Skip to main content

Material Makalah; Bentuk-bentuk Nasakh

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 25, 2011

Sebelumnya sudah disinggung bentuk nasakh menyangkut obyek materialnya. Dari sudut formalnya, nasakh terbagi ke dalam empat jenis, yaitu:
1 (Nasakh ayat al-Quran dengan ayat al-Quran).
Para ulama bersepakat bahwa sebuah ayat bisa saja dinasakh (mansûkh) oleh ayat yang lain dan itu terjadi dalam al-Quran. Contohnya, ayat tentang iddah wanita yang ditinggal mati suaminya selama setahun dinasakh oleh ayat yang menjelaskan bahwa iddahnya selama empat bulan sepuluh hari.
نسخ القرآن بالسنة .2 (Nasakh ayat al-Quran dengan as-Sunnah).
Nasakh ini diperselisihkan oleh para ulama. Imam Syafi'i serta sebagian fuqaha Hanbali berpendapat bahwa as-Sunnah tidak dapat menasakh al-Quran, baik yang mutawâtir maupun yang ahad. Alasannya, 1kedudukan as-Sunnah secara hierarki berada di bawah al-Quran, sehingga jika al-Quran ingin dinasakh maka diperlukan nâsikh yang sederajat, dan inilah yang dimaksud oleh al-Quran sendiri dalam ayatnya:
...نأت بخير منها أو مثلها...
(...Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sama dengannya..."). Sementara As-Sunnah tidak menyamai al-Quran apatah lagi melebihinya. Juga, oleh karena As-Sunnah berfungsi sebagai bayân (penjelas) terhadap al-Quran dan bukan malah menghapus atau membatalkan (nasakh) ayat-ayatnya.
al-Quran telah menetapkan bahwa as-Sunnah merupakan hujjah (disamping al-Quran sendiri).Jika as-Sunnah dianggap menasakh al-Quran maka berakibat pembatalan bagi as-Sunnah itu sendiri dikarenakan nasakh adalah al-raf'u (pengangkatan/penghapusan), sehingga jika al-Quran (yang merupakan al-ashlu atau pokok) terangkat atau terhapus maka terangkat pulalah as-Sunnah (yang nota-bene merupakan al-far'u atau cabang).
Mazhab Maliki, Hanafi, Zhahiri dan para teolog dari golongon Asy'ariah dan Muktazilah serta sebagian fuqaha Hanbali begitu pula umumnya fuqaha Syafi'i berpendapat bolehnya al-Quran dinasakh oleh as-Sunnah dan bukan sesuatu yang mustahil terjadi; dengan catatan: sunnah yang mutawâtir. s-Sunnah, diakui atau tidak, merupakan pula wahyu dari Allah swt.
Dengan demikian, ia dinilai layak menasakh al-Quran. Juga nasakh, pada hakikatnya, merupakan bagian dari bayân itu sendiri. Apatah lagi, jika ayat al-Quran turun dengan lafazh yang mujmal (global; tidak rinci) lalu ditafsirkan dan dijelaskan oleh Nabi saw maka penjelasan Beliau saw ini sederajat dengan al-Quran. Tentang penetapan as-Sunnah sebagai hujjah, justru hal itu memperkuat eksistensi s-Sunnah sebagai nâsikh (terhadap al-Quran). Hanya saja, ketika al-Quran itu mutawâtir yang berimplikasi qath'iy al-tsubût maka dalam hal ini diperlukan as-Sunnah yang qath'iy al-tsubût pula dan itu ada pada s-Sunnah yang mutawâtir.
Akan halnya Ibnu Hazm, Beliau membolehkan nasakh al-Quran dengan as-Sunnah, baik yang mutawâtir maupun yang âhâd.
نسخ السنة يالقرآن .3  as-Sunnah dengan al-Quran)
ini diperselisihkan pula oleh para ulama. Jumhur ulama dari kalangan fuqaha dan teolog berpendapat, nasakh semacam ini benar-benar terjadi. Contoh: kiblat yang tadinya mengarah ke Bait Muqaddas ditetapkan dengan as-Sunnah kemudian dinasakh mengarah ke Bait al-Quran. Juga puasa asyura yang semula wajib berdasarkan as-Sunnah dinasakh oleh kewajiban puasa Ramadhan yang ditetapkan melalui ayat al-Quran. 
Imam Syafi'i dalam salah satu dari dua riwayat dari Beliau, serta sejumlah sahabat Beliau menolak pula nasakh ini. Beliau beralasan bahwa antara al-Quran dan as-Sunnah, sejatinya, saling mendukung. Keserasian dan kesecocokan antara keduanya merupakan keniscayaan. as-Sunnah, sekali lagi, adalah bayân sehingga tidak logis kiranya jika ia dihapus atau dibatalkan oleh al-Quran. Pun, akan menyebabkan kepercayaan orang terhadap as-Sunnah akan goyah, yang pada gilirannya menafikan upaya-upaya ketaatan kepada diri Rasulullah saw yang nota-bene merupakan perintah Allah swt.
نسخ السنة بالسنة .4 (Nasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah)
Jenis ini dirinci menjadi empat bagian: [1] nasakh As-Sunah yang mutawâtir dengan yang mutawâtir, [2] nasakh As-Sunnah yang âhâd dengan yang mutawâtir, [3] nasakh as-Sunnah yang âhâd dengan yang âhâd dan [4] nasakh As-Sunnah yang mutawâtir dengan yang âhâd. Ketiga pertama diatas diamini oleh jumhur ulama sedang yang keempat dipermasalahkan oleh mereka. Lagi-lagi alasannya karena As-Sunnah yang mutawâtir itu qath'iy al-tsubût sehingga kedudukannya lebih kuat dibanding as-Sunnah yang âhâd yang zhanniy al-tsubût. Dan pembatalan terhadap yang kuat tak mungkin dilakukan kecuali oleh yang kuat pula.
Sekali lagi, mazhab Zhahiri membolehkan nasakh As-Sunnah yang mutawâtir dengan yang âhâd, apatah lagi jika as-Sunnah yang âhâd itu terbukti memberikan keyakinan yang qath'i (qath'iy al-dalâlah).
Selanjutnya, nasakh yang ada dalam al-Quran digambarkan dalam empat kategori, yaitu:
نسخ التلاوة و الحكم معا (Di-nasakh lafazh dan hukumnya sekaligus). Contohnya, lafzazh ayat yang menyebutkan diharamkannya saudara/saudari sesusuan dikawini jika penyusuan sudah sampai sepuluh kali ن)yang kemudian dinasakh dengan lima kali penyusuan yang diketahui خمس معلومات)Berdasarkan riwayat Aisyah r.a, ayat ini termasuk yang dibaca dalam al-Quran bahkan setelah Nabi saw wafat. Yang jelas, ayat ini tidak lagi tercantum dalam al-Quran dan hukumnya tidak pula diamalkan, baik yang mansûkh maupun yang nâsikh.نسخ الحكم دون التلاوة(Dinasakh hukumnya tanpa menasakh lafazh/teks ayatnya). Contohnya, firman Allah swt:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ ..."
"Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)....". (Q.S. alBaqarah: 240).
Ayat ini meskipun masih dapat dibaca/tertera dalam al-Quran tetapi ketentuan hukum yang dikandungnya telah dinasakh oleh ayat yang lain, yaitu ayat ke-234 dari Surah al Baqarah yang menjelaskan bahwa iddah dalam masalah ini adalah empat  bulan sepuluh hari.
Contoh lain, firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَة ..."ً
Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian mengadakan "najwâ" (pembicaraan khusus dengan Rasul) hendaklah kalian mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu...". (Q.S. alMujaadilah: 12).
Kandungan hukum ayat ini dinasakh oleh ayat sesudahnya, yaitu ayat ke-13 dari Surah al-Mujaadilah yang menjelaskan gugurnya kewajiban bersedekah ketika ingin melakukan najwâ dengan Nabi saw.
نسخ التلاوة دون الحكم (Dinasakh lafazhnya tanpa menasakh hukumnya), seperti yang diriwayatkan dari Umar r.a dan Ubay bin Ka'ab r.a bahwasanya keduanya berkata, "di antara yang pernah diturunkan dari al-Quran adalah:
الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة نكالا من الله "
Orang yang sudah menikah, baik lelaki maupun wanita, jika keduanya berzina maka rajamlah keduanya sebagai siksa dari Allah".
'Ayat' ini tak ada lagi dalam al-Quran, namun hukumnya tetap berlaku. Nabi saw sendiri, semasa hidup beliau, melaksanakan hukum rajam terhadap tiga orang, yaitu: Ma'iz, seorang wanita Ghamidiyah dan seorang pekerja yang berzina dengan istri majikannya. Dan beliau saw mengumumkan bahwa ia adalah hukuman bagi para pezina yang telah menikah.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Riwayat Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Malik dan Ad-Darami. Riwayat shahih. Muhammad Ali Al Hasan, Al Manâr fî 'Ulûm al-Qur'ân, diindonesiakan oleh Mahbubah, Bogor: Pustaka Thariq Al Izzah, 2007. Muhammad bin Alawi, Zubdah al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân, Jeddah: Dar Al Syuruq, tth. Subhi Ash-Shalih, Mabâhits fî 'Ulûm al-Qur`ân, diindonesiakan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-Ilmu Al Qur'an, Jakarta, 2004. As-Suyuthi, al-Itqân fî Ulûm al-Qur`ân, Kairo: Dar Al Hadits, 2004. Az-Zarkasyi, al-Burhân fî Ulûm al-Qur`ân, (Kairo: Dar Al Hadits, 2006. Abdul Jalal H.A., Ulumul Qur'an, Dunia Ilmu Surabaya, 1998. Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dar Al Fikr Al Arabi, tth.Ali Muhammad dan Adil Ahmad dalam muqaddimah beliau atas al-Nâsikh wa al-Mansûkh min al-Hadîts oleh Ibnu Syahin, Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, 1992. An-Nahhas, al-Nâsikh wa al-Mansûkh fî al-Qur`ân, Beirut: Muassasah Al Kutub Ats-Tsaqafiah, 1996. Abdul Karim Zaidan, al-Wajîz fîUshûl al-Fiqh, Beirut: Muassasah Al Risalah, 1996.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar