Skip to main content

Latar Belakang Munculnya Filsafat Perennial

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: July 25, 2012

Tantangan paling besar dalam kehidupan beragama sekarang ini adalah bagaimana seorang beragama bisa mendefinisikan dirinya secara tepat di tengah-tengah agama lain. Sebab kenyataan menunjukkan, bahwa pergaulan antar agama kini kian memperlihatkan intensitasnya, sehingga tidak mengherankan jika banyak kalangan memandang zaman sekarang sebagai “zaman baru” (new age), yang mencirikan pesatnya perhatian manusia terhadap dunia spritual.
Semboyan yang ditulis John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Megatrends 2000, yang menyebutkan “sprituality, Yes, Organized Religion, No”, menandai besarnya perhatian ini khususnya dari Manusia Barat terhadap spritualitas Timur. Semangat di balik semboyan Naisbitt Aburdene itu, sesungguhnya telah lama dikenal di kalangan masyarakat tertentu, di Barat maupun Timur. Mereka ini menyadari perlunya spritualisme dalam hidup manusia, namun mereka amat kritis terhadap agama-agama mapan.
Albert Einstein dan Thomas Jefferson. Tokoh yang terakhir ini misalnya, mengaku sebagai percaya kepada Tuhan (Deisme) kepada Kemaha-Esa-an Tuhan (Unitarianisme) dan kepada Kebenaran Universal (Universalisme), tanpa perlu mengaitkan dirinya kepada salah satu dari agama-agama formal yang ada. Bahkan Jefferson meramalkan bahwa pahamnya itu akan menjadi agama seluruh umat manusia, dan dalam jangka dua ratus tahun akan menggeser agama-agama formal.
Kendati demikian, menarik sekali mengkaji uraian Naisbitt Aburdene mengenai kehidupan beragama di bawah semboyan tersebut. Sebab dari polling pendapat yang dikumpulkannya memperlihatkan adanya indikasi menaiknya spritualisme di kalangan masyarakat Amerika, leibh tinggi dari masa-masa sebelumnya. Sejumlah besar dari mereka percaya bila “Tuhan adalah kekuatan spritual yang positif dan aktif”, meskipun gejala itu disertai dengan menurunnya peranan agama-agama formal. Kalangan muda terpelajar di sekolah-sekolah tinggi adalah yang pertama-tama bersifap sangat kritis kepada agama-agama formal. Mereka menilai gereja dan Sinagog “sibuk dengan masalah-masalah keorganisasian, dengan menyampaikan isu-isu theologis dan spiritual”.
Sementara itu, masalah mendasar yang selalu menghadang adalah munculnya kebingungan-kebingungan teologis, khususnya bagaimana seorang harus mendefinisikan dirinya ditengah-tengah agama lain yang juga eksis dan punya keabsahan lain. Padahal, bila teologi lama di set-up dan mengekstremkan dalam suatu kondisi non pluralitas, maka kesadaran bahwa hanya agama kitalah yang paling benar muncul, sementara agama lain menyimpang. Belum lagi masalah-masalah sosial politik yang sering memunculkan ketegangan dan krisis dikalangan antara pemeluk keagamaan. Untuk yang terakhir ini dapat disaksikan pada peristiwa-peristiwa lokal belakangan ini, yang timbul dipelbagai kawasan.
Tak sedikit pemikir mencoba menanggapi penomena tersebut. Hugh Goddard seorang Kristiani Dosen Teologi Islam di Notttingham University Inggris menulis sebuah buku yang cukup menantang: Christians and Muslims, From Double Standards to Mutual Understanding (1995). Buku ini melukiskan bahwa dalam selurh sejarah hubungan Kristen-Islam, apa yang telah membuat hubungan ini berkembang menjadi kesalahpahaman bahkan menimbulkan suasana “saling mengancam” satu sama lain adalah tak lain dari kondisi “standar ganda” (double standards) tersebut.
Dengan kata lain, orang Kristen ataupun Islam bahkan agama lain, selalu menetapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya yang biasanya standar itu bersifat ideal sementara penilaian terhadap agama lain memakai standar lain, yang lebih bersifat realistis-historis. Melalui standar ganda inilah muncul prasangka-prasangka sosiologis dan teologis, yang pada urutannya memperkeruh hubungan umat beragama.
Akar krisis epistemologis yang diungkapkan D’Adamo, jelas bisa mengejutkan banyak orang, terlebih mereka yang beragama secara taat. Apalagi dalam pandangan D’Adamo ini, Religion’s Way of Knowing dilihat sebagai suatu yang tidak kritis. Padahal, bayangkan saja agama mana yang tidak mengakui bahwa agama dan kitab sucinya itu bersifat konsisten, dan penuh dengan kebenaran tanpa kesalahan sama sekali; bersikap lengkap dan final, karena itu tak ada lagi dan juga tidak diperlukan kebenaran lain, apalagi kebenaran agama baru setelah agamanya sendiri. Juga agama mana yang tidak mengakui bahwa hanya agamanyalah yang merupakan satu-satunya jalan keselamatan atau jalan pembebasan. Apalagi kitab suci yang merupakan rujukan dasar dari cara beragama dan penyelematannya itu memang diakui betul-betul berasal dari Tuhan. Bahkan di sini dapat ditegaskan bahwa hanya bangunan keimanan yang sakitlah yang meragukan agama dan kitab sucinya sebagai sesuatu yang Benar dan berasal dari Tuhan.
Satu hal yang membingungkan baik secara teologis maupun epistemologis adanya kenyataan yang menunjukkan bahwa agama lain juga memiliki klaim serupa, bahkan dengan tingkat kecanggihan teoritis yang tidak kalah rasionalnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mungkinkah hidup rukun dan harmonis dapat terwujud dalam kehidupan antar umat beragama, sementara pluralitas agama, pemikiran, budaya dan historisitas masing-masing agama secara ketat dan dinamsi bersentuhan dengan kehidupan mereka? Atau, dengan ungkapan sebaliknya: mungkinkah pluralitas keagamaan dapat dipertemukan dalam sebuah kesadaran murni, terutama dalam merumuskan sebuah “kebebasan universal” demi terciptanya keharmonisan hidup di kalangan antar umat beragama?
Setidaknya, terdapat dua jawaban atas pertanyaan itu. Pertama, mereka yang bersikap pesimistik. Kalangan ini melihat adanya kesulitan teologis atau pun epistemologis untuk mempertemukan pelbagai keyakinan yang ada. Sebab, bagi masing-masing pemeluk agama tidak saja rumusan tapi juga substansi kebenaran mereka berbeda secara radikal. Sementara kelompok kedua, lebih terbuka, optimistik dan karena itu pula lebih bersifat dialogis. Kelompok yang terakhir ini, mengajak pelbagai bentuk agama dan tradisi yang otentik agar memiliki visi “universal” dalam merumuskan apa yang dalam filsafat disebut the meaning and the purpose of live (makna dan tujuan hidup). Itu sebab, perjumpaan berbagai bentuk keagamaan yang terpenting tidak pada dataran formalnya (eksoteris), namun lebih ditekankan pada aspek “dalam” (esoteris)-nya.
Paparan di atas, hanyalah sebahagian kecil menjadi latar belakang munculnya filsafat perennial.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar