Skip to main content

Hukum Nikah Siri menurut Pandangan Ulama

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 23, 2012

Di kalangan ulama, nikah siri masih menjadi perdebatan, sehingga susah untuk menetapkan bahwa nikah siri itu sah atau tidak. Hal ini dikarenakan masih banyak ulama dan juga sebagian masyarakat yang menganggap bahwa nikah siri lebih baik daripada perzinahan. Padahal kalau dilihat dari berbagai kasus yang ada, menyatakan nikah siri tampak lebih banyak menimbulkan kemudharatan daripada manfaatnya.
Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja nikah siri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu nikah yang sesuai dengan rukun-rukun nikah dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya nikah tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimah al-’ursy.
Menurut terminologi Fikih Maliki, nikah siri ialah
هو الذى يوصي فيه الزوج الشهودبكتمه عن امرأته, أوعن جماعةولوأهل منزل
“Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga setempat”
Mazhab maliki tidak membolehkan nikah siri. nikahnya dapat dibatalkan, dan kedua pelakunya dapat dikenakan hukuman had(dera rajam), jika telah terjadi hubungan seksual antara keduanya dan diakuinya atau dengan kesaksian empat orang saksi. Mazhab Syafi’ dan Hanafi juga tidak membolehkan nikah siri. Menurut mazhab Hambali, nikah yang telah dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam adalah sah, meskipun dirahasiakan oleh kedua mempelai, wali dan para saksinya. Hanya saja hukumnya makruh. Menurut suatu riwayat, Khalifah Umar bin al-Khattab pernah mengancam pelaku nikah siri dengan hukuman had.
Di antara ulama terkemuka yang membolehkan nikah dengan cara siri itu adalah Yusuf Qardawi, salah seorang pakar muslim kontemporer terkemuka di dunia Islam. Ia berpendapat bahwa nikah ini sah selama ada ijab-kabul dan saksi.
Kalangan ulama dan cendekiawan Indonesia, terjadi perbedaan pandangan tentang nikah siri, ada yang melarang, membolehkan, dan ada pula yang berada pada posisi tengah. Perbedaan pandangan tersebut sangat lumrah terjadi karena masing-masing pihak berargumen dengan interpretasinya sendiri. Oleh karena itu, yang penting adalah jangan sampai ada pihak yang berusaha memonopoli tafsir sesuai dengan hawa nafsunya demi memenuhi maksud dan kepentingannya semata. Tafsir Islam didasarkan pada sejumlah argumen dan rujukan, baik berasal dari al-Quran, hadis, ijma’, qiyas, maupun ijtihad.
Sebagian ulama menilai nikah siri dihalalkan, asal memenuhi syarat dan rukun nikah. Pasalnya, Islam tidak mewajibkan pencatatan nikah oleh negara. Namun, Dadang Hawari, psikiater juga ulama dan konsultan nikah Indonesia tidak sepakat untuk alasan tersebut. Menurutnya hukum nikah siri tidak sah sebab telah terjadi upaya mengakali nikah dari sebuah prosesi agung menjadi sekedar ajang untuk memuaskan hawa nafsu manusia. Ia menilai, nikah siri saat ini banyak dilakukan sebagai upaya legalisasi perselingkuhan atau menikah lagi untuk yang kedua kali atau lebih. Menurut Dadang, nikah orang Indonesia yang beragama Islam sudah diatur dalam UU Nikah R.I No 1 tahun 1974 yang di dalamnya bukan hanya mengatur aturan negara, tapi juga mencakup syariat Islam. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa nikah tersebut harus tercatat sesuai perundang-undangan yang berlaku, atau bagi umat Islam tercatat pada KUA sehingga resmi tercatat dan mendapatkan surat nikah.
Berbeda dengan pendapat Dadang Hawari, KH Tochri Tohir berpendapat lain. Ia menilai nikah siri sah dan halal, karena Islam tidak pernah mewajibkan sebuah nikah harus dicatatkan secara negara. Menurut Tohir, nikah siri harus dilihat dari sisi positifnya, yaitu upaya untuk menghindari zina. Namun ia juga setuju dengan pernyataan Dadang Hawari bahwa saat ini memang ada upaya penyalahgunaan nikah siri hanya demi memuaskan hawa nafsu. Menurutnya, nikah siri semacam itu, tetap sah secara agama, namun nikahnya menjadi tidak berkah.
Sementara menurut. Wasit Aulawi, seorang pakar hukum Islam Indonesia, mantan Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama, menyatakan bahwa dalam ajaran Islam, nikah tidak hanya merupakan hubungan perdata, tetapi lebih dari itu. Al-Quran menyebutkannya dengan mitsaqan galizhan. Nikah harus dilihat dari berbagai aspek. Paling tidak menurutnya ada tiga aspek yang mendasari nikah, yaitu : agama, hukum dan sosial, nikah yang disyariatkan Islam mengandung ketiga aspek tersebut, sebab jika melihat dari satu aspek saja maka akan pincang.
Demikian pula M. Daud Ali, salah seorang ahli hukum Indonesia, mengemukakan bahwa nikah siri merupakan nikah bermasalah, sebab menurutnya nikah itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sesuatu yang sengaja disembunyikan, biasanya mengandung atau menyimpan masalah. Di Indonesia, nikah yang tidak bermasalah adalah nikah yang dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bagi orang Islam, nikah yang tidak bermasalah adalah nikah yang diselenggarakan menurut hukum Islam seperti disebutkan dalam pasal 2 ayat (1) UU R.I No.1 Tahun 1974 dan dicatat, menurut ayat (2) pasal yang sama.
Sedangkan Pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mu’min di Ngruki, Sukoharjo, Abu Bakar Ba’asyir berpendapat seputar maraknya nikah siri yang dilakukan para selebriti di Tanah air, meminta praktik nikah siri atau nikah di bawah tangan dihentikan. Menurut Ba'asyir, cara atau bentuk nikah demikian dapat menimbulkan fitnah dan merugikan kedua pihak di kemudian hari. Oleh sebab itu, sebaiknya praktik nikah siri hendaknya dihapus saja. Nikah siri atau nikah di bawah tangan dan tak tercatat di KUA belakangan ini dianggap sah menurut agama.
Sejalan dengan ungkapan Ba’asyir, M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa betapa pentingnya pencatatan nikah yang ditetapkan melalui undang-undang, di sisi lain nikah yang tidak tercatat selama ada dua orang saksi- tetap dinilai sah oleh hukum agama, walaupun nikah tersebut dinilai sah, namun nikah di bawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelaku-pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah (ulul amri). al-Quran memerintahkan setiap muslim untuk menaati ulul amri selama tidak bertentangan dengan hukum Allah. Dalam hal pencatatan tersebut, ia bukan saja tidak bertentangan, tetapi justru sangat sejalan dengan semangat al-Quran.
Dari berbagai argumen tersebut terlihat bahwa baik itu ulama fikih klasik, kontemporer dan pakar hukum Indonesia maupun ulama Indonesia umumnya menentang nikah siri, sebab dapat menimbulkan mudarat, meskipun tidak dapat dipungkiri ada sebagian ulama yang membolehkan, dengan alasan sebagai upaya menghindari zina. Akan tetapi, untuk menghindari zina tidak mesti dengan menikah siri, nikah yang dilakukan dengan proses yang benar yang diakui oleh hukum agama dan negara akan lebih menjamin masa depan lembaga nikah tersebut.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Juz VII (Cet. III; Beirut: Dar al-Fikr, 1989). Abu al Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz II (Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1339). Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardazbah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz IV (Bairut: Dar Muthabi’i, t.th.). Muhammad Ibn ‘Aisi Abu ‘Aisi al-Turmizi al-Salami, Jami’ al-Sahih Sunan al-Turmizi (Bairut: Dar Ihya al-Turas al-‘Arabi, t.th.). Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fikh (Cet. XII; Kairo: Dar al-Kalam, 1978). Djazuli, Ilmu Fikih : Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam (Cet. VI; Jakarta: Kencana, 2006). Moh. Daud ali,”Tidak Memenuhi Hukum Nikah Positif Berarti Keluar dari Sistem Nikah yang Berlaku” wawancara dalam Mimbar Hukum, no. 28 (1996).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar