Skip to main content

Penghentian Penyidikan dalam KUHP

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 07, 2012

Undang-undang memberi wewenang penghentian penyidikan kepada penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang dimulainya. Hal ini ditegaskan Pasal 109 ayat 2 KUHAP yang memberi wewenang kepada peyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan.
Rasionalisasi atau alasan pemberian wewenang penghentian penyidikan ini, antara lain:
Untuk menegakkan prinsip peradilan cepat, tepat dan biaya ringan, dan sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat, jika penyidik berkesimpulan bahwa berdasar hasil penyelidikan atau penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka dimuka persidangan untuk apa berlarut-larut menangani dan memeriksa tersangka. Lebih baik penyidik secara resmi menyatakan penghentian pemeriksaan penyidikan. Agar tercipta kepastian hukum baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat.
Supaya penyidikan terhindar dari kemungkinan tuntut ganti kerugian, sebab kalau perkaranya diteruskan, tapi ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut ataupun menghukum dengan sendirinya memberi hak kepada tersangka/ terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasar Pasal 95 KUHAP.
Adapun alasan penghentian penyidikan, Undang-undang telah menyebutkan secara limitative. Alasan penghentian penyidikan yang disebut pada pasal 109 ayat 2 terdiri dari:
Tidak Diperoleh Bukti yang Cukup
Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka
atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika diajukan ke depan pengadilan. Atas dasar kesimpulan ketidakcukupan bukti inilah penyidik berwenang menghentikan penyidikan.
Peristiwa yang Disangkakan Bukan Merupakan Tindak Pidana
Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat apa yang disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pelanggaran dan kejahatan, dalam hal ini berwenang menghentikan penyidikan. atau tegasnya, jika apa yang disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran pidana yang termasuk kompetensi peradilan umum, jadi tidak merupakan pelanggaran dan kejahatan seperti yang diatur dalam KUHP atau dalam peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus yang termasuk dalam ruang lingkup wewenang peradilan umum, penyidikan beralasan dihentikan.
Penghentian Penyidikan Demi Hukum
Penghentian atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana yang diatur dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana yang dirumuskan dalam ketentuan pasal 76,77,78, dan seterusnya, antara lain:
Pertama, Nebis in idem (pasal 76 KUHP), seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama, terhadap mana atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia, serta putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tersangka meninggal dunia (pasal 77 KUHP), dengan meninggalnya tersangka, dengan sendirinya penyidikan harus dihentikan.
Kedua, karena kadaluwarsa, seperti yang dijelaskan dalam pasal 78 KUHP. Apabila telah dipenuhi tenggang waktu penuntutan seperti yang diatur dalam pasal 78 KUHP, dengan sendirinya menurut hukum penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak boleh lagi dilakukan.
Sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang (pasal 109 ayat 2), apabila penyidikan dihentikan, maka penyidik berkewajiban memberitahukan hal tersebut, ada 2 ketentuan perihal pemberitahuan ini, yaitu:
Jika yang melakukan penghentian penyidikan itu penyidik Polri, pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan kepada: Penuntut umum, dan Tersangka atau keluarganya.
Jika penghentian penyidikan dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil, maka pemberitahuan penghentian penyidikan harus segera disampaikan pada: Penyidik Polri, sebagai pejabat yang berwenang melakukan koordinasiatas penyidikan, dan
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003). KUHP dan KUHAP, (Bandung: Citra Media Wacana, 2009). R. Abdoel Jamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990). Bambang Purnomo, Orientasi Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1988).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar