Skip to main content

Syarat Harta yang Wajib Dizakati

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 31, 2012

Selain syarat wajib zakat, atau syarat seseorang menjadi wajib ketika mengeluarkan zakat, terdapat pula ketentuan syarat harta yang wajib dikeluarkan sebagai zakat. Adapun syarat harta yang wajib dizakati adalah;
Harta yang wajib dizakati adalah harta yang wajib dizakati
Harta yang memiliki kriteria ini ada lima jenis, yaitu : a) uang, emas, perak, baik berbentuk uang logam maupun uang kertas, b) barang tambang dan barang temuan, c) barang dagangan, d) hasil tanaman dan buah-buahan, dan e) menurut jumhur, binatang ternak yang merumput sendiri, atau menurut mazhab Maliki, binatang yang diberi makan pemiliknya (ma’lufah).
Harta yang wajib dizakati disyaratkan produktif, yakni berkembang sebab salah satu makna zakat yakni berkemabang dan produktivitas tidak dihasilkan kecuali dari barang-barang yang produktif. Berkembang adalah, barang yang disimpan untuk dikembangkan, baik melalui perdagangan. Sedangkan binatang yang wajib dizakati adalah binatang yang diternakkan. Dikatakan demikian karena binatang yang diternakkan dapat dimaknai sebagai binatang yang berkembang dan produktif. Selain itu, peternakan menghasilkan keturunan dan lemak dari binatang tersebut dan perdagangan yang menyebabkan pemilik harta perdagangan dan peternakan mendapat keuntungan.
Berdasarkan pandangan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa zakat tidak wajib dikeluarkan dari mutiara, intan, barang tambang selain emas dan perak, barang-barang yang dikenakan (dipakai), harta milik pokok, tempat tinggal, kuda, kedelai, khimar, singa, anjing yang dilatih, madu, susu, perabot-perabot kerja, dan buku-buku ilmu pengetahuan, kecuali jika diperdagangkan.
Abu Hanifah berpendapat bahwa kuda yang digembalakan atau yang dimiliki untuk dikembang biakkan keturunannya, wajib dikeluarkan zakatnya, sedangkan menurut pendapat yang difatwakan dalam mazhabnya, zakat tersebut tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Zakat pada madu, sedangkan mazhab maliki dan syafi’I tidak mewajibkannya.
Harta yang wajib dizakati telah sampai senisab atau senilai dengannya
Ketentuan mengenai kadar harta yang wajib dizakati (nisab) adalah yang ditentukan oleh syara’ sebagai tanda kayanya seseorang dan kadar-kadar tersebut mewajibkannya zakat. Adapun kadar harta yang wajib dizakati adalah : nisab emas ialah 20 mitsgal atau dinar, nisab perak adalah 200 dirham. Nisab biji-bijian, buah-buahan setelah dikeringkan, menurut selain mazhab Hanafi ialah 5 watsaq (653 kg). Nisab kambing adalah 40 ekor, nisab unta adalah 5 ekor, dan n isab sapi 30 ekor.
Harta yang wajib dizakati adalah milik penuh
Para fuqaha berbeda pendapat terhadap pengertian harta milik sebagai syarat wajib zakat. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan harta milik penuh ialah harta yang dimiliki secara utuh yang berada di tangan sendiri dan benar-benar dimiliki. Dengan demikian, binatang-binatang waqaf yang digembalakan dan kuda-kuda yang diwaqafkan tidak wajib dizakati sebab harta-harta tersebut tidak menjadi hak miliki. Harta yang berada di bawah kekuasaan musuh dan ditempatkan di daerahnya, juga tidak wajib dizakati karena dengan demikian, menurut mazhab Hanafi, berarti musuh memiliki harta tadi.
Zakat tidak diwajibklan atas tanaman yang tumbuh di tanah yang mubah sebab tanah tersebut tidak dimiliki. Harta yang didapatkan dari pinjaman (utang), juag tidak wajib dizakati karena harta tersebut tidak dimiliki. Harta pinjaman (utang) ini wajib dizakati oleh pemiliknya yang asli.
Dengan demikian, seandainya seseorang memiliki sesuatu tetapi tidak memegangnya, seperti harta mahar seorang perempuan yang belum dimiliki olehnya, maka dia tidak wajib dizakati. Demikian pula tidak termasuk dalam pengertian harta yang dimiliki adalah harta dimar, yaitu harta yang tidak bisa dimanfaatkan kendatipun dimiliki secara asli, misalnya binatang yang hilang. Harta-harta yang lain tidak wajib dizakati ialah harta yang tenggelam di laut, harta yang disita oleh penguasa, atau harta yang diutangkan dan diingkari oleh penghutangnya, sedangkan pemiliknya baru bisa menunjukkan buktinya setelah mnencapai masa satu tahun, misalnya penghutang tersebut pada akhirnya mengakui hutangnya di hadapan orang.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa yang dimaksud dengan harta yang dimiliki secara penuh ialah harta yang dimiliki secara asli dan hak pengeluarannya berada di tangan pemiliknya. Begitu juga harta mubah yang dimiliki secara umum (milik bersama) tidak wajib dizakati seperti tanaman yang tumbuh di sebuah tanah yang tidak dimiliki oleh siapapun, sebab harta tersebut sering tidak ada yang menguasai.
Sementara itu, menurut mazhab Syafi’i bahwa yang dimaksud dengan harta yang dimiliki secara penuh ialah harta yang dimiliki secara asli, asli penuh dan ada hak untuk mengeluarkannya. Dengan demikian, seorang tuan tidak wajib mengeluarkan zakat dari harta hamba sahaya yang akan menebus dirinya karena dia belum memiliki harta itu. Harta waqaf tidak wajib dizakati karena menurut pendapat yang sahih, harta waqaf adalah milik Allah swt. begitu juga zakat tidak diwajibkan terhadap harta mubah yang dimiliki secara umum oleh semua orang.
Kepemilikan harta telah setahun menurut tahun Qamariyah
Ketentuan bahwa harta yang wajib dizakati adalah harus mencapai haul, yaitu satu tahun berdasarkan hitungan tahun qamariah. Hal ini didasarkan atas hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Umar dan Anas sebagai berikut :
لا زكاة في مال حتي يحول عليه الحول
Tidak ada zakat dalam suatu harta sampai umur kepemilikannya mencapai setahun
Penetapan tahun qamariyah sebagai dasar hitungan dalam menetapkan haul bagi harta yang akan dizakati telah menjadi ijma’ para tabi’in dan fuqaha. Ketentuan ini didasarkan atas argumentasi bahwa semua hukum Islam seperti haji dan puasa ditetapkan berdasarkan hitungan tahun qamariah. Hitungan tahun qamariah inilah yang juga dijadikan dasar dalam hukum zakat.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut mazhab Hanafi bahwa nisab disyaratkan harus sempurna antara dua sisi tahun, baik pada pertengahan tahun tersebut terdapat bulan yang nisab hartanya sepurna maupun tidak. Dengan demikian, apabila seoarang memiliki harta yang telah mencapai nisab pada permulaan tahun, kemudian harta tersebut tetap utuh sampai berakhirnya tahun tersebut, dia wajib mengeluarkan zakatnya, dengan ketentuan bahwa selama setahun harta tersebut tidak mengalami penyusutan secara penuh, apalagi lenyap semuanya.
Selain itu, zakat juga diwajibkan ketika harta tersebut berkurang pada pertengahan tahun, tetapi kemudian utuh kembali pada akhir tahun. Atas dasar ini, berkurangnya harta pada pertengahan tahun tidak berpengaruh jika pada awal dan akhirnya utuh kembali.
Menurut mazhab Maliki tibanya masa setahun menjadi syarat untuk zakat emas, perak, perdagangan, dan binatang ternak. Tetapi, ia tidak menjadi syarat untuk zakat barang tambang, barang temuan, harta (tanaman biji-bijian dan tanaman yang menghasilkan minyak nabati). Harta-harta yang disebutkan terakhir ini hanya diisyaratkan agar berupa harta-harta yang baik kendatipun tidak mencapai masa setahun.
Adapun harta yang dimanfaatkan selama perjalanan masa setahun, padahal harta tersebut berupa hibah, warisan, jual beli, atau yang lainnya, maka zakat tidak wajib sampai mencapai masa setahun. Akan tetapi, jika harta yang dimanfaatkan tersebut menghasilkan laba atau diperdagangkan, harta yang asli yang telah mencapai setahun itu wajib dizakati, baik harta yang asli tersebut telah mencapai nisab maupun belum dan baru mencapai nisab setelah mendapatkan keuntungan karena keuntungan harta termasuk bagian harta yang asli.
Dengan demikian, jika jumlah nisab emas atau perak berkurang pada waktu perjlanan setahun, kemudian keduanya mengalami keuntungan, maka keduanya wajib dizakati. Hal ini ditegaskan oleh mazhab Maliki bahwa keuntungan yang mencapai masa setahun berarti harta yang asli itu sendiri yang mencapai masa setahun. Begitu pula dengan keturunan binatang ternak yang telah mencapai masa setahun berarti induk-induknya itu sendiri yang mencapai masa setahun.
Pandangan yang senada juga dikemukakan oleh mazhab Syafi’i bahwa haul menjadi syarat dalam zakat uang, perdagangan, dan binatang, akan tetapi tidak menjadi syarat bagi zakat buah-buahan, tanaman, barang tambang, dan barang temuan.
Adapun harta yang selama perjalanan haul dimanfaatkan dengan diperjualbelikan, hibah, warisan, wakaf, atau pemanfaatan lainnya yang bukan dari harta itu sendiri, maka baginya berlaku haul yang baru yang tidak terikat dengan harta yang asli sebagaimana dengan haul keturunan binatang ternak atau laba perdagangan. Dengan demikian, haulnya dimulai dari awal karena kepemilikan terhadap harta tersebut mengalami pembaharuan. Untuk menghitung haul harta tersebut, boleh digabungkan dengan harta yang telah dimiliki sebelumnya.
Harta yang wajib dizakati bukan merupakan harta hasil hutang
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa hutang mencegah kewajiban zakat untuk harta-harta yang tak terlihat seperti emas, perak, uang dan barang-barang dagangan. Oleh karena itu, utang yang menghabiskan jumlah hisab harta atau menguranginya sehingga tidak ada lagi harta untuk nmelunasi utang kecuali dari nisab, maka yang demikian itu mencegah kewajiban zakat.
Harta yang akan dizakati melebihi kebutuhan pokok
Mazhab Hanafi mensyaratkan bahwa harta yang wajib dizakati terlepas dari utang dan kebutuhan pokok, dikatakan demikian karena orang sibuk mencari harta untuk kedua hal ini sama dengan orang yang tidak memiliki harta. Ibn Malik menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kebutuhan pokok ialah harta yang secara pasti bisa mencegah seseorang dari kebinasaan, misalnya nafkah, tempat tinggal, perkakas perang, pakaian dipelukan untuk melindungi panas dan dingin daan pelunasan hutang. Orang yang memiliki utang perlu melunasi utangnya dengan harta yang dimilikinya yang telah mencapai nisab. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari dirinya dari penahanan yang pada dasarnya sama juga dengan kebinasaan. Harta yang digunakan untuk pelunasan utang sama dengan perkakas pekerjaan, perabot rumah tangga, binatang kendaraan, dan buku-buku ilmiah bagi pemiliknya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf (Cet. I; Jakarta UI-Press, 1988). Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, alih bahasa oleh Agus Effendi dan Bahruddin Fannany dengan judul : Zakat : Kajian Berbagai Mazhab, (Cet. III; Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997). Yusuf Qardhawi, Fiqh al-Zaka, diterjemahkan oleh Salman Harun dengan judul : Hukum Zakat (Cet. VII; Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2004). Didin Hafidhuddin, M.Sc, Zakat dalam Prekonomian modern, (Cet. I; Jakarta : Gema Insani Press, 2002). Mahmud Junus, Terjemah al-Qur’an al-Karim, (Cet. IX ; Bandung : Al-Ma’arif, 1999). Fatahillah As, “Efektifitas Undang-undang Pengelolaan Zakat,“ (Pedoman Rakyat, 13 Desember 2003). M. Umer chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective, (Jakarta: Syari’ah Economics and Banking Institute, 2001). Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Cet. I; Bogor : Kencana, 2003). H. Syahrin Harahap, Islam Konsep dan Implementasi Pamberdayaan. I (Cet. I; Yokyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar