Skip to main content

Demokrasi dalam Pendidikan Madrasah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: November 14, 2011

Pada era modern madrasah masih tetap hidup. Namun demikian, eksistensinya menjadi dipertanyakan ketika kurikulumnya masih dimonopoli oleh ul­m al-naqliyah. Karena posisi madrasah yang menaruh jarak dengan sains modern itulah makna madrasah sering disebut lembaga tradisional. Kurikulum madrasah yang sering membatasi diri pada ilmu-ilmu agama agaknya mengancam eksistensinya sendiri.
Meski demikian, jika dilakukan penyesuaian dengan kecenderungan pendidikan modern, madrasah masih tetap dituntut untuk menampilkan cirinya sendiri yang memperhatikan ilmu-ilmu agama secara lebih proposional.
Madrasah dalam era modern berada dalam tarik menarik antara keharusan mempertahankan pengajaran ilmu-ilmu agama secara modern di satu pihak, dan mengembangkan pengajaran ilmu-ilmu non-keagamaan di lain pihak. Sikap madrasah yang terlalu konservatif akan mendorong lembaga itu terasing (terisolasi) dan bahkan lenyap dari perkembangan modern. Sebaliknya sikap akomodatif yang berlebihan terhadap kecenderungan pendidikan modern (sekular) juga akan menjerumuskan madrasah kedalam sistem pendidikan yang lepas dari nilai-nilai keislaman. dari situlah menurut penulis perlunya penanaman sikap demokratisasi dan liberalisasi dalam mengaplikasikan sistem madrasah.
Sistem pendidikan Islam di madrasah senang tiasa menjadi jantung, pusat kehidupan, peradaban Islam sebagai salah satu tonggaknya sebab ia tidak dapat dipisahkan dari tradisi itu sendiri yang membentuk tulang punggung keseluruhan peradaban Islam.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, terutama teknologi komunikasi elektronik dan teknologi komputer yang sangat pesat pada penghujung abad XX memasuki abad XXI, Milenium III, telah mengantar dunia dari masyarakat modern menjadi masyarakat informasi, yang menyebabkan dunia mengalami perubahan drastis dan mengalami proses transformasi globalisasi.
Upaya peningkatan mutu madrasah merupakan tuntutan yang makin mendesak dan tidak dapat dihindari. Era pasar bebas yang akan mulai bergulir tahun 2003 menuntut "kemampuan bersain" dari SDM kita. Kemampuan bersain hanya mungking muncul bila kita "berkualitas". Untuk memberi gambaran madrasah pada masa depan, maka perlu dirumuskan gambaran tentang visi madrasah dalam alam globalisasi. Visi madrasah tersebut adalah menjadi madrasah sebagai "sekolah plus" yang berkualitas, berkarakter dan mandiri".
Madrasah plus adalah madrasah yang menyiapkan anak didik mampu dalam sains dan tekhnologi, namun tetap dengan identitas keislamannya. Ini sesuai dengan konsep madrsah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam.
Dalam upaya peningkatan kualitas tersebut, dunia pendidikan Islam masih membahas dengan "kualitas guru" yang belum memadai. Keadaan ini lebih menonjol setelah ditetapkan kurikulum 1994, di mana kurikulum madrasah sama dengan kurikulum sekolah umum yang setingkat, plus ciri khas Islam untuk tingkat madrasah. Saat ini guru dalam kategori layak hanya sekitar 20% sedangkan untuk kategori salah kamar (mismatch) 20 % dan sisanya 60 % masih dalam kategori belum layak. Ini tantangan berat yang harus dihadapi dunia madrasah yang bermutu lebih rendah dibanding dengan sekolah umum yang setingkat di Diknas.
Dalam pada itu berbagai sistem pendidikan yang dapat dilihat di antaranya:
  1. Berdirinya lembaga pendidikan Islam, dalam hal ini pesantren dan Madrasah Diniyah atau semacamnya diproritaskan pada studi keagamaan dengan "ilmu agama" tertentu. Tetapi mata pelajaran yang ada di dalamnya tidak dapat memenuhi harapan agar umat Islam dapat eksis sebagai khalifah dalam berbagai aspeknya.
  2. Sistem dan pola pemikiran pertama sudah berjalan, tetapi arus modernisasi semakin hari semakin kuat. Sebagian umat Islam melihat kalau sistem pendidikan yang ada tidak dapat di andalkan memenuhi kebutuhan, terutama kebutuhan material. Karenanya. Sebagian umat Islam berusaha meniru sistem pendidikan yang sudah tersebar didunia Barat. Sehingga di Indonesia muncul Istilah Madrasah Aliyah Umum (MAU), Madrasah Aliah Negeri Program Khusus (MANPK), dan sebagainya.
  3. Pendirian bahwa sistem pendidikan model Barat yang tidak memperhatikan "Ilmu Agama Islam" dan Sistem Pendidikan Islam yang tidak peduli terhadap "Sistem Modern" harus diubah dan diperbaharui, karena sistem pendidikan Barat akan hanya menghasilkan manusia intelek yang kurang/tidak tahu tentang agama dan berorientasi keduniaan (bersifat Pragmatis). Sedangkan sistem pendidikan Islam secara tradisional akan dapat menghasilkan "ulama" yang kurang tahu mengenai politik dan urusan keduniaan. Padahal manusia yang diharapkan Islam adalah manusia yang sempurna (bahagia di dunia dan bahagia pula di akhirat)
  4. Pembaharuan yang ada dengan melalui beberapa sistem seperti yang telah dikemukakan, belum dapat memenuhi harapan umat Islam. Hal tersebut disebabkan sistem pendidikan Islam yang ada masih menampakkan adanya dualisme pendidikan antara sekolah dan Madrasah, antara Perguruan Tinggi Islam dan Perguruan Tinggi Umum. Di samping itu masih menampakkan pula adanya dikotomi ilmu, antar "Ilmu Agama" dan "Ilmu Umum".
Dengan paradigma tersebut menurut penulis perlu di adakan reformasi atau pembaharuan sistem, di antaranya rekonstruksi secara komprehensif integratif. Sehingga pada suatu saat tidak ada disintegrasi antara sistem sekolah dan madrasah atau keduanya tersingkronisasi (menyatu).
Sistem pendidikan yang mapan selama ini di madrasah dapat diandaikan sebagai sebuah "bank" (banking concept of education) di mana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi anak didik adalah obyek infestasi dan sumber deposito potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainya yang lasim dikenal. investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga pemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik pun lantas dapat diperlakukan sebagai "bejana kosong" yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman "modal ilmu pengetahuan" yang akan dipetik hasilnya kelak. Jadi, guru adalah subyek aktif , sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoretis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihapalkan.
Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan "gaya bank" itu sebagai berikut:
  • Guru mengajar, murid belajar,
  • Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa,
  • Guru berpikir, murid dipikirkan,
  • Guru bicara, murid mendengarkan,
  • Guru mengatur, murid diatur,
  • Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti,
  • Guru memilih apa yang akan di ajarkan, murid menyesuaikan diri.
  • Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya
  • Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.
Oleh karena guru menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai manusia ideal yang harus ditiru, harus diteladani dalam semua hal. Freire menyebut pendidikan semacam itu menciptakan "nekrofili" dan bukanya melahirkan "biofili" implikasinya lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid akan benar-benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru mereka dulu, dan pada saat itulah akan lahir lagi generasi baru manusia-manusia penindas. Menurut Freire, sestem pendidikan sebaliknya (sistem demokratisasi) justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia.
Pola pendidikan seperti yang pertama tadi (banking concept of education) hanya akan mampu merubah "penafsiran" seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak akan mampu merubah realitas pada dirinya sendiri.
Pembelajaran pendidikan agama Islam yang selama ini berlangsung agaknya kurang terasa terkait atau kurang koncern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi "makna" dan "nilai" yang perlu di internalisasikan dalam diri peserta didik, untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi peserta didik untuk bergerak, berbuat dan berprilaku secara kongkret-agamis dalam kehidupan praktis sehari-hari.
Kepustakaan:
Mappanganro, "Rekonstruksi Lembaga Pendidikan Islam secara Koprehensif Integratif" Makalah Seminar Regional dan Musyawarah Wilayah VII Forum Komunikasi Mahasiswa Tarbiyah Indonesia Timu".Juni 2000. Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001. Paulo Freire, The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation, diterjemah oleh Agung Prihantoro, Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remajah Rosdakarya, 2002.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar