Skip to main content

Nikah Mut'ah menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: June 11, 2013

Menurut pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) yang tidak mengakui atau menolak paham Syiah secara umum dan ajarannya tentang nikah Mutah secara khusus.
Adapun yang dimaksud dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ialah kaum yang menganut i’tikad yang dianut oleh Nabi Muhammad saw. dan sahabat-sahabat beliau. Itikad Nabi dan sahabat-sahabat itu telah termaktub dalam al-Quran dan sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun secara rapi dan teratur. Kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama ushuluddin, yaitu Syaikh Abu Hasan Ali al-Asyari. 

Karena itu ada orang yang memberi nama kepada Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dengan kaum Asy’ariah, dikaitkan kepada Imam Abu Hasan Ali al-Asy’ari. Dalam kitab-kitab ushuluddin biasa juga dijumpai perkataan Sunniyah yang merupakan singkatan dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah .
Menurut pendapat Ahmad Zein al-Kaf, bahwa dahulu di zaman Rasulullah saw. kaum muslimin dikenal bersatu, tidak ada golongan ini dan golongan itu, tidak ada syi’ah ini dan tidak ada Syi’ah itu. Semua di bawah pimpinan dan komando Rasulullah saw. 

Bila ada masalah atau beda pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang kepada Rasulullah saw. Itulah yang membuat para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah, maupun dalam urusan dunia. Setelah Rasulullah saw wafat, benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi saat Imam Ali menjadi khalifah.
Majelis Ulama Indonesia memandang bahwa dengan melakukan nikah mut’ah seseorang tidak dianggap menjadi muhsan, karena wanita yang diambil dengan jalan mut’ah tidak berfungsi sebagai istri, sebab mut’ah itu tidak menjadikan wanita berstatus sebagai istri dan tidak pula berstatus jariyah.
Pernyataan ini dapat dipahami menjatuhkan derajat wanita. Padahal wanita adalah makhluk yang dimuliakan Allah, karena diciptakan Allah agar menjadi ibu yang akan melahirkan generasi yang diharapkan untuk kemajuan bangsa dan agama. Tetapi dengan nikah mut’ah statusnya menjadi tidak jelas.
Perempuan sebelum Islam tidak memiliki perhiasan apapun, dirampas haknya, diperjual belikan seperti budak, dan dapat diwariskan tetapi tidak boleh mewarisi. Bahkan sebagian bangsa melakukan hal itu terus-menerus dan menganggap perempuan tidak punya ruh, hidup dengan kematiannya dan tidak tunduk pada syariat, berbeda dengan laki-laki, dan nikah mut’ah mengabaikan pengangkatan derajat wanita seperti setelah kedatangan Rasul saw.
Majelis Ulama Indonesia juga memandang bahwa nikah mut’ah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pemerintah (Negara Republik Indonesia), antara lain UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Hal ini apabila tidak segera diatasi, maka semakin menambah kekhawatiran dan keresahan pada orang-orang tua karena yang banyak melakukan adalah dari kalangan pemuda dan mahasiswa.
Pelaku Nikah Mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada seminar nikah mut’ah yang digagas IMMIM dan Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin di Gedung Islamic center IMMIN 2010, Mahatir Mahbub menulis dengan topik Pemerintah Harus Atur Regulasi tentang hal itu. M. Quraish Shihab dalam penjelasannya mengatakan bahwa apabila diperdebatkan masalah dalil nikah mut’ah, maka hal itu tidak akan pernah berujung. Oleh karena itu seharusnya yang perlu dilakukan adalah bagaimana menyesuaikan hukum syari’at ini sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat demi mencapai kemaslahatan umat.
Oleh sebab itu, unsur dalam kebijakan tadi tidak terpenuhi satupun dalam nikah mut’ah, maka tidak ada satu alasan lagi untuk tidak menolak ataupun melarang jenis pernikahan ini. Buktinya pernikahan jenis ini hanya menyisahkan kesengsaraan bagi sebagian anak-anak yang membutuhkan belaian kasih sayang orang tua. Begitu pula dengan perempuan yang membutuhkan pengayoman, perlindungan suaminya secara batin maupun lahir.
Menurut Quraish Shihab bahwa pernikahan apapun nama dan alasannya, tidak dapat mencapai pulau kebahagiaan jika tidak disertai niat ingin hidup bersama dalam kebahagiaan yang langgeng. Oleh karena itu tidaklah wajar dinamai pernikahan jika sejak awal sudah ada niat untuk membatalkan pada waktu tertentu, karena ketika itu yang ada hanyalah memenuhi kebutuhan sesaat.
Selanjutnya Quraish Shihab mengatakan bahwa nikah mut’ah yang merupakan hubungan badan yang ditetapkan batas waktunya itu tidaklah sejalan dengan tujuan pernikahan yang dikehendaki oleh al-Qur’an dan Sunnah, yakni bersifat langgeng, sehidup semati, bahkan sampai hari kemudian.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Sirajuddin Akbar, I’tikad Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1980). Ahmad Zen al-Kaf. Dialog Apa dan Siapa Syi’ah (Surabaya: Pustaka al-Bayyinah, 2005). Abdar, Rasal Abdul Hasan, Al-Qattam, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modis (Bandung. Pustaka Hidayah 1989). Hamka, Kedudukan Perempuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1979). Syaikh Shaleh bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Sentuhan Nilai Kefikihan Untuk Wanita (Jakarta, Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia, 2003). Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz As-Shari (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994). M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta sampai S3ks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru, (Jakart: Lentera Hati, 2005).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar