Skip to main content

Mengenal Konsep Ahl al-Kitâb

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 14, 2011

Salah satu tema terpenting dalam pesan pluralisme agama itu ialah konsepsi tentang Ahl al-Kitâb. Tak sedikit pendapat yang lahir dari konsep itu. Mulai dari maknanya yang paling tradisional hingga yang kontemporer dan kontroversial sekalipun. Dari konsep ini pula kelak melahirkan perdebatan cukup panjang dalam bentangan sejarah pemikiran Islam.
Sebutan “Ahl al-Kitâb” dengan sendirinya tertuju kepada golongan bukan Muslim, dan tidak ditujukan kepada kaum Muslim sendiri, meskipun yang terakhir ini juga menganut kitab suci, yaitu al-Quran. Ahli Kitab tidak tergolong kaum Muslim, karena mereka tidak mengakui atau bahkan menentang, kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw. dan ajaran yang beliau sampaikan. Bagi ‘Abdul Hamid Hakim, seperti dikutip Nurcholish, setidaknya terdapat tiga kelompok dari kalangan umat manusia yang menolak Nabi Muhammad dan ajarannya: (1) mereka yang sama sekali tidak memiliki kitab suci, (2) mereka yang memiliki semacam kitab suci, dan (3) mereka yang memiliki kitab suci yang jelas. Kelompok yang terakhir inilah Yahudi dan Nasrani dimasukkan. Bahkan inilah yang secara tradisional dipahami sementara pemikir Islam sebagai “Ahli Kitâb” seperti yang tercantum dalam al-Quran.
Dalam sejarah, sebagai kelompok masyarakat yang menolak atau bahkan menentang Nabi, Yahudi dan Nasrani memiliki sikap yang berbeda-beda: ada yang keras dan adapula yang lunak. Secara umum, penolakan mereka kepada Nabi digambarkan bahwa mereka tidak akan merasa senang sebelum Nabi mengikuti agama mereka. Ini suatu hal yang dapat dipahami, sebab Nabi membwa agama “baru” bagi mereka merupakan tantangan bagi agama yang sudah “mapan”, yaitu agama Yahudi dan Nasrani, sementara mereka itu masing-masing mengklaim bahwa mereka tidak saja sebagai yang paling benar atau satu-satunya yang benar, tapi juga merupakan agama terakhir dari Tuhan. Karena itu, tampilnya Nabi Muhammad dengan agama “baru”nya itu sungguh merupakan gangguan bagi mereka. Itupula sebabnya mengapa al-Quran memperingatkan kepada Nabi:
Tidaklah akan senang kepada engkau (wahai Muhammad) kaum Yahudi dan Nasrani itu, sehingga engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah (kepada mereka): “sesungguhnya petunjuk Allah itulah yang benar-benar petunjuk…
Meskipun demikian, al-Quran juga menyebutkan jika dari kalangan Ahli Kitab pun tidak sedikit yang sikapnya bersimpati kepada Nabi dan kaum Muslim. Bahkan sejumlah kecil dari mereka secara diam-diam membenarkan ajaran yang dibawa oleh Nabi itu.
Karena sikapnya yang simpati dan mengakui kebenaran ajaran Nabi, sehingga sementara penafsiran melihat mereka bukan lagi Ahli Kitab dalam pengertiannya yang tradisional, tetapi mereka telah “muslim”. Tetapi karena penamaan “Ahl al-Kitab” diintropdusir sendiri oleh al-Quran sehingga tetap dipertahankan sebagai sebuah “sebutan” kendati dengan pemahaman yang baru. Untuk pandangan yang terakhir ini dapat diwakili antara lain oleh Sayyid Muhammad Rasyid Ridlâ. Bagi Ridlâ, yang termasuk kaum Ahl al-Kitâb tidak hanya orang-orang Yahudi, Kristen dan Majusi saja,
melainkan juga orang-orang Hindu, Buddha, para penganut agama Cina, Jepang dan lain-lain. Sebab, mereka ini adalah penganut suatu jenis kitab suci yang memuat ajaran dasar tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa, sampai sekarang.
Lebih jauh Rasyid Ridlâ menandaskan:
Yang nampak ialah bahwa al-Quran menyebut para penganut agama-agama terdahulu, kaum Shâbi’in dan Majusi, dan tidak menyebut kaum Brahma (Hindu), Budha dan para pengikut konfusius karena kaum Shâbi’in dan Majusi dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi sasaran mula-mula adres al-Quran, karena kuam Shâbi’in dan Majusi itu berada berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan mereka (orang-orang Arab) belum melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga mereka mengetahui golongan yang lain. Dan tujuan ayat suci telah tercapai dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal (oleh bangsa Arab), sehingga tidak perlu membuat keterangan yang terasa asing (ighrâb) dengan menyebut golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi adres pembicaraan itu di masa turunnya al-Quran berupa penganut agama-agama yang lain. Dan setelah itu tidak diragukan bagi mereka (orang Arab) yang menjadi adres pembicaraan (wahyu) itu bahwa Allah juga akan membuat keputusan perkara antara kaum Brahma, Buddha, dan lain-lain.
Telah diketahui jika al-Quran jelas menerima jizyah dari kaum Ahl al-Kitâb, dan tidak disebut bahwa Jizyah itu dipungut dari golongan selain mereka. Maka Nabi saw. pun, demikian pula para khalifah ra., menolak jizyah itu dari kaum Musyrik Arab, tetapi menerimanya dari kaum Majusi di Bahrain, Hajar, dan Persia sebagaimana disebutkan dalam dua kitab Hadits yang shahih. (Bukhari Muslim) dan kitab-kitab Hadits yang lain. Dan (Imam) Ahmad, al-Bukhari, Abdu Dawud, dan al-Turmudzi serta yang lain-lainnya telah meriwayatkan bahwa Nabi saw. memungut jizyah dari kaum Majusi, dan dari Hadits ‘Abd al-Rahman ibn ‘Auf bahwa dia bersaksi untuk ‘Umar tentang hal tersebut ketika ‘Umar mengajak para sahabat untuk bermusyawarah mengenai hali itu. Malik dan al-Syafi’i meriwayatkan dari ‘Abd al-Rahman ibn ‘Auf bahwa ia berkata: “Aku bersaksi, sungguh aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada Ahli Kitab.’ Dalam sanadnya ditemukan adanya rantai yang terputus, dan pengarang kitab al-Muntaqa dan lain-lainnya menggunakan Hadits itu sebagai bukti bahwa mereka (kaum Majusi) tidak termasuk Ahli Kitab. Tapi, pandangan ini jelas lemah, sebab penggunaan umum perkataan “Ahli Kitab” untuk dua kelompok manusia (Yahudi dan Nasrani) karena adanya kepastian asal kitab-kitab suci mereka dan tambahan sifat-sifat khusus mereka tidak dengan sendirinya berarti bahwa di dunia ini tidak ada Ahli Kitab selain mereka, padahal diketahui bahwa Allah mengutus dalam setiap umat Rasul-rasul untuk membawa berita gembira dan berita ancaman, dan bersama mereka itu Dia (Allah) menurunkan Kitab Suci dan Ajaran Keadilan (al-Mizan) agar manusia bertindak dengan keadilan. Seperti halnya juga dengan penggunaan istilah umum “ulama” untuk sekelompok manusia yang memiliki kelebihan khusus, tidaklah mesti berarti jika ilmu hanya terbatas pada mereka dan tidak ada pada orang lain.
Dari kutipan sangat panjang di atas diharapkan sedikitnya menciptakan wawasan baru dalam pemahaman keagamaan, khususnya konsep tentang Ahl al-Kitab. Pemahaman seperti itu meski oleh sementara pihak dipandang sangat kontroversi, tapi setidaknya akan memberi “ruang gerak” pemikiran keagamaan yang tidak diragukan lagi akan kuat sekali relevansinya dengan kondisi objektif zaman modern dengan ciri globalisasi yang menimbulkan pluralisme ini.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Nurcholish Madjid. Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995. Muhammad Rasyid Ridla. Tafsir al-Manar. Harold Coward. Pluralism, Challenge to World Religions, diterjemahkan oleh Tim Kanisius, “Pluralisme, Tantangan bagi Agama-agama”, Yogyakarta: Kanisius, 1992. Q.s. al-Mâidah/5:48 dan al-Bâqarah/2:213. Max I. Dimont. The Indestructible Jews, New York: New American Library, 1973.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar