Skip to main content

Metode Memahami Kisah dalam al-Quran

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: May 07, 2012

Salah satu cara memahami metode kisah dalam al-Quran, adalah dengan cara mentakwilkan. Kisah dalam al-Quran ditakwilkan dengan cara mengalihkan kata-kata (dalam kisah itu) dari dalil lughawi (bahasa Arab) kepada makna lain, tanpa adanya sebab yang mengharuskan untuk melakukan takwil. Adakalanya memilih cara takwil dengan mengambil makna kalam yang bersangkutan menurut makna dhahirnya. Kebanyakan yang dituju oleh ahli-ahli takwil menurut metode ini ialah menolak tuduhan yang dilancarkan oleh orang-orang yang memusuhi al-Quran.
Metode yang kedua yang telah dipergunakan oleh orang-orang dalam memahami kisah-kisah dalam al-Quran yakni takwil. Di satu segi bersesuaian dengan metode pertama di sisi lain berbeda. Kedua metode ini mengalihkan lafaz-lafaz dari maknanya yang hakiki, akan tetapi metode kedua tidak menghubungkan dengan kejadian yang dipandang nyata melainkan kepada penghayatan yang tidak ada kenyataannya sama sekali. Menurut metode ini kisah itu tidak nyata. la hanya merupakan suatu pembicaraan yang dibuat-buat yang tidak ada wujudnya atau mungkin dikaitkan dengan cerita-cerita burung atau hewan, dengan tujuan untuk memberi inspirasi tentang maksud hikayat itu. Cerita itu mungkin dipandang sebagai pemberi petunjuk berbuat baik atau sebagai pemberi peringatan terhadap perbuatan yang rendah, dan anjuran untuk menjauhkan diri dari padanya.
Akan tetapi menurut Syekh Ahmad Mustafa al-Maragi bahwa al-Quran dalam membuat kisah tidak memperhatikan sistem yang dipergunakan oleh ahli sejarah di dalam menyusun cerita (qashash)-nya menurut kronologi dan peristiwanya, melainkan dengan cara yang dapat menawan jiwa dan menciptakan suasana para pendengar seakan-akan ikut terlibat di dalam perisliwanya.
Metode ketiga yakni metode yang digunakan oleh jumhur Mufassirin dalam memahami kisah-kisah al-Quran yang diceritakan orang berkenaan dengan kisah al-Quran diterima sebagai keterangan pada apa yang dibawa oleh al-Quran. Kaum fuqaha (ulama fiqh) menjadikan hadis Rasulullah saw. yang ada pertaliannya dengan ayat-ayat al-Quran tentang hukum-hukum syari'at sebagai penjelasan atau sebagai kelengkapan yang tersebut di dalam ayat-ayat yang bersangkutan. Sejalan dengan kaum fuqaha yang menjadikan hadis sebagai sumber kedua dari syari'at, ahli tafsir pun menjadikan cerita-cerita yang sampai kepada mereka sebagai sumber kedua sesudah al-Quran.
Dari ketiga metode dalam memahami kisah-kisah al-Quran, yang mesti patut diterima dari kisah-kisah itu ialah yang dapat mengungkap tujuan yang dimaksud dari penuturan kisah itu kepada manusia, agar dapat mendapat pengajaran dan pelajaran. Demikian halnya supaya menjadi jelas bagi manusia, bahwasanya kisah-kisah al-Quran itu benar, sesuai dengan kejadian yang tidak mengandung keraguan lagi di dalamnya dan tidak pula mengandung khayalan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Mahhmud Syaltut, Tafsir al-Quran al-Karim, diterjemahkan oleh Herry Noer All dcngan judul I. Jilid 1 (Cet. I; Bnndunu: CV Diponegoro, 1409 H/1989 M). Syekh Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, penerjemah M. Thalib, Juz I (Bandung: Rosdakarya, 1987). 
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar