Skip to main content

Tingkatan Marah menurut al-Ghazali

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: June 23, 2013

Syaikh Mahfuzh telah merangkum hakikat marah dengan cara yang mudah dan gampang difahami dengan menukil riwayat dari Imam al-Ghazali, dia (al-Ghazali) mengatakan bahwa: amarah itu terdiri dari tiga tingkatan, yaitu:
Pertama: tingkatan kewajaran, yaitu amarah yang ditujukan untuk membela diri, agama, kehormatan, harta, membela hak-hak yang umum dan menolong orang yang dizhalimi. Disebabkan kondisi-kondisi itulah amarah diciptakan, ia diciptakan untuk suatu kebijaksanaan yang mendasar sebagai konsekuensi dari tabiat makhluk dan memenuhi aturan masyarakat. Karena sesungguhnya berlomba-lomba dalam kehidupan dan persaingan ini dalam memenuhi kebutuhannya mengakibatkan, adanya pembelaan yang kuat akan diri, agama, harta, kehormatan, dan hak-hak umum. Seandainya bukan karena hal itu, maka bumi ini akan hancur dengan merebaknya kekacauan dan meruntuhkan sistem-sistem kemasyarakatan.
Siapa yang tidak marah karena agamanya, maka sesungguhnya tujuannya adalah taqlid yang begitu kuat pada setiap apa yang dilihat dan dianggapnya baik, lalu ia pun akan berpindah dari satu agama ke agama lain disebabkan taqlid buta. Dan barangsiapa yang tidak marah demi kehormatannya, maka ia tidak merasa cemburu terhadap wanita-wanitanya (isterinya), akan bercampuraduknya keturunan (nasab), menyebarnya kekejian ditengah-tengah masyarakat, sehingga manusia akan menjadi seperti hewan yang menyetubuhi betinanya tanpa ada rasa cemburu dan memandang rendah akan hal itu.
Kedua: marah yang dalam posisi tengah, yaitu marah demi harta. Hal ini adalah suatu keburukan dan bencana dalam waktu dekat maupun waktu yang akan datang. Dan barangsiapa yang tidak cemburu akan hak-hak umum dan menolong orang yang dizhalimi maka sesungguhnya ia telah menyimpang dari tabi'at yang Allah swt telah menciptakan manusia di atasnya.
Ketiga: tingkatan yang berlebih-lebihan, yaitu amarah yang melampaui batas kewajaran, akal dan juga agama. Amarah itu berjalan dengan cepat di atas keburukan yang akhirnya akan mengakibatkan kehancuran dari arah yang tidak ia ketahui, dan mungkin saja amarahnya menyeret kepada suatu perkara yang pada akhirnya dia melakukan dosa besar dan menyebarnya berbagai kehancuran.
Merupakan hal yang sudah diketahui bahwa amarah dalam kondisi-kondisi seperti itu adalah tercela, baik secara akal maupun agama. Berbedanya tingkatan celaan terhadapnya sesuai dengan perbedaan kuat atau lemahnya akibat yang ditimbulkannya, setiap kali bahayanya lebih besar maka amarah tersebut akan lebih kuat dan celaan padanya pun akan lebih banyak lagi.
Menurut Hasan Asy’ari Ulama'i beberapa penafsiran di atas sebenarnya telah dirangkum oleh al-Mawardi dalam kitabnya al-Nukat wa al-Uyun Tafsir al-Mawardi bahwa pada dasarnya al-maghdlub (orang-orang yang dimurkai) Allah tersebut adalah mereka yang pada prinsipnya melanggar perintah Allah, sementara istilah ghadlab (murka) ini, al-Mawardi mengemukakan empat pendapat antara lain:
  1. Murka sebagaimana marah yang dipahami umumnya manusia.
  2. Murka dalam arti siksaan dunia.
  3. Murka dalam arti celaan terhadap mereka.
  4. Murka sebagai salah satu bentuk adzab Allah kelak.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006). A. Hasan Asy’ari Ulama'i, Normativitas & Historisitas Hadis Sebuah Telaah Tafsir Nabi Saw. Terhadap Kosakata Al-Qur'an, (Bima Sejati Bekerjasama dengan IAIN Walisongo Press Semarang, Semarang, 2002). Imam al-Gazali, Ihya Ulum al-Din, (Dar al-Fikr, Beirut, 1989).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar