Skip to main content

Mengulas "tuntas" Epistemologi Gerak

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: July 07, 2011

“Gerak” telah banyak diperbincangkan baik dalam fisika maupun metafisika, dari pandangan fisika “gerak” adalah sebuah fenomena alami. Sedangkan dari pandangan para filosof ilahi dan metafisika, “gerak” adalah sebuah bentuk eksistensi. Pembahasan gerak pada era ini merupakan salah satu titik temu antara fisika dan filsafat. Para ilmuwan kuno telah pula melakukan pembahasan bab gerak ini dalam masalah natural dan juga dalam masalah theologi dengan makna umum dan khusus.
Adanya pembauran antara hukum-hukum filosofi gerak dengan hukum-hukum ilmiah (eksperimen)-nya, baik dalam pembauran keduanya dengan sesamanya, dan kesimpulan deduktif filosofis dari prinsip ilmiah ataupun sebaliknya. Karena hal ini banyak diikuti oleh kerusakan yang merugikan terutama untuk kalangan para pemula dan mereka yang belum matang. Immuniti dari bahaya pembauran ini berada pada lingkup pengetahuan atas batasan fisika dan filsafat. Pada tempatnyalah, apabila para filosof ilahi mempunyai metodologi yang matang dalam pembahasan fisika tentang gerak ini, dan para pelajar serta peneliti fisika pun melakukan pengamatan dan observasi yang cermat dan teliti dalam pembahasan tema filsafat gerak ini.
Warna dari pembicaraan kita dalam tulisan ini lebih merupakan warna filosofi dari pada eksperimen (ilmiah). Titik perhatian kami adalah pada analisa teori penggerak awal (prime mover) Aristoteles.
Dalam uraian teori gerak, penggerak tak digerakkan ditetapkan sebagai tujuan akhir yang merupakan pokok dalam definisi gerak yaitu perjalanan dari potensi ke aktual. Segala sesuatu yang bergerak, untuk dapat bergerak, mengharuskan adanya tujuan, dan apabila tujuan itu sendiri membutuhkan tujuan, ini berarti termasuk dalam suatu kaidah yang pada akhirnya mengharuskan adanya rangkaian aktualitas yang merupakan tujuan dari segala sesuatu yang bergerak yang kemudian berakhir pada satu aktualitas hakiki yang tidak membutuhkan aktualitas lagi dan merupakan dasar dari gerak segala sesuatu yang bergerak, dengan kata lain tujuan akhir (hakiki) meniscayakan ketiadaan potensi dan merupakan kesempurnaan yang hakiki.
Setelah diketahui bahwa sisi aktual apabila dinisbatkan kepada sisi potensi merupakan sisi yang konstan, maka pembuktian penggerak tak digerakkan melalui pencari tujuan gerak menjadi lebih gampang dan lebih sedikit memiliki sanggahan, misalnya sanggahan berikut tidak bisa diungkapkan bahwa tujuan dekat yang bergerak itu sendiri meniscayakan sebagaimana pelaku dekat dalam gerak- dirinya sebagai yang digerakkan pula, melainkan kebalikannya setiap tujuan dari sisi tujuannya meniscayakan kekonstanan. (perhatikan ini).
Apakah gerak yang terpancar dari penggerak pertama muncul dari cinta?
Salah satu pembahasan yang disajikan dalam wacana tentang Tuhan-nya Aristoteles dan perbedaannya dengan Tuhan agama-agama langit adalah bahwa Tuhan agama-agama langit bisa dijadikan sebagai pancaran cinta sehingga kita mampu beribadah kepada Nya, hal ini berlawanan dengan Tuhannya Aristoteles (yaitu penggerak tak digerakkan) dimana kita tidak bisa beribadah kepada Nya dengan cinta..
Berdasarkan nukilan Frederick Copleston, dikatakan bahwa Aristoteles sendiri dalam kitabnya yang berjudul “Akhlak Kabir” telah mengungkapkan sub tema ini secara eksplisit bahwa mereka yang berfikir bisa mencintai Tuhan akan terjerumus pada kesalahan, karena pertama: Tuhan (penggerak tak digerakkan) tidak bisa memberikan jawaban dalam menanggapi cinta kita dan kedua: dalam keadaan apapun dia tidak bisa menyuruh kita untuk mencintai Nya.
Tentang hakekat apa yang sebenarnya dimaksud oleh Aristoteles, hal ini membutuhkan kontemplasi dan observasi yang lebih cermat lagi dan dalam bab ini muncul pertanyaan prinsip sebagai berikut yaitu apabila Tuhan atau penggerak tak digerakkan pertama kita letakkan sebagai tujuan akhir dan juga sebagai ma’shuq (yang dicintai) dan penggerak akhir yang relevan, dalam keadaan ini alam gerak secara keseluruhan akan merupakan alam cinta terhadap penggerak tak digerakkan yaitu Tuhan, dan hal ini tidak relevan dengan klaim yang mengatakan bahwa tidak bisa ada cinta terhadap Tuhan, kecuali apabila maksud Aristoteles adalah bahwa cinta terhadap Tuhan tersebut berada di dalam segala sesuatu yang digerakkan secara paksa dan tak dikehendaki sehingga tidak tersisa lagi tempat untuk cinta, penyembahan dan ibadah yang dikehendaki.
Referensi makalah
*Berbagai sumber
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar