Skip to main content

Eksklusifisme Hadis Ulama Madinah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: November 06, 2011

Eskslusifisme hadis adalah paham khusus mengenai amalan-amalan yang bersumber dari hadis-hadis Nabi saw. Sedangkan ulama Madinah adalah tokoh-tokoh hadis yang menetap dan berpengaruh di Madinah, dimana tokoh-tokoh tersebut memiliki paham tersendiri mengenai praktek terhadap pengamalan hadis-hadis Nabi saw dengan merujuk pada al-Muwathta'.
Jika ditelusuri, eskslusifisme hadis ulama-ulama Madinah memiliki alur pikiran berbeda dengan ulama-ulama lainnya. Abu Hanīfah misalnya di Irak (Kūfah) banyak menggunakan analogi (qiyas) dan pertimbangan kebaikan umum (istishlah) dan tumbuh dalam lingkungan pemrintah pusat, sama halnya dengan aliran pikiran al-Awzāi di Syiriah (Damaskus) sebelumnya. Berbeda dengan keduanya itu, aliran pikiran Malik bin Anas, ia terbentuk oleh suasana lingkungan Hijaz khususnya Madinah, yang sangat memperhatikan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya.
Malik bin Anas mempunyai seorang murid, yaitu Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Murid ini meneruskan tema aliran pikir gurunya dan mengembangkannya dengan membangun teori yang ketat untuk menguji kebenaran sebuah laporan tentang sunnah sehingga menjadi bentuk eskslusifisme hadis, terutama tentang hadis yang diriwayatkan langsung oleh Nabi.
Bagi Malik dan ulama Madinah yang mewarisinya, memiliki alur pemikiran eksulisifisme hadis sejalur. Dalam hal ini, mereka memiliki paradigma bahwa amal perbuatan penduduk Madinah adalah perbuatan-perbuatan baik dalam rangka beribadah kepada Allah atas dalam berhubungan sosial dengan manusia yang dilakukan oleh orang-orang Madinah.
Perbedaan yang paling menyolok antara paham ekslusifisme hadis ulama Madinah dengan ulama lainnya dalam memposisikan hadis. Dalam hal ini, ulama pengikut Syafi’i dan Hanbali sangat berhati-hati dalam memakai akal untuk menentukan hukum dari suatu peristiwa yang belum ada nash yang menunjuk. Sedangkan ulama pengikut Malik dan Ahl al-Madinah memberikan peluang besar terhadap nalar manusia untuk menentukan suatu hukum melalui kajian ijtihad dengan ruang lingkup yang luas.
Walaupun demikian, dua kelompok ulama yang disebutkan di atas, tetap memiliki persamaan, yakni sama-sama mempergunakan al-Quran dan Sunnah sebagai sumber rujukan utama, serta sama-sama mempunyai konstribusi yang sangat besar dalam pembentukan dan pengembangan hukum Islam, hanya berbeda dalam tataran eskslusifisme hadis. Implikasi dari adanya perbedaan dan persamaan dari kedua kelompok ulama tersebut, dapat diterjemahkan dan diimplemantasikan ke dalam kehidupan sehari-sehari dengan tempat yang berbeda.
Ulama Madinah dalam menginterpretasikan hadis, mereka senantiasa mengkorelasikannya dengan amalan Ahl al-Madinah. Jadi, secara teoritis bentuk eskslusifisme hadis ulama Madinah berpegang teguh pada aturan-aturan adat dari suatu negeri. Dengan kata lain amalan-amalan penduduk madinah harus dipertimbangkan dalam memformulasikan suatu ketetapan, walaupun ia memandang adat ahli Madinah sebagai suatu variabel yang paling otoritatif dalam teori kajian hukumnya.
Para ahli hukum Islam melihat bahwa adat merupakan salah satu sumber hukum Islam sekunder, dalam arti diaplikasikannya prinsip-prinsip tersebut hanya ketika sumber hukum yang primer tidak memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang muncul. Ini merupakan bukti bahwa peran akal dalam menganalisa suatu kasus yang belum ada nash hukumnya sangat diperlukan, dan pada kenyataannya tidak pernah dikesampingkan oleh para fuqaha dalam usahanya membangun hukum Islam.
Teori yang dianut oleh ulama Madinah tersebut, nampaknya kontradiktif dengan ulama-ulama lain menyatakan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka serta tidak pernah tertutup, sebab tidak ada orang yang berhak untuk menutupnya. Hal ini terkait dengan Hukum Islam yang dijelaskan oleh Abdul Wahhab Khallaf mempunyai bentuk (1) hukum yang ditentukan oleh ayat dan hadis dan ini adalah hukum Ilahiyah; (2) hukum yang dihasilkan ijtihad para mujtahid dan ini adalah hukum Ilahiyah ditinjau dari segi sumbernya, tetapi dinamakan hukum manusiawi kalau ditinjau dari kenyataan bahwa ia merupakan hasil ijtihad atau pemikiran manusia.
Argumentasi ulama Madinah untuk mementahkan pendapat ulama tentang tertutupnya pintu ijtihad adalah:
Bahwa ayat-ayat yang mereka anggap sudah mencakup semua peristiwa dan masalah baru maksudnya adalah telah tercakup dalam dasar-dasar yang umum yang menjadi landasan membuat kemaslahatan ummat di dunia dan akhirat. Dasar-dasar yang umum itu telah digariskan oleh Alquran dan Sunnah, seperti mengqiyaskan peristiwa yang belum ada nashnya dengan peristiwa yang sudah ada nashnya dan mengarahkan amalan ppada terealisirnya kemaslahatan bersama. Andai saja peristiwa-peristiwa baru itu sudah tercakup didalam nash mengenai status hukumnya, niscaya Rasul saw. dan sahabatnya tidak melakukan ijtihad atas masalah-masalah baru yang tidak ada nashnya.
Atsar-atsar dari para sahabat yang isinya mencela orang-orang yang menggunakan akal dalam memahami nash agama adalah berlawanan dengan perintah Rasul saw. kepada para sahabatnya untuk melakukan ijtihad dan perbuatan beliau sendiri yang melakukannya. Dua buah nash yang saling berlawanan ini hendaknya diusahakan pendekatannya. Dalam hal ini usaha pendekatannya yang layak ialah mengkompromikan keduanya dengan analisa sebagai berikut: “ketentuan-ketentuan syariat itu ada tidak memberi kelonggaran kepada pikiran untuk menalarnya, sehingga seorang dilarang untuk memperbincangkannya; dan ada yang memberi kelonggaran kepada pikiran untuk menalar dan berpendapat.
Berdasar argumentasi di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hadis-hadis dalam konteks ulama madinah adalah menempatkan hadis-hadis dalam kitab al-Muwathta' Malik sebagai paradigma awal, kemudian bila muncul persoalan, akan dihipotesa dan ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang mereka buat berdasarkan akal (ra’y) dari hasil analogika mereka. Karena itu ketika muncul persoalan yang melahirkan suatu masalah baru, maka mereka dapat langsung menemukan solusinya. Sedangkan terhadap persoalan yang belum terjadi, mereka telah meletakkan dasar-dasarnya dan telah memberikan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan alur hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-Muwaththa’.
Dalam prakteknya, hadis-hadis dalam kitab al-Muwathta' menurut pandangan ulama Madinah dapat diinterpretasi lebih lanjut sesuai dengan adat yang berlaku dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat Madinah. Sebagai contohnya adalah ketentuan mengusap kepala ketika berwudu’, ulama Madinah berpegang pada hadis Abdullah bin Zaid, yang intinya bahwa difardhukan menyapu seluruh kepala ketika berwudhu. Hadis yang dimaksud adalah ;
أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِاللَّهِ بْنِ زَيْدٍ وَهُوَ جَدُّ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى أَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُرِيَنِي كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَ عَبْدُاللَّهِ بْنُ زَيْدٍ نَعَمْ ... ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ
Seorang laki-laki bertanya kepada Abdullah bin Zaid (kakenya Amr bin Yahya), bolekah engkau mempraktekkan cara berwudhunya Nabi saw. Lalu Abdullah bin Zaid menjawab : ya, … lalu ia menyapu kepalanya dengan kedua tangannya, maka ditariknya dari muka kemudian ke belakang kepalanya, lalu ditariknya (lagi) kedua tangannya itu ke arah pundaknya.
Hadis di atas, merupakan penjabaran lebih lanjut dari QS. al-Māidah (5): 6 sebagai berikut :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمِيثَاقَهُ الَّذِي وَاثَقَكُمْ بِهِ إِذْ قُلْتُمْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Berdasarkan ayat di atas, maka semua ulama sepakat bahwa membasuh muka, membasuh kedua tangan dan kedua kaki dan mengusap kepala adalah fardu yang harus dikerjakan dalam berwudu’. Namun, mereka berselisih pendapat tentang kadar yang difardukan dalam mengusap kepala, dengan merujuk pada klausa ayat ومسحوا برءوسكم . Bagi ulama Madinah yang berpegang pada hadis yang dikutip terdahulu menyatakan bahwa wajibn mengusap seluruh bagian kepala. Abū Hanifah berpendapat bahwa kadar mengusap kepala ketika berwudu adalah seperempat kepala; bagi Imam Syafī’i berpendapat bahwa dalam kadar (batas)nya adalah tiga helai rambut.
Perlu dijelaskan disini bahwa ulama Madinah yang menganut mazhab Maliki tersebut sangat selektif menerima hadis, hadis dari Abdullah bin Zaid yang juga sebagai penduduk Madinah, diterimanya mutlak. Juga pada sisi lain, daerah Madinah memiliki suhu yang panas, dan karena itu; mengusap semua kepala ketika berwudu’ adalah hal yang mutlak, di samping untuk mengikuti petunjuk hadis dari Abdullah bin Zaid, juga mengikuti amalan penduduk Madinah yang senang menghangatkan kepala mereka dari panas matahari.
Ijma’ Ahl al-Madinah yang dinisbahkan kepada Imam Malik, yaitu dengan terealisasinya kesepakatan para ulama Madinah dari para sahabat, dengan berdasarkan pada pemahaman mereka bahwa “Madinah bagaikan gudang ilmu”. Hal ini mengindikasikan bahwa para ulama Madinah tersebut dalam menetapkan memahami hadis-hadis atau dalam menginterpretasikan hadis-hadis sangat jauh dari kesalahan. Dapatlah dirumuskan bahwa ulama Madinah lebih memetingkan amalan ahlul Madinah itu sendiri, berdasarkan riwayat hadis-hadis yang bersumber dari kitab al-Muwathta'
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Mushthafa al-Siba’i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam; Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991. Yasin Dutton, Sunnah, Hadis dan Amal Penduduk Madinah; Studi tentang Sumber Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 1998. Muhammad al-Rāi al-Andalūsi, Ahh al-Madīnah fī al-Ash al-Hadīsah Madīnah: Dar Ihyah al-Ilmiah, 1987. Abd. Wahhab Khallaf, Ushul al-Fiqh, diterjemahkan oleh Imron Rosyadi dengan judul Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. Mochtar Yahya, et.all, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam, Bandung : Al-Ma’rif, 1986. Mālik bin Anas, al-Muwaththa’, yang ditahqiq oleh Muhammad Fu’ad Abd. al-Bāqy. Hadis di atas, dikutip dari CD. Rom Hadīś al-Syarīf al-Kutub al Tis’ah dalam al-Muwathta. Syaikh Mahmud Syaltut dan Syaikh Muhammad Ali al-Sayis, Maqāranah al-Mazāhib fī al-Fiqhiyah, diterjemahkan oleh H. Ismuha dengan judul, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fikih, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar