Skip to main content

Doktrin Wahdah al-Wujud

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 14, 2011

Menurut Ibrahim Madkur, bahwa orang pertama yang menggunakan term atau istilah wahdah al-wujud adalah Ibnu Taimiyah (728 H/1328 M). Ia sering menggunakan term ini dalam karya-karyanya, misalnya dalam bukunya al-Ibthâl Wahdah al-Wujud. Namun demikian, penelitian terakhir yang dilakukan oleh W.C. Chittick, menunjukkan bahwa orang pertama yang menggunakan term wahdah al-wujud adalah Shadruddin al-Qunawi (W.673 H/1274 M) murid Ibnu 'Arabi yang sangat dekat dengannya, walaupun ia tidak menggunakannya sebagai suatu term atau istilah teknis yang independen.
Sebetulnya pendapat-pendapat tersebut di atas tidak saling kontradiksi, karena dapat saja dikompromikan dengan pandangan bahwa dilihat dari segi penggunaan pertama kali term wahdah al-wujud bisa saja Shadruddin al-Qunawi dan bukan Ibnu 'Arabi. Akan tetapi, kalau dilihat dari segi isi ajaran atau doktrin wahdah al-wujud, maka Ibnu 'Arabi merupakan peletak dasar dan pelopornya. Sebagaimana nanti kita lihat dalam pokok-pokok pemikirannya yang tidak pernah mengucapkan term atau istilah wahdah al-wujud secara tegas atau implisit.   
Wahdah al-wujud artinya kesatuan wujud (unity of existence). Wujud segala sesuatu yang ada tergantung kepada wujud Allah. Kalau Tuhan tidak ada, maka wujud selain Tuhan juga tidak ada. Jadi, yang mempunyai wujud hakiki hanyalah Tuhan, sedang yang selain-Nya tidan punya wujud, hanya sekedar wujud bayangan. Wahdah al-wujud berarti hanya ada satu wujud, yaitu wujud Allah.
Doktrin wahdah al-wujud ini sebetulnya merupakan kelanjutan atau perluasan dari doktrin al-hulûl yang dibawa oleh al-Hallaj (922 M). Dalam konsepsi doktrin al-hulûl, manusia dalam dirinya terdapat dua sifat dasar, yaitu lahût (sifat dasar ketuhanan) dan nasût (sifat dasar kemanusiaan). Dikatakan kelanjutan atau perluasan dari doktrin al-hulûl, sebab istilah lahut diganti dengan al-Haqq(Tuhan) dan nasut diganti dengan term al-khalq (makhluk). Hal ini berbeda dengan doktrin al-hulul, bahwa sifat dasar ketuhanan (lahut) hanya hadir pada manusia saja, tidak pada makhluk-makhluk lain. Dan sifat dasar kemanusiaan (nasut) hadis pada Tuhan. dalam doktrin al-hulul masih terdapat dualitas (Tuhan dan manusia), sedang dalam wahdah al-wujudini yang ada adalah keesaan. Persoalan yang ditekankan dalam al-hululadalah hubungan antara Tuhan dan manusia, sedang dalam doktrin wahdah al-wujud persoalan yang ditekankan adalah hubungan antara Tuhan dan alam, antara al-Haqq dan al-khalq.
Segala sesuatu yang berwujud di alam ini mempunyai 2 sifat dasar, yaitu al-Haqq dan al-khalq. Sifat dasar al-Haqqsebagai aspek batin yang sebelah dalam yang sinonimkan dengan al-jauhar(substance). Dan sifat dasar al-khalq sebagai aspek lahir yang sebelah luar  yang disinonimkan dengan al-`radh(accident).
Dari kedua aspek (al-Haqq dan al-khalq) yang terdapat dalam setiap yang berwujud ini, yang paling penting adalah aspek al-Haqq-nya, sebab Ialah yang merupakan hakekat atau esensi.
Adapun pernyataan-pernyataan Ibnu 'Arabi sebagai ekspresi ide dan gagasan pemikirannya yang mengandung doktrin wahdah al-wujud, di antaranya:
الوُجُود ليس غير عين الحقّ فما فى الوجود شيئ سواه
“… wujud bukan lain dari al-Haqq karena tidak ada sesuatu pun dalam wujud selain Dia”.
فما ظهر فى الوجود بالوجود الا الحقّ فالوجود الحقّ وهو واحد
“Tiada yang tampak dalam wujud melalui wujud kecuali al-Haqq, karena wujud adalah al-Haqq, dan Dia adalah satu”.
وعين الوجود واحد والأحكام مخـتلـفة
“Entitas wujud adalah satu, tetapi hukum-hukumnya yang bermacam-macam”.
وهو واحد فى الوجود لأنّ الممكنات المرئيـة منعـوتـة فى هذه الحالة بالعدم فلا وجود لها مع ظهورها للرائ
“Dia (al-Haqq, Tuhan) adalah esa dalam wujud karena semua yang mungkin yang dapat dilihat, disifati dalam keadaan ini dengan ketiadaan. Semua yang mungkin itu tidak mempunyai wujud meskipun tampak bagi yang melihat”.
فما فى الوجود مثل فما فى الوجود ضدّ فإنّ الوجود حقيقة واحدة والشيئ لايضاد نفسه
“Tidak ada keserupaan dalam wujud dan tidak ada pertentangan dalam wujud, karena sesungguhnya wujud adalah satu realitas dan sesuatu tidak bertentangan dengan dirinya sendiri”.
Kutipan-kutipan dari pernyataan Ibnu 'Arabi, menunjukkan bahwa semua yang tampak sebagai wujud ini tidak memiliki wujud, melainkan perwujudan dari wujud Allah, karena yang mempunyai wujud hanya Dia. Jika di sisi Allah terdapat wujud yang setara hal itu akan menimbulkan dualitas wujud yang setara, dan itu membawa pada paham syirk. Semua yang tampaknya ada ini sesungguhnyalah hanya sebuah ilusi atau bayangan yang ditangkap oleh indera manusia. Bagi manusia, realitas ini diyakini sebagai realitas sejati dan mempunyai entitas yang otonom, karena posisi manusia ketika melihat realitas ini berada dalam kurungan ilusi realitas ruang dan waktu.
Pemahaman yang telah dikemukakan di atas diibaratkan seperti seorang yang melihat bayangannya dalam cermin. Gambar dalam sebuah cermin meskipun “ada” dan kelihatan, namun, sebetulnya ia hanyalah ilusi atau bayangan dari seorang yang bercermin. Dan ketika seorang yang menggunakan banyak cermin, maka bayangan dari seorang yang bercermin itu akan menjadi banyak, padahal hakekatnya tetaplah satu.
Hal ini semua menunjukkan bahwa apa pun selain Tuhan tidak mempunyai wujud yang esensial. Wujud yang ada pada alam ini adalah dalam pengertian metaforis (majazi), atau pada hakekatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepada para penghuni bumi. Hubungan antara Tuhan dan alam bisa digambarkannya dengan hubungan antara cahaya dan kegelapan. Karena wujud hanya milik Tuhan, maka `adam(ketiadaan) adalah milik alam.
Dalam pandangan Ibnu 'Arabi, Tuhan menciptakan alam ini dengan tujuan bukan hanya untuk melihat diri-Nya, tetapi juga untuk memperlihatkan diri-Nya. Maksudnya, di samping ingin mengenal diri-Nya, Dia ingin memperkenalkan diri-Nya lewat alam ini. Dia adalah “kanz makhfî” (yang tersimpan tersembunyi) yang tidak dapat dikenal kecuali lewat alam ini. Paham demikian ini sesuai dengan hadis qudsi:
كنتُ كنزا لم أعرف فأحببتُ أن أعرف فخلقت الخلق وتعرفت اليهم فعرفونى
Aku adalah simpanan yang tersembunyi yang tidak dikenal, karena itu Aku rindu untuk dikenal. Maka Aku ciptakanlah makhluk dan Aku perkenalkanlah diri-Ku kepada mereka sehingga mereka mengenal-Ku”.
Pada umumnya para ahli hadis menilai hadis tersebut sebagai hadis palsu, bukan perkataan Nabi saw. Al-Sakhawi, misalnya mengatakan bahwa pernyataan di atas bukanlah bersumber dari dari Nabi saw. tidak diketahui apakah memiliki sanad sahih atau lemah. Sekalipun demikian, al-Qari menilai makna yang dikandungnya sahih, berdasarkan pada firman Allah dalam surat al-Dzâriyât ayat 56.
وما خلقت الجنّ والإنس إلاّ ليعبدونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan agar supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Menurut imam Mujahid, kata ليعبدونِ (liya`budûni) maksudnya (liya`rifûni) artinya agar supaya mereka mengenal-Ku. Dalam pandangan Ibnu 'Arabi, keotentikan pernyataan ini sebagai hadis dibuktikannya dengan kasyaf (penyingkapan) atau melihat Nabi saw. dalam alam imajinal. Karena itu, ia mengatakan bahwa hadis tersebut di atas adalah sahih atas dasar kasyaf, bukan ditetapkan dengan cara naql (sanad).
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge, al-Bany State University of New York, 1989Reynold A. Nicholson, The Mystic of Islam, London: Routledge and Kegan Paul Ltd., 1966. Ibnu 'Arabi, al-Futûhât al-Makkiyah Tahqiq oleh Usman Yahya Kairo: al-Ha’iah al-Mishriyah, 1392 H/1972 M. Muhammad Ali al-Shabûni, Shafwah al-Tafâsîr. Beirut: Dar al-Fikr, 1416.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar