Skip to main content

Asas Legalitas dalam Hukum Islam

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 07, 2012

Asas Legalitas biasanya tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin: Nullum Deliktum Nula Poena Sine Praevia Lege Poenali, yang berarti tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu.
Asas Legalitas merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang.
Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi berdasarkan asas ini, tiada satu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan.
Sebagaimana dalam hukum positif yang menerapkan asas legalitas, dalam hukum Islam juga ada kaidah-kaidah pokok yang sangat fundamen, diantaranya:
“Tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat sebelum turun/ ada nash yang mengaturnya”
Kemudian kaidah yang berbunyi:
“Tidak ada tindak pidana (jarimah) dan tidak ada hukuman kecuali dengan nash.”
Dengan demikian, perbuatan seseorang yang cakap tidak mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada ketentuan yang melarangnya, dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga ada nash yang melarangnya. Ini berarti hukum pidana tidak dapat berlaku ke belakang terhadap suatu perbuatan yang belum ada ketentuan aturannya, karena itu hukum pidana harus berjalan ke depan.
Prinsip asas legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan hudud. Pelanggarnya dihukum dengan sanksi hukum yang pasti. Prinsip tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishas dan diyat dengan diletakkannya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Jadi, tidak diragukan bahwa prinsip ini berlaku sepenuhnya bagi kedua kategori diatas.
Mekipun hukum pidana Islam tidak berlaku surut dengan adanya kaidah-kaidah di atas, bukan berarti bahwa semua kasus yang tidak ada nashnya (teks) hukum serta sanksi hukumnya tidak dapat dijatuhi hukuman. Karena dalam hukum pidana Islam dikenal istilah ta’zir dimana ketentuan hukum dan sanksi atas suatu perbuatan/ jarimah yang tidak ada ketentuan nashnya diserahkan kepada penguasa (ulil amri) yang berkuasa pada saat itu.
Hukum Pidana Islam memang melarang adanya aturan yang berlaku ke belakang (berlaku surut), karena pemberlakuaan terhadap prinsip berlaku surut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Namun demikian, menurut Osman Abdul Malik as-Saleh dan Nagaty Sanad sebagaimana yang dikutip oleh Topo Santoso, mereka menyatakan bahwa kebanyakan ahli hukum Islam berpendapat bahwa hanya ada satu pengecualian bagi berlakunya asas retroaktif, yaitu jika ketentuan hukum yang baru lebih ringan (menguntungkan) dibanding hukum yang ada pada waktu perbuatan itu dilakukan, dalam kasus seperti ini hukum yang lebih ringanlah yang diterapkan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Pres. 2003). Muhammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002). Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). Eceng Arif Faizal, Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-Asas Hukum Pidana Islam), (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004). Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta: Sinar Grafika, 2006). Juhaya S. Praja, Ahmad Syihabudin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1993).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar