Material Makalah; Ijtihad Intiqaiy
Pada: January 02, 2012
Keberadaan berbagai mazhab fikih di tengah-tengah umat Islam merupakan khasanah tersendiri yang sedikit banyaknya telah memberi sumbangsih dalam dunia fikih Islam. Suatu hal yang tidak dapat diingkari bahwa mazhab-mazhab tersebut, khususnya empat mazhab dalam Ahl al-sunnah wa al-jamaah, masih eksis dan masih dibutuhkan sampai hari ini. Hanya saja, tentu paham mazhab-mazhab tersebut tidak dapat diterapkan sekaligus dalam satu mazhab yang sama. Oleh karena itu, dituntut untuk memilih satu pendapat mazhab yang dianggap paling rājih di antara berbagai mazhab tersebut.
Usaha kembali meneliti khasanah fikih klasik dalam berbagai mazhab dengan pandangan-pandangannya yang muktabarah untuk memilih pendapat yang paling rajih dan dipandang lebih dekat dalam merealisasikan maqāshid al-syar’ī, mampu mewujudkan maslahat umat serta sesuai dengan tuntutan dan kondisi zaman disebut dengan ijtihad intiqāiy.
Dengan demikian, ijtihad intiqāiy (ijtihad intiqa'iy) merupakan suatu proses dalam mencari kepastian hukum terhadap suatu masalah. Yusuf al-Qardāwi meng-ungkapkan bahwa ijtihad intiqāiy dilakukan dengan cara menimbang serta membandingkan pendapat-pendapat dari berbagai mazhab, kemudian meneliti sandaran dalilnya, baik itu sandarannya berupa nash al-Quran atau al-sunnah maupun berupa ijtihad para sahabat dilandasi pada akhirnya memilih satu pendapat mazhab dari berbagai mazhab yang dipandang hujjahnya paling kuat dan dalilnya paling rajih sesuai dengan standar tarjih yang antara lain: pendapat tersebut sesuai dengan kondisi zaman sekarang ini, paling bermanfaat bagi manusia, lebih memberi kemudahan, paling mampu untuk merealisasikan maqāsid al-syar’ī, mampu mewujudkan maslahah umat dan mampu mencegah kerusakan umat.
Dengan melihat sistem kerja dari ijtihad intiqaīy, maka orang yang mengambil satu pandangan mazhab dari berbagai mazhab yang ada tanpa melalui proses penyaringan dan penelitian yang mendalam tidak dapat dikategorikan sebagai mujtahid. Orang tersebut dikategorikan sebagai muqallid saja. Lebih dari itu, untuk menjadi mujtahid harus memenuhi kriteria tertentu.
Oleh karena ijtihad intiqāiy menggunakan proses tarjih, maka obyeknya adalah suatu masalah yang telah dikaji oleh berbagai mazhab fikih. Dalam hal ini, boleh saja me-rajih-kan salah satu mazhab dari mażāhib arba’ah ataupun mazhab lainnya di luar dari mażāhib arba’ah. Bahkan pandangan mazhab dalam satu masalah yang telah dianggap paling rajih bisa saja berubah dan menjadi tidak rajih apabila zaman, tempat dan kondisi mengalami perubahan. Hal ini juga tidak dipungkiri oleh para ulama seperti ungkapan mereka yang masyhur di telinga ;
تغير الفتاوى بتغير الزمان والمكان والحال
Fatwa senantiasa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan.
Dalam hal ini, Yusuf al-Qardāwi memberi contoh dengan me-rajih-kan pendapat Laits bin Saad, Daud ibn Ali dan rekan-rekannya dari mazhab al-Zahiriah, seperti Ibn Zahiriah yang dimaksud menyusu adalah mengisap dan menyedap air susu dari payudara, bukan dengan menuangkan air susu lewat mulut ke kerongkongan (الوجور) atau menuangkan air susu ke hidung lantas ke kerongkongan (السعوط). Berbeda dengan pandangan jumhur yang memasukkan al-wajur dan al-saūth sebagai bagian dari radhā’a (penyusuan), karena menurut jumhur penyusuan adalah sampainya air susu ke dalam kerongkongan melalui atau tidak melalui payudara.
Sisi positif yang mendasar dalam ijtihad intiqāiy adalah hilangnya fanatisme mazhab. Dalam ijtihad intiqāiy semua mazhab dianggap mempunyai kedudukan yang sama, mempunyai peluang yang sama untuk menjadi mazhab yang memiliki pandangan yang paling rājih dalam satu masalah pada suatu kondisi, zaman dan tempat tertentu.
Selain dari itu, keberadaan ijtihad intiqāiy menunjukkan eksistensi dari fungsi mazahib yang ada sebagai sarana penghubung dalam memahami khasanah hukum Islam yang bersumber dan bersandar pada nash al-Quran dan al-Sunnah. Dengan demikian, keberadaan mażāhib tersebut tetap dibutuhkan oleh umat dalam rangka pemahaman dan pengamalan hukum Islam.
Kepustakaan:
Mahmud Syaltut, al-Islam; Aqīdah wa Syarī’ah, Bairut: Dīr al-Syurūq, 1997. Yusuf al-Qardāwi, Syariah al Islamiyah Shālihah Llitātbiq fī Kulli Zamān wa Makān, Kairo ; Maktabah Wahbah, 1997. Yusuf al-Qardāwi, al-Ijtihad al Ma’āsiri ; Bayna al-Indibāt wa al-Infirāt, Kairo: Dār al-Tawzi’ wa al-Nasyr al-Islāmiyyah, 1994. Yusuf al Qardawi, Fatāwa Ma’āsirah, Mesir ; Dar al Wafa’, t.th.