan dapat dikatakan bahwa harta yang dikeluarkan atau dibayarkan tidak dapat dikategorikan sebagai zakat. Adapun syarat wajib zakat sebagai berikut:
Islam
Menurut ijma’, zakat tidak wajib bagi orang kafir mengeluarkan zakat karena zakat merupakan ibadah mahdah yang suci sedangkan orang kafir bukan orang suci. Pendapat ini berbeda dengan pendapat mazhab Syafi’i, menurutnya orang murtad wajib mengeluarkan zakat hartanya sebelum riddah-nya terjadi, yakni harta yang dimilikinya ketika masih menjadi orang muslim.
Para fuqaha tidak mewajibkan zakat atas orang kafir asli kecuali dalam dua hal, yaitu :Pertama, sepersepuluh. Mazhab Maliki, Hambali dan Syafi’i berpendapat bahwa kafir dzimmi, perdagangan yang dibawa olehnya ke mekkah dan madinah atau ke daerah-daerah sekitarnya diambil seperdua puluh darinya, baik perdagangan mereka berupa gandum maupun-khususnya-minyak tanah.
Mengenai harta yang diambil dari kafir harbi dan dzimmi, Abu Hanifah mengajukan nishab sabagai syaratnya. Dia berpendapat, bahwa khusus untuk kafir dzimmi harta yang diambil; darinya adalah seperdua puluh, sedangkanuntuk kafir harb sebanyak seper sepuluh. Diambilnya zakat dari mereka ini adalah sebagai balasan atas perlindungan yang mereka dapatkan.
Menurut mazhab Syafi’i, tidak sedikit pun harta yang diambil dari mereka kecuali dengan adanya perjanjian dikalangan mereka. Dengan demikian, jika seorang kafir harbi telah mengadakan perjanjian untuk menyerahkan hartanya sepersepuluh, harta itu hendaknya diambil. Namun, jika tidak ada perjanjian di antara mereka, tidak sedikit pun harta yang diambil dari kafir harbi tersebut.
Kedua, Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa khusus untuk orang Nasrani dari Bani Tughlub, zakatnya mesti dilipatgandakan karena zakat berfungsi sebagai pengganti upeti. Hal yang demikian telah dilakukan oleh Umar bin Khattab, akan tetapi menurut imam Malik bahwa hal itu merupakan pengkhususan yang tidak di-nash-kan dalam Islam.
Merdeka
Menurut kesepakatan ulama, zakat tidak wajib bagi hamba sahaya karena hamba sahaya tidak mempunyai hak milik. Tuannyalah yang memiliki apa yang ada di tangan hambanya. Begitu juga, mukatib (hamba sahaya yang dijanjikan akan dibebaskan oleh tuannya dengan cara menembus dirinya) atau yang semisal dengannya tidak wajib mengeluarkan zakat, karena kendatipun dia memiliki harta, hartanya tidak dimiliki secara penuh. Pada dasarnya,menurut jumhur, zakat diwjibkan atas tuan karena dialah yang memiliki harta hambanya. Oleh karena itu, dialah yang wajib mengeluarkan zakatnya, seperti halnya yang ada di tangan syarik (partner) dalam sebuah usaha perdagangan.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat pada harta yang dimiliki seorang hamba sahaya, baik atas nama hamba sahaya itu sendiri maupun atas nama tuannya. Dikatakan demikian karena harta milik hamba sahaya tidak sempurna (nagish), padahal zakat pada hakikatnya hanya diwajibkan pada harta yang dimiliki secara penuh. Selain itu, tuan hamba sahaya tidak berhak memiliki harta hamba sahayanya.
Balig dan Berakal
Ketentuan harus balig dan berakal bagi orang yang wajib zakat dikemukakan oleh mazhab Hanafi. Dengan demikian, zakat tidak wajib diambil dari anak kecil dan orang gila karena keduanya tidak termasuk dalam ketentuan orang yang wajib melakukan ibadah, seperti salat dan puasa. Sedangkan menurut jumhur ulama, keduanya bukan merupakan syarat wajib zakat. dengan demikian, kewajiban zakat tetap berlaku bagi orang yang belum balig dan tidak berakal, akan tetapi dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini berdasarkan hadis yang artinya :
Barang siapa yang menjadi wali seorang anak yatim yang mempunyai harta, hendaknya dia memperdagangkannya untuknya. Dia dia tidak boleh membiarkan harta tersebut habis dimakan zakat.
Pandangan tersebut dari satu aspek dapat dapat diterima, karena zakat pada hakikatnya di samping berdimensi vertikal juga berdimensi horizontal. Demikian pula dengan mengeluarkan zakat bagi orang yang belum balig dan tidak berakal yang diwakili oleh walinya dapat membangun solidaritas terhadap orang miskin dan tetap bernilai ibadah. Anak kecil dan orang gila termasuk juga orang yang berhak mendapatkan pahala dan membuktikan rasa solidaritas mereka. Bahkan lebih dari pada itu, zakat mengandung upaya untuk merealisasikan kemaslahatan bagi muzakki dan sebagai upaya pensucian hartanya. (Mengenai syarat harta yang wajib dizakati, baca di sini)
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf (Cet. I; Jakarta UI-Press, 1988). Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, alih bahasa oleh Agus Effendi dan Bahruddin Fannany dengan judul : Zakat : Kajian Berbagai Mazhab, (Cet. III; Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997). Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zaka, diterjemahkan oleh Salman Harun dengan judul : Hukum Zakat (Cet. VII; Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2004). Didin Hafidhuddin, M.Sc, Zakat dalam Prekonomian modern, (Cet. I; Jakarta : Gema Insani Press, 2002). Mahmud Junus, Terjemah al-Qur’an al-Karim, (Cet. IX ; Bandung : Al-Ma’arif, 1999).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar