Skip to main content

Hukum Islam; Penyebab Ikhtilaf Para Sahabat

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 12, 2011

Melanjutkan tulisan sebelumnya, kali ini akan dicoba mengemukakan sebab perbedaan yang muncul di kalangan sahabat. Tulisan ini berusaha dikemas dalam bentuk toleransi yang tinggi, sehingga menghindari pemikiran yang mengkrucut kepada keberpihakan prinsip, apakah sahabat itu ‘adl atau gairu ‘adl (sahabat adil atau tidak adil).
Fikih shahabi (sahabat) memperoleh kedudukan yang  sangat  penting dalam khazanah pemikiran Islam. Pertama, sahabat sebagaimana didefinisikan ahli hadis adalah orang yang berjumpa dengan Rasulullah saw dan meninggal dunia sebagai orang Islam. Kedua, zaman sahabat adalah zaman segera setelah berakhirnya masa tasyri'. Inilah embrio ilmu fikih yang pertama. Bila pada zaman tasyri' orang memverifikasi pemahaman agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Rasulullah, pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri sendiri.
Sementara itu, perluasan kekuasaan Islam dan  interaksi antara Islam dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah baru dan para sahabat merespon situasi ini dengan mengembangkan fikih (pemahaman) mereka.
Abu Zahrah ketika menceritakan ijtihad pada zaman sahabat, beliau menulis: “Di antara sahabat ada yang berijtihad dalam batas-batas al-Kitab dan al-Sunnah, dan tidak melewatinya; ada pula yang berijtihad dengan ra'yu (akal, atau landasan pendapat dari akal) bila tidak ada nash, dan bentuk ra'yu-nya bermacam-macam; ada yang berijtihad dengan qiyas seperti Abdullah bin Mas'ud; dan ada yang berijtihad dengan metode mashlahat, bila tidak ada nash.”
Dengan demikian, zaman sahabat juga melahirkan prinsip-prinsip umum  dalam mengambil keputusan hukum (istinbath al-hukm) yang nanti diformulasikan dalam kaidah-kaidah ushul fikih.
Ketiga, ijtihad para sahabat menjadi rujukan yang harus diamalkan, perilaku  mereka menjadi sunnah yang diikuti. al-Syathibi menulis, "Sunnah sahabat  ra adalah sunnah yang harus diamalkan dan dijadikan rujukan".
Dalam perkembangan ilmu fikih, madzhab sahabat sebagai ucapan dan perilaku  yang keluar dari para sahabat akhirnya menjadi salah satu sumber hukum  Islam di samping istihsan, qiyas, mashalih mursalah dan sebagainya. Dalam posisi tersebut, madzhab sahabat menjadi hujjah.
Tentang hal madzhab sahabat menjadi hujjah, ulama berbeda pendapat. Sebagian menganggapnya sebagai hujjah mutlak, sebagian lagi sebagai hujjah bila bertentangan dengan qiyas, dan sebagian lainnya hanya menganggap hujjah pada pendapat Abu Bakar dan Umar bin Khattab saja, berdasarkan hadits ("berpeganglah pada dua orang sesudahku, yakni Abu Bakar dan Umar") dan sebagian yang lain, berpendapat bahwa yang menjadi hujjah  hanyalah kesepakatan khulafa' al-Rasyidin.
Keempat, bagi Admin hal ini yang sangat vital, ahl al-Sunnah sepakat menetapkan bahwa seluruh sahabat adalah baik dan atau adil (al-shahabiy kulluhum 'udul). Mereka tak boleh dikritik, dipersalahkan, atau dinilai sebagaimana perawi hadits lain.  Imam ahli jarh dan ta'dil, Abu Hatim al-Razi dalam pengantar kitabnya menulis:
Adapun sahabat Rasulullah saw, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui tafsir dan ta'wil, yang dipilih Allah untuk menemani Nabi-Nya, untuk menolongnya, menegakkan agamanya, memenangkan kebenarannya. Allah memuliakan mereka dengan karunia-Nya menempatkan kedudukan mereka pada tempat ikutan. Mereka dibersikkan dari keraguan, dusta, kekeliruan, keraguan kesombongan, dan celaan. Allah menamai mereka sebagai 'udul al-ummah (umat yang paling bersih), pemimpin-pemimpin hidayah, hujjah agama, dan pembawa al-Quran dan al-Sunnah.
Karena posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankan bila  mazhab sahabat menjadi rujukan penting bagi perkembangan fikih Islam sepanjang sejarah. Tentu saja, menurut kesepakatan ahl al-sunnah, di antara para sahabat itu yang paling penting adalah khulafa al-rasyidin. Bila mereka  sepakat, pendapat merek dapat membantu memecahkan masalah fikih; bila mereka ikhtilaf, mazhab sahabat menimbulkan kemusykilan yang sulit diatasi. Lalu mengapa mereka ikhtilaf?.
Mengenai penyebab perbedaan (ikhtilaf) yang terjadi di antara sahabat terdiri dari beberapa hal;
  1. Karena perbedaan pengetahuan yang mereka miliki. Sebagian sahabat mengetahui nash tertentu, sebagian lain tidak mengetahuinya. 
  2. Sahabat Rasulullah saw, yang mengambil sunnah dari Nabi dan meriwayatkannya, berbeda-beda dalam kemampuan pengambilannya dan dalam menerima riwayatnya. Rasulullah saw. ditanya tentang suatu masalah. Ia menghukum dengan hukum tertentu memerintahkan atau melarang sesuatu, melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Yang hadir waktu itu dapat menyimpan peristiwa itu, yang tidak hadir tentu tidak mengetahuinya. 
  3. Ketika Rasulullah saw. wafat, bertebaranlah sahabat di negeri-negeri, dan setiap penduduk negeri mengambil dari sahabat yang ada di negeri mereka. Berkata Ibn Hazm: "Orang Madinah hadir pada tempat yang tidak  dihadiri orang Basrah, orang Basrah menghadiri tempat yang tidak dihadiri orang Syam; orang Syam hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Basrah; orang Basrah menghadiri yang tidak dihadiri orang Kufah; orang Kufah hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Madinah. Ini semua terjadi dalam hadis, dan pada saat kita  memerlukan informasi. Padahal seperti telah kita  jelaskan sebagian sahabat pada sebagian waktu tidak hadir di majelis Rasulullah saw, sedangkan sebagian lagi hadir.
  4. Setiap orang hanya mengetahui apa yang ia saksikan, dan tidak mengetahui apa yang tidak ia hadiri. Ini jelas menurut akal. Ketika 'Amr dan yang lain mengetahui tentang tayamum, Umar bin Khattab dan Ibn Mas'ud tidak mengetahuinya, sehingga mereka berkata: Orang junub tidak tayamum, walau pun tidak menemukan air selama dua bulan. Ali Hudzaifah al-Yamani dan lain-lain mengetahui hukum mengusap tetapi 'Aisyah, Ibn 'Umar, Abu Hurairah tidak mengetahuinya walaupun mereka penduduk Madinah. Anak perempuan dari anak beserta anak perempuan mendapat waris diketahui Ibn Mas'ud tetapi tidak diketahui Abu Musa.
Dalam kasus yang baru kita ceritakan, ikhtilaf di antara para sahabat dapat  diselesaikan oleh khalifah. Khalifah bahkan menetapkan sangsi bagi orang yang mempunyai pendapat berbeda.
Ikhtilaf di antara para sahabat itu dibiarkan dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Buat orang-orang sektarian, ikhtilaf para sahabat ini menjadi sumber perpecahan. Buat orang yang berjiwa terbuka, ikhtilaf adalah assets bagi perkembangan pemikiran.
'Umar bin Abd al-'Aziz, tokoh ukhuwah Islamiyah menghentikan kutukan pada Ali bin Abi Thalib di mimbar, berkata: "Aku tidak senang kalau sahabat Nabi tidak ikhtilaf. Seandainya pendapat mereka itu tunggal, sempitlah manusia dibuatnya. Mereka adalah teladan yang diikuti. Jika kita mengambil dari siapa saja di antara mereka, jadilah itu sunnah. Artinya, mereka membuka pintu ijtihad bagi manusia. Mereka boleh ikhtilaf, karena bila mereka tidak membukanya, para mujtahid berada dalam kesempitan.Allah memberikan keluasan pada umat dengan adanya ikhtilaf furu'i di antara mereka. Dengan begitu, ia membuka umat untuk memasuki Rahmat-Nya".
Kepustakaan:
Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyah, Beirut, Dar al-Fikr, tt. Abu Ishaq al-Syatiby, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'at, tt. Makthba'ah, al-Maktabah al-Tijariyah, tt, tk, 4:74. M.T Al-Hakim, Al-Ushul al-'Ammah fi al-Fiqh al-Muqaran, Beirut, Dar al-Andalus, 1974. al-Ghazali, al-Mustasyfa, Mesir: tt. Mustafa Muhammad, Taqdimah al-Ma'rifah li Kitab al-Jarh wa al-Ta'dil, Heiderabad, 1371, Ibn Al-Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma'rifat al-Shahabah, 1:3, Abu Zar'ah, Al-Ishabah, tt 1:10. Muhammad 'Ajal al-Khatib, Al-Sunnah qabl al-Tadwin, Kairo, Maktabah Wahdah, 1963.

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar
-->