Skip to main content

"Rumus" Tuhan dalam Filsafat Perennial

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 10, 2012

Satu tema terpenting dan sangat fundamental dalam epistemologi filsafat perennial adalah Tuhan. Sedemikian rupa sehingga tema tentang Tuhan baik upaya utnuk “mendekati” maupun “meyakini” sepenuhnya menjadi alfa-omega-nya (awal-akhir) eksistensi manusia. Maka Tuhan adalah “sangkan paran” (asal dan tujuan) hidup (hurip), bahkan seluruh makhluk (dumadi).
Dalam perspektif filsafat perennial, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah inti semua agama yang benar dan otentik. Setiap pengelompokan (umat) manusia telah pernah mendapatkan ajaran tentang Ketuhanan Yang Maha Esa melalui para rasul Tuhan. Karena itu terdapat titik pertemuan (kalimah sawa’) antara semua agama manusia, dan orang muslim khususnya diperintahkan untuk mengembangkan titik pertemuan itu sebagai landasan hidup bersama.
Dalam tradisi Yunani Kuno, evolosi pemikiran seperti ini tampak sangat jelas. Paham tentang Dewa Hermes, sedikit banyaknya dapat membantu kita untuk menelusuri lebih dalam. Seperti diketahui bahwa Hermes (nabi Idris), dalam mitologi Yunani Kuna tak lain adalah putra dari pasangan dewa Zeus dan Maia. Belakangan, dalam tradisi Romawi ia diidentifikasi berita sebagai dewa Mercury. Dalam Mitologi Yunani Kuna, Hermes bertugas menyampaikan berita Sang Maha Dewa (Tuhan) yang dialamatkan kepada manusia. Sementara, menurut legenda yang beredar dalam masyarakat Muslim tradisional-khususnya di Indonesia-pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai “tukang tenun” atau “pemintal”. Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan Mitos Yunani tentang peran dewa Hermes, tampaknya memiliki korelasi positif. Dari Mitos Hermes ini pula tampaknya, istilah hermeneutika itu berakar.
Masalahnya kemudian bagaimana menusia merumuskan Tuhan dan juga pesan-pesan-Nya lewat “bahasa” dalam kaitan ini, Komaruddin menawarkan satu metode yang disebutnya “bahasa agama”, yang meliputi bahasa metafisika, bahasa kitab suci dan bahasa ritual keagamaan.
Bahasa Metafisika adalah bahasa ataupun ungkapan serta pernyataan yang digunakan untuk menjelaskan obyek yang bersipat metafisikal, terutama tentang Tuhan. Persoalan fundamental yang muncul kemudian ialah: mampukah akal dan bahasa manusia membuat deskripsi dan atribusi yang tepat mengenai Tuhan? Bukankah sejauh-jauh manusia berpikir dan berbahasa ia toh tetap di dalam lingkaran wilayah pengalaman empiris dan inderawi? Bagaimana bisa nalar manusia yang demkian relatif akan “mampu” menagkap obyek metafisik yang absolut, yakni Tuhan?.
Jika kita setuju dengan pandangan tersebut, maka Tuhan Tang Maha Absolut, Yang Maha Gaib tak terjangkau oleh indera dan bangunan rasionalitas kita, jelas tak mungkin dapat “diungkapkan” dengan bahasa manusia. Lalu, bagaimana mungkin kita memehami ungkapan bahasa kitab suci, seperti al-Qur’an, Injil, Weda, Tripitaka untuk sekadar menyebut beberapa diantaranya–yang mengungkap tentang Tuhan?
Meskipun manusia menyadari betul akan keterbatasan dirinya dalam “merumuskan” Tuhan, tetapi kebetulan untuk selalu “dekat” dan “bergantung” kepada Yang Maha Mutlak itu menjadi suatu yang inheren dalam dirinya. Ini diwujudkan dengan membentangkan garis lurus antara diri manusia dengan Tuhan. Garis lurus itu merentang sejajar secara berhimpun dengan hati nurani. berada dilubuk yang paling dalam pada hati nurani itu ialah “kerinduan” kepada kebenaran, yang dalam bentuk tertingginya ialah hasrat bertemu Tuhan dengan cara berserah diri kepada-Nya. Inilah yang dalam tradisi Islam dikenal sebagai alam, tabiat atau fitrah manusia. Tabiat manusia ini merupakan wujud “perjanjian primordial” antara Tuhan dan manusia.
Kembali kepersoalan inti: bagaimana “merumuskan” tuhan dalam filsafat Perennial. Rumus Tuhan dalam filsafat Perennial, yaitu mendekati tuhan lewat “nama-nama-Nya”. Sementara problem “nama” (name [Inggris], ism [arab]) menjadi salah satu kajian terpenting dari semiotika atau bahasa simbol.
Menurut Charles Sanders Pierce, (sign) bisa dibedakan menjadi tiga, yaitu: ikon, indeks, dan simbol. Dinamakan ikon jika hubungan antara tanda dan yang ditandai memiliki kemiripan. Patung yang memiliki tiga dimensi misalnya, termasuk kategori ikon. Sebuah tanda disebut indeks karena adanya “kedekatan eksistensi” antara tanda dan obyek yang diacunya. Berbagai tanda petunjuk jalan bisa disebut indeks, karena tanda-tanda itu ingin mengatakan “di sana” atau “di situ”, “tidak jauh dari saya obyek yang anda cari”. Yang ketiga, simbol, ini cenderung bersifat abstrak yang disepakati berdasarkan konvensi melalui proses panjang.
Karena itu, untuk kerangka penghampiran kepada realitas Mutlak, manusia dalam sejarahnya mendekati Tuhan melalui “nama-nama-Nya” yang banyak sejumlah tradisi dan agama otentik yang ada. Tuhan, God, Allah, Yahweh, Gusti, Karaeng, Puang ataupun sebutan lainnya semuanya itu tetap dipandang sebagai simbolik.
Tetapi dalam perspektif perennial, Tuhan adalah wujud adalah satu, meski pada kenyataan historisnya Dia diekspresikan dalam banyak “nama”. Wujud lebih tepatnya wujud hakiki, adalah Tuhan semata, yaitu al-Haqq. Tiada wujud, atau tiada sesuatupun dalam wujud, selain Tuhan.
Hanya dengan perpektif seperti inilah filosof Perennial dapat memahami prinsip concidentia appositorum, yang pada urutannya sebagai dasar filosofis untuk memahami Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam. Tuhan tidak dapat dipahami kecuali dengan memadukan dua sipat yang “berlawanan” pada-Nya.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abu Dawud Sulayaman bin Hasan al-Andalusi. Thabaqat al-Athibba wa al-Hukama’, (Kairo: Mathba’ al-‘Ahdial-‘Ilm al-Faransi li al-Atsar al-Syarqiyyah, 1955). Komaruddin Hidayat. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996). Paul Tillich, “Dynamics of Faith” dalam, Ronald E. Santoni (ed.), Religious Language and the Problem of Religious Knowledge, (London: Indiana University Press, 1968).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar