Skip to main content

Pendapat Ulama tentang Hukum Riba

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 28, 2012

Secara umum ulama sepakat tentang pengharaman riba Nasi’ah. Sebaliknya mereka berbeda pendapat sekitar hukum riba Fadhl. Perbedaan terjadi dikalangan ulama, baik sahabat, tabi’in maupun pemikir hukum Islam (fuqaha) kemudian. Sejalan dengan itu, maka ada sejumlah ulama yang mengharamkan keduanya., riba nasi’ah dan riba fadhl. Dengan pengharaman ini, maka semua jenis yang dikelompokan pada kelompok riba, dan salah satu termasuk didalamnya bunga bank, adalah bunga yang diharamkan.
Sahabat dan tabi’in yang dengan secara mutlak membolehkan riba fadhl, sebagaimana disebutkan sebelumnya, adalah Ibn Umar (namun ada riwayat yang mengatakan, bahwa beliau sudah menarik fatwanya), Ibn ‘Abbas (diperselisihkan tentang penarikan pendapatnya), Usamah ibn Said, Abdulah ibn Zubair, Zaid ibn Arqam, Said ibn Mutsaijab dan Urwah ibn Zubair. Mereka berpegang pada hadits Nabi; “bahwa riba hanya pada nasiah”.
Sedangkan Ibnu Qayyim berpendapat, bahwa hukum asli riba memang dilarang. Namun untuk kondisi tertentu bisa ditolerir. Pentoleriran yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) untuk riba nasiah diperbolehkan dalam kondisi darurat, sama dengan kebolehan memakan binatang yang diharamkan dalam Islam ketika darurat. Sementara untuk (2) riba fadhl dibolehkan ketika dalam keadaan membutuhkan (hajat).
Namun perlu dicatat, bahwa Ibnu Qayyim mnggunakan istilah yang agak berbeda untuk tujuan yang sama. Untuk riba nasiah olehnya disebut dengan riba jali. Sedang riba fadhl disebut dengan riba khafi. Riba jali, menurut dia, hukumnya haram karena mengandung mudharat yang besar. Sementara riba khafi juga haram karena bisa membawa pada riba jali. Adapun pengharaman riba jali karena di dalamnya ada maksud menambah harta dengan cara bathil. Sedang pengharaman riba khafi karena didalamnya ada kemungkinan membawa kepada riba jali. Denga ungkapan lain, pengharaman riba khafi hanyalah bersifat Saddu al-Zarai (alasan preventif).
Muhammad Jamar Mughirah, mempunyai pemikiran yang sejalan dengan Ibnu Qayyim, bahwa pengharaman riba nasi’ah karena zatnya sendiri. Sementara pengharaman riba fadhl karena alasan preventif. Akhirnya dia mencatat, hukum mengambil riba fadhl dibolehkan dalam keadaan darurat. Adapun barometer darurat, bagi dia adalah jika keadaan itu benar-benar merupakan pokok untuk meneruskan hidup. Untuk sekedar perbandingan, dia memberikan ukuran hajat dengan kriteria, bahwa dengan hajat ini seseorang masih bisa menjadi kaya walaupun dengan jalan sabar dan sakit-sakit.
Ahmad Musthafa Al-Maraghi juga menjadikan lipat ganda sebagai syarat pengharaman riba. Ketia membahas al-Baqarah ayat 275-279, Al-Maraghi membagi riba menjadi dua yaitu riba nasi’ah dan riba fadhl. Adapun bunga bank tidak termasuk pada kategori riba nasi’ah. Namun perlu dicatat, walaupun berpendapat demikian, al-Maraghi tetap menginginkan adanya bank Islam yang sesuai dengan sistem perekonomian Islam. Al-Maraghi juga menganjurkan agar umat Islam berusaha untuk membentuk sistem ekonomi dan perbankan yang Isalmi.kemudian al-Maraghi menjelaskan bahwa ada dua macam yang diharamkan dalam Islam; zatnya sendiri dan karena faktor lain.
Dari penjelasan ini, dia kemudian mengatakan, pengharaman riba nasi’ah adalah haram dengan zatnya sendiri. Sementara riba fadhl dikarenakan adanya unsur nasi’ahnya. Jadi pengharaman riba fadhl tidak langsung dari riba fadhl itu sendiri. Tetapi dengan jalan riba fadhl ini juga sering memunculkan penganiayaan yang menjadi unsur diharamkannya riba nasi’ah. Sesudah membahas arti kata-kata yang ada disurat al-Baqarah ayat 275-281, al-Maraghi memberi alasan penyebutan riba, dengan alasan karena orang melakukan riba mengambil harta orang lain tanpa henti. Kemudian diteruskan dengan pembagian riba, sebagaimana umumnya ulama: riba nasi’ah dan fadhl. Dia juga mendifinisikannya sama dengan ulama pada umumnya. Dengan menukil dari at-Thabari, al-Maraghi kemudian mencatat, bahwa riba nasi’ah inilah yang mengakibatkan lipat ganda, dan karena itu diharamkan Allah.
Adapun al-Maraghi membahas tentang rahasia pengharaman riba yang secara ringkas disebut ada empat. Pertama, karena riba bisa menghambat seseorang dalam mengambil profesi yang sesungguhnya. Misalnya seseorang yang sebenarnya ahli di bidang industri, menjadi tidak ditekuni karena dengan riba dia sudah bisa mangembangkan ekonominya,dan dengan cara ini menjadikannya malas dan mempunyai keinginan untuk mangambil harta orang lain secara terus menerus.
Kedua, riba bisa melahirkan permusuhan dan saling membenci serta hilangnya sifat tolong menolong. Ketiga, bahwa dalam Islam memang diperbolehkan mangambil keuntungan satu pihak dari pihak lain, tetapi dengan riba uang bisa diambil tanpa adanya pengganti. Hal ini merupakan satu perbuatan aniaya (dhalim). Keempat, perbuatan riba mangakibatkan kerusakan dan kehancuran. Hal ini terlihat dengan banyaknya rumah yang harus dijual dan harta yang hilang karena proses riba.
Ketika membahas surah al-Baqarah ayat 275-279, al-Thabari mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Khoeruddin Nasution ada dua jenis riba; riba jual beli dan riba dengan penundaan pengembalian hutang disertai dengan sejumlah tambahan. Maka, menurutnya, salah satu dari kedua jenis riba ini diharamkan, yaitu riba yang mengandung tambahan karena adanya penundaan waktu (nasi ’ah). Sedang riba yang dibolehkan adalah riba yang ada tambahan pada jual beli, yang tambahannya tidak bertambah, baik kalau dibayar dengan segera atau tidak (fadhl).
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Tafsir Al Maraghi, (Mesir: Mushtafa Al-Babi Al-Halabi, 1969).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar