Skip to main content

Kritik atas Teori Kebenaran

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 28, 2012

Kritik dalam referensi ini adalah kritik pada teori kebenaran dalam perspektif filsafat. Jika kebenaran dalam perspektif korespondensi adalah kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan (fakta-realitas). Maka muncullah suatu pertanyaan bagaimana kita bisa membandingkan pernyataan (idea) kita dengan kenyataan (realitas) itu?. Untuk membuat perbandingan (comparation), maka terlebih dahulu kita harus mengetahui terhadap apa yang akan kita perbandingkan
Gambaran teori korespondensi ini mengindikasikan pula pada kebenaran yang disusun atas dasar empirisme (pengalaman). Padahal, pengalaman tadi yang mengelola, merumuskan dan menformulasikan adalah rasio. Rasio cenderung untuk mengintervensi dan merubah pandangan tentang dunia. Pengalaman saja rasanya sulit untuk bisa menjelaskan apakah itu merupakan stimulus panca indera, dan seberapa jauh ia bisa dipertanggungjawabkan. Kesulitan lain dari teori ini berasal dari kenyataan bahwa teori adalah produk manusia, yang bisa berubah dan berkembang seiring perkembangan pengalaman manusia.
Konsepsi umum teori koherensi yang mengatakan bahwa standar kebenaran itu adalah terciptanya konsistensi antara satu pernyataan dengan pernyataan sebelumnya. Teori ini juga menimbulkan banyak kelemahan. Persoalannya, adalah kita bisa membangun sistem koheran yang salah disamping sistem koheren yang benar. Teori tidak membedakan antara kebenaran yang konsisten dan kesalahan yang konsisten. Karena konsistensi yang dimaksud oleh teori ini hanya adanya konsistensi secara logis dengan statemen yang lalu dan kemungkinan bisa salah. Sehingga memungkinkan proposisi yang koheren tadi salah semua.
Fragmentasi teori ini, jika ditinjau dari aspek kehidupan sehari-hari teori ini sangat mengawang. Sebab yang menjadi pusat adalah dunia ide yang rasional dan intelek dan hanya menghadapi hubungan logika dalam susunan kata. Bukan dengan dunia faktual. Implikasinya, teori ini tidak mampu memberikan kontribusi apa-apa. Karena ide dengan kebenaran umumya menjadi aksiomatik apriori yang tidak mampu memahami perubahan. Meskipun kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan, namun ia tidak mampu memberikan informasi baru.
Berbeda dengan kedua teori sebelumnya, teori pragmatisme ini lebih mendasarkan diri pada kegunaan (usefull), berlaku (works), memuaskan, (satisfies) bagi manusia. Sepintas lalu, teori ini mencoba untuk menjembatani kontradiksi yang dimunculkan oleh koherensi dan korespondensi. Di lain sisi, teori ini juga terjebak pada persoalan yang rumit pula. Bagi kelompok pragmatis, esensi (idea) dan pengalaman bukanlah sesuatu yang telah berhenti dan tertutup bagi test (verification)
Bagi kebanyakan orang teori pragmatisme ini, akan memberikan kesan sebagai bentuk pelecehan terhadap keagungan kebenaran. Kebenaran tidak lagi diukur atas dasar keterbukaan rasio terhadap kenyataan yang mengatasi individual. Akan tetapi, kebenaran (truth) dipandang dari aspek utilitarianisme (kemanfaatan) semata.
Berdasarkan landasan kritik itu, maka tidak ada kebenaran yang absolut, kebenaran adalah bersifat relatif. Kebenaran absolut hanya satu yaitu kebenaran Tuhan. Meskipun demikian, peneliti sepakat dengan teori kritisisme yang ditawarkan oleh Kant. Menurut Kant, benda-benda yang ditangkap oleh pengalaman inderawi hanya gejala saja bukan bendanya (aposteriori). Benda tadi terikat oleh ruang dan waktu, dan terdiri dari materi aposteriori dan bentuk apriori. Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman gej ala benda tadi baru sebatas pengetahuan inderawi. Untuk membentuk pengetahuan yang sifatnya umum harus diolah oleh rasio melalui dua belas katagori yang diklasifikasikan dalam empat katagori. yaitu kuantitas, kualitas, relasi dan modalitas. Selanjutnya menurut Kant, karena rasio dan pengamatan terbatas kemampuannya, maka ide-ide transendental yang apriori memberikan petunjuk pada pengetahuan yang terbentuk ke arah kesatuan dan keutuhan pengetahuan.
Dari sini, nampak bahwa kebenaran yang diinginkan adalah kebenaran korespondensi dan koherensi. Namun teori tidak akan sempurna kalau kita tidak memperhatikan konsep teori pragmatisme pula, karena rasio dan pengamatan masih sangat terbatas.
Zaman sekarang adalah zaman positifisme (istilah Comte) dan fungsionalime (istilah Van Peursen). Oleh karena itu, kita juga harus bersifat positifistik dan fungsional dengan bercirikan rasional dan empiris. Karena manusia itu tidak akan luput dari tiga pola fikir yaitu teologis, metafisik dan positifistik. Sama halnya apa yang disampaikan oleh Van Peursen, dengan memetakan paradigma berfikir manusia menjadi tiga yaitu, Mitis, ontologis dan fungsional. Demikian pula masih ada satu lagi kebenaran yang tidak boleh terlupakan yaitu kebenaran agama dan intuisi, meskipun keduanya berada di luar wilayah ilmiah dan inilah yang penulis maksud dengan kebenaran komprehensip. Kebenaran komprehenship adalah kebenaran yang mengacu pada idea dan pengalaman yang kualitasnya dapat diuji (verification), mempunyai nilai utilitarianisme dan mempunyai nilai positifistik serta fungsional.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Soedjatmoko, Dimensi Manusia Dalam Pembangunan, (LP3ES, Jakarta, 1983)
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar