Skip to main content

Kodifikasi al-Quran pada Masa Nabi

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 14, 2011

Agar terhindar dari kebingungan  dan kesalafahaman dalam mengartikan kata penulisan dan kodifikasi, maka terlebih dahuluh admin mencoba menjelaskan apa itu penulisan dan  apa itu Kodifikasi.
Pertama Penulisan al-Qur’an. Secara historis dan substansi penulisan al-Quran itu sendiri ada dua istilah dalam penulisan, yaitu Kitabatul Quran dan Rasm al-Quran. kata Penulisan asal dari akar kata Tulis: batu tulis, papan batu tempat menulis. untuk mencatat menyalin sesuatu yang dianggap penting dengan alat yang dapat digunakan dan untuk dipelajari secara terus menerus. Sedangkan istilah lain adalah Rasm al-Quran, kata Rasm berasal dari kata rasama, yarsamu, rasman yang erarti menggambar atau melukis. Jadi rasm berarti tulisan atau penulisan yangmempunyai metode tertentu. Kedua Kodifikasi, dalam Kamus Lengkap bahasa Indonesia Super baru kata kodifikasi asal dari akar kata kode yang artinya: Tulisan, kata-kata, tanda  yang dengan persetujuan mempunyai arti atau maksud tertentu untuk  tilgram dsb. Jadi kodifikafi adalah tulisan-tulisan yang sudah diberikan tanda-tanda atau kode-kode tertentu untuk memudahkan dalam mempelajari al-Quran.
Pengumpulan al-Quran pada Zaman Rasulullah saw  ditempuh dengan dua cara: pertama al-jam’u fis Sudur (pengumpulan dalam dada, hafalan), kedua al Jam’u fis Sudhur (dalam bentuk tulisan).
Pengumpulan al-Quran dalam dada (al-Jam’u fi al-Sudur)
al-Quran turun kepada Nabi yang Ummi, karena itu perhatian Nabi hanyalah untuk sekedar menghafal dan menghayatinya, agar ia dapat menguasai al-Quran persis sebagaimana halnya al-Quran yang diturunkan. Setelah itu, ia membacakannya kepada Ummatnya sejelas mungkin agar mereka pun dapat menghafal dan memantapkannya. Hal ini karena Nabi pun diutus Allah dikalangan  orang-orang yang Ummi pula. Firman Allah. Q.S. Al- Jum'ah; 2:
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dengan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah”.
Para Sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah saw menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang Arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
Ketika al-Quran datang kepada mereka dengan jelas, tegas ketentuannya dan keluhuran kandungan isinya, mereka merasa kagum. Akal pikiran mereka terkuasai oleh al-Quran, sehingga seluruh perhatianya dicurahkan kepada al-Quran. Mereka menghafalnya ayat demi ayat dan surah demi surat mereka tinggalkan syair-syair karena merasa memperoleh roh/jiwa dari al-Quran.
Banyak diantara para sahabat yang telah menghafal al-Quran. Hal ini karena Rasulullah saw, telah membakar semangat mereka untuk menghafal al-Quran. Beliau saw, mengutus mereka yang ahli al-Quran untuk memasuki seluruh pelosok kota dan kampung untuk mengajarkan dan membacakan al-Quran kepada penduduknya, sebagaimana halnya ketika sebelum hijrah, Beliau mengutus Musa bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum ke Madinah untuk mengajarkan islam dan mengajarkan al-Quran dan mengutus Muadz bin Jabal ke Mekkah sesudah Hijrah untuk menghafalkan dan mengajarkan al-Quran.
Itulah sebabnya, penghafal-penghafal al-Quran pada masa kehidupan Rasul saw tidak terhitung banyaknya. Kiranya cukup kita ketahui bahwa jumlah mereka yang gugur dalam pertempuran Yamamah itu lebih dari 70 orang. Pada masa Nabi dalam pertempuran di sumur Maunah, jumlah mereka yang gugur juga kira-kira 70 orang al-Qurtubi mengatakan, “pada pertempuran Yamamah jumlah Qura' (penghapal al-Quran) yang gugur adalah 70 orang dan pada pertempuran di sumur Maunah sejumlah itu juga. Jadi mereka yang mati syahid berjumlah 140 orang.
Inilah yang menggambarkan bahwa ciri Umat Nabi Muhmmad saw, adalah menghafalkan kitab suci al-Quran dalam hati mereka. Dalam menukilnya, mereka berpedoman pada hati dan dada, tidak cukup hanya dengan berdasarkan tulisan, dalam bentuk lembaran atau catatan. Berbeda halnya dengan ahli kitab, mereka tak seorang pun yang dapat menghafal akan taurat atau injil. Dan dalam mengabdikannya hanya berpedoman dengan bentuk tulisan, tidak membacanya dengan penuh saksama, kecuali hanya sekilas pandanagn dan tidak dengan  penuh penghayatan, karena itu masuklah unsur-unsur perubahan dan pergantian pada keduanya. Berbeda halnya dengan al-Quran yang telah dipelihara oleh Allah swt.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Nur Kholif Hazim,Kamus lengkap Bahasa Indonesia Super baru. Surabaya: Penerbit Terbit terang, 1994, Ahmad Warson, Munawir, Kamus al-Munawwir, Yogyakart: t.tp, 1954, H. ahmad Syadali, H. Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an II, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar