Skip to main content

Otoritas Nabi Muhammad Saw terhadap Hadis dan Sunnah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 14, 2011

Kebanyakan teori klasik mengenai sunnah memasukkan tiga elemen yang penting. Istilah sunnah menunjuk kepada contoh autoritatif yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw dan dicatat dalam tradisi (hadis, akhbar) mengenai perkataannya, tindakannya, persetujuannya atas perkataan atau perbuatan orang lain, serta karakteristik kepribadiannya. 
Dengan demikian, elemen pembatas pertama dalam doktrin sunnah, dalam bentuknya yang matang, merupakan identifikasi eksklusif istilah tersebut dangan Nabi Muhammad saw; sunnah berdasarkan pengertiannya adalah Sunnah Nabi. Elemen kedua teori klasik sunnah adalah identifikasi sempurna sunnah dengan riwayat-riwayat hadits yang bisa dilacak mata rantainya hingga Nabi Muhammad saw dan dinilah sahih; sunnah sepadan dengan tradisi autentik. Sifat pembatas sunnah yang ketiga dan terakhir adalah statusnya sebagai wahyu. Sunnah menurut ajaran klasik, diwahyukan oleh Allah melalui perantara Jibril kepada Rasulullah seperti halnya al-Quran. Baik Sunnah maupun al-Quran berasal dari sumber yang satu, dan perbedaan antara keduanya hanyalah dalam bentuk, bukan dalam isi. umat Islam telah sepakat bahwa Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang memiliki otoritas, telah mengekspresikannya sesuai dengan kehendak Ilahi. Allah telah melukiskan kedudukan Rasul-Nya sebagai berikut:
Rasulullah Saw sebagai Teladan
Perilaku Nabi Muhammad Saw. merupakan teladan dalam setiap aspek dan setiap detail. setiap perkataan dan tidakannya dapat dipercaya dan patut diikuti sebagaimana Allah telah menggambarkan dalam al-Quran (QS. al-Ahzab: 21):
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah".
Ayat diatas menjelaskan bahwa sosok rasulullah merupakan suri teladan bagi setiap muslim, sebagaiman yang diriwayakan tentang perilaku beliau
Rusulullah saw Sebagai Perantara dan penjelas al-Quran
Rasulullah saw merupakan perantara Allah Swt kepada seluruh makhluknya yang diutus untuk menjelaskan syaria’t yang diberikan kepadanya.
Melalui Sunnahlah kita mengetahui secara detail tentang waktu shalat dan tata cara pelaksaannya, jumlah rakaatnya, kadar zakat yang harus ditunaikan, kapan harus dikeluarkan, jenis harta yang harus di bayar zakatnya, etika puasa, apa saja yang membatalkan puasa, tata cara haji dan pelaksanaannya, tata cara umrah, hukum rinci dalam masalah pernikahan, jual beli, jenis hukuman bagi pelanggar larangan agama berikut metode aplikasinya, perincian macam makanan yang diharamkan dan yang dihalalkan, doa-doa dalam keseharian dari sejak bangun tidur hingga akan tidur lagi, adab kepada Allah, adab kepada orang tua, adab kepada orang yang lebih tua, adab kepada sesama muslim, hubungan dengan tetangga, etika pergaulan dengan lain jenis, kaidah-kaidah sosial kemasyarakatan, dan sebagainya. Itu semua tidak teerdapat secara rinci dalam al-Quran, dan Sunnah-lah yang menjelaskan.
Rasulullah saw Sebagai Pembuat Hukum (Legislator)
Allah swt Menerangkan kekuatan legislasi Nabi untuk menetapkan hukum dalam ayat berikut ini (QS. 7:157):
“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung”.
Dalam ayat ini kita temukan bahwa hak legeslasi diberikan kapada beliau. Oleh sebab itu beliau bertindak sebagai penentu hukum masyarakat. Nabi mengidentifikasikan masalah tertentu yang nantinya di rekomendasikan oleh al-Quran, sebagai praktik komonitas yang disepakati. Seperti praktik adzan yang kemudian diakui keberadaannya oleh al-Quran sebagai praktik yang ada. Contoh ini membuktikan kewenangan legislatif Nabi dan tindakan ini dikuatkan oleh Allah.
Merujuk kepada ayat-ayat diatas, adalah menjadi jelas bahwa perintah Allah sebagaimana halnya perintah Nabi yang telah dibuktikan kebenarannya, adalah mengikat kegiatan orang muslim. hal tersebut jika dikaitkan dalm konteks otorisasi Nabi sebagai pembawa hadis dan sunnah sangat relavan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Al-jurŅ˜ani, Kitab al-Ta’rifat (Kairo 1312 H), Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi dalam Islam Modern. Mizan, Ramadhan 1421/Desember 2000. Abduh Zulfidar Akaha, Debat terbuka Ahlu-sunnah versus Inkar-sunnah 2006. M.M. ‘Azami, Studies In Hadith Methodology and Literature, diterjemahkan oleh: A. Yamin, Metodologi Kritik Hadis, Bandung: Pustaka Hidayah, 1417 H/ Juni 1996
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar