Skip to main content

Kontroversi Seputar Tempat Isra

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: October 09, 2012

Sebagaimana referensi sebelumnya bahwa Isra Mi’raj adalah perjalanan Nabi pada malam hari dari masjid al-Haram di Mekah ke masjid al-Aqsha di Palestina di sebut Isra, dan perjalanan Nabi dari masjid al-Aqsha yang dilanjutkan menghadap Allah di Sidrat al-Muntaha yang kemudian di sebut Mi’raj.
Pada umumnya ulama sepakat mengenai tempat Isra dan Mi’raj pada kedua fase tersebut. Namun masjid al-Aqsha sebagai tempat Isra, menuai kontroversi dari ahli sejarah dan para ulama. Pada umumnya masjid al-Aqsha sebagai tempat Isra, diklaim berada di Palestina (Yerusalem). Namun hal tersebut dipertanyakan khususnya dari ahli sejarah, apakah benar Masjid al-Aqsha adalah masjid yang berada di Palestina atau berada di tempat lain.
Perbedaan pendapat mengenai tempat Isra, berawal dari pengertian masjid pada masa itu berbeda dengan pengertian sekarang, sebagai tempat sujud kaum muslimin. Misalnya saja, dalam penggalian di Mada’in Saleh-tempat yang diduga sebagai turunnya Nabi Saleh, tempat pemukiman Bani Tsamud (sekitar 1500 SM-79 M), ditemukan ruangan pemujaan berhala bernama “masjid” yaitu tempat sujud.Pada Sirah Ibnu Ishaq dikatakan bahwa “kaum Quraisy berkumpul di masjid”. Di depan rumah Abu Bakar as yang masih kafir ada “masjid” juga ketika Abu Bakar dikejar-kejar, ia bersembunyi di “masjid Bani Jumah”. Masjid itu dipenuhi berhala dan malahan menurut ulama “Abdullah Yusuf Ali, kaum kafir kala itu bertawaf sekitar masjid dengan tubu bugil. Tidak satu pun bangunan masjid tempat shalat kaum muslimin di Mekah dan di seluruh pokok bumi pada saat “perjalanan Isra berlangsung. Baru pada akhir bulan September tahun 622 Rasul, begitu sampai di Madinah dalam perjalanan hijrah, mengubah sebuah bangunan di Quba’ sebagai masjid dalam arti yang kita maksudkan sekarang.
Maka agaknya “masjid al-Aqsha” sebagai tempat Isra, tidak lepas dari pengertian zaman itu; sebuah tempat berkumpul atau tempat bersujud yang letaknya “lebih jauh”, tetapi masih dalam batas-batas “daerah yang diberkati”. Inilah wilayah haram, yang luasnya ratusan kilometer persegi: lebih dari sepuluh kilometer ke barat Ka’bah, di sekitar tujuh kilometer ke timur, sekitar sepuluh kilometer ke selatan, sedang di utara, tepat berada pada desa Hudaybiyah, tempat Rasul kelak mengadakan perjanjian damai dengan Quraisy. Rupa-rupanya, dan radius daerah suci inilah terletak “masjid yang lebih jauh itu”.
Kesimpulan bahwa Nabi singgah di Palestina (Yerusalem) ketika Isra Mi’raj juga disalahkan oleh Naswar Samsu. Ia mengungkapkan mengungkapkan bahwa Masjid al-Aqsha bukan di Palestina dan bukan di Bumi. Untuk sampai pada kesimpulan tersebut, ia menyatakan bahwa selama 13 tahun yaitu ketika Nabi Muhammad menjalankan hukum Islam dan Rasul di Mekah, beliau melaksanakan shalat dengan berkiblat atau menghadap ke arah utara bumi.
Lain halnya dengan M. Quraish Shihab, ia ketika menafsir Kata Aqsha, salah satu tempat Isra, ia mengungkapkan bahwa (الاقصى) bermakna yang jauh. Yang dimaksud adalah tempat sujud yang terjauh. Ketika itu yakni terjauh dalam benak dan pandangan mitra bicara, yaitu Bait al-Maqdis di Palestina. Ada juga yang memahami kata al-Masjid al-Aqsa dalam arti masjid yang terjauh dalam hal ini di langit ke tujuh. Tetapi pendapat ini tentu saja tidak dipahami oleh mitra bicara ketika itu, bukan saja karena ketika itu, belum dikenal istilah masjid seperti yang kita kenal dan diperkenalkan al-Quran kemudian, tetapi, juga karena tempat sujud dimaksud tidak mereka kenal sama sekali.
Ayat yang menyebutkan tempat Isra, yakni antara dua masjid. Hal tersebut agaknya untuk mengisyaratkan bahwa perjalanan hidup manusia menuju Allah swt. hendaknya bermula dari Masjid yakni kepatuhan kepada Allah dan berakhir pula dengan masjid, yakni kepatuhan kepada-Nya. Ibn Asyur menjadikan perjalanan Isra dari Masjid al-Haram Ke Masjid al-Aqsa dan kembali lagi ke Masjid al-Haram untuk mengisyarakatkan bahwa Islam adalah ajaran tauhid yang dibawa oleh para nabi sejak masa Nabi Ibrahim as. yang bermula di Masjid al-Haram, sebagai Nabi yang membangun atau meninggalkan pondasinya, hingga terbentuk aneka cabang syariatnya yang bermarkas di Bait al-Maqdis, lalu kembali lagi sebagai penutupnya ke Masjid al-Haram di Mekah yang ajarannya disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.
Demikian beberapa dari sekian banyak hal yang masih dipertentangkan oleh ahli sejarah dalam peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw, bukan hanaya masalah waktu Isra dan Mi’raj, tapi juga mengenai tempat Isra. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Isra Mi’raj adalah fenomena sejarah yang sangat menarik dan tidak akan pernah habis untuk menjadi bahan kajian.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah-Kurun Mekah (Cet. I; Jakarta: Tama Publisher, 2005). Nazwar Syamsu, al-Quran tentang Shalat, Puasa, dan Waktu (Cet. I ; Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983). Mulyadi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam-Bunga Rampai dari Chicago (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 2000). M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. VII (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2002).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar