Skip to main content

Perpindahan Hak Wali Nikah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 06, 2012

Hak menjadi Wali Nikah terhadap perempuan, sedemikian berurutan, sehingga aturan mengenai perpindahan hak wali nikah, jika masih terdapat Wali Nikah yang lebih dekat maka tidak dibenarkan Wali Nikah yang lebih jauh itu menikahkannya, jika masih terdapat Wali Nasab maka Wali Hakim tidak berhak menjadi Wali Nikah.
Dalam urutan Wali Nasab, Wali Nikah yang lebih dekat disebut Wali Aqrab, sedang yang lebih jauh disebut Wali Ab'ad, misalnya ayah dan kakek, ayah disebut Wali Aqrab sedang kakek disebut Wali Ab'ad. Demikian pula antara kakek dan ayah kakek, antara ayah kakek dan saudara laki-laki sekandung, antara saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki seayah dan seterusnya.
Hak Wali Nikah dari Wali Aqrab berpindah kepada Wali Ab'ad apabila:
  1. Wali Aqrab tidak beragama Islam sedang mempelai perempuan beragama Islam.
  2. Wali Aqrab orang yang fasiq.
  3. Wali Aqrab belum baligh.
  4. Wali Aqrab tidak berakal (gila atau maj nun).
  5. Wali Aqrab rusak ingatannya sebab terlalu tua atau sebab lain.
Hak Wali Nikah dari Wali Nasab berpindah kepada Wali Hakim apabila:
  1. Tidak ada Wali Nasab sama sekali.
  2. Wali mafqud (dinyatakan hilang tidak diketahui tempatnya).
  3. Walinya sendiri menjadi mempelai laki-laki, padahal tidak ada wali nikah yang sederajat dengannya. .
  4. Walinya sakit pitam (ayan)
  5. Walinya jauh dari tempat akad perkawinan (ghaib).
  6. Walinya berada di penjara yang tidak boleh ditemui.
  7. \Walinya berada di bawah pengampunan (mahjur alaih).
  8. Walinya bersembunyi (tawari).
  9. Walinya jual mahal (sombong atau ta'azzuz).
  10. Walinya menolak atau membangkang menjadi wali Nikah ('adlal).
  11. Walinya sedang berihram haji atau umrah.
Sayyid Sabiq dalam kitabnya, menjelaskan panjang lebar tentang masalah pernikahan. Dalam hubungannya dengan wali, bahwa wali nikah merupakan suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya. Wali ada yang umum dan ada yang khusus. Khusus ialah berkenaan dengan manusia dan harta benda.
Imam Malik ibn Anas dalam kitabnya mengungkapkan, masalah wali nikah dengan penegasan bahwa seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, dan seorang perawan harus meminta persetjuan walinya. Sedangkan diamnya seorang perawan menunjukkan persetujuannya.
Fiqih Tujuh Madzhab yang dikarang oleh Mahmud Syalthut, diungkapkan bahwa nikah tanpa wali terdapat perbedaan pendapat yaitu ada yang menyatakan boleh secara mutlak, tidak boleh secara mutlak, bergantung secara mutlak, dan ada lagi pendapat yang menyatakan boleh dalam satu hal dan tidak boleh dalam hal lainnya.
Sedangkan Abu Hanifah, Zufar asy-Sya’bi dan Azzuhri berpendapat apabila seorang perempuan melakukan akad nikahnya tanpa wali, sedang calon suami sebanding, maka nikahnya itu boleh.
Berdasarkan riwayat Ibnul Qasim dari Malik, disimpulkan adanya pendapat lain, yaitu bahwa persyaratan wali itu sunat hukumnya, dan bukan fardlu. Demikian itu karena ia meriwayatkan dari Malik bahwa ia berpendapat adanya waris mewarisi antara suami dengan istri yang perkawinannya terjadi tanpa menggunakan wali, dan wanita yang tidak terhormat itu boleh mewakilkan kepada seorang lelaki untuk menikahkannya. Imam Malik juga menganjurkan agar seorang janda mengajukan walinya untuk mengawinkannya.
Dengan demikian, seolah-olah Malik menganggap wali itu termasuk syarat kelengkapan perkawinan, bukan syarat sahnya perkawinan. Ini bertolak belakang dengan pendapat fuqaha Maliki dari Baghdad yang menyatakan bahwa wali itu termasuk syarat sahnya perkawinan, bukan syarat kelengkapan.
Perbedaan pendapat ini menurut Ibnu Rusyd disebabkan tidak terdapatnya satu ayat dan satu hadits pun yang berdasarkan lahirnya mensyaratkan adanya wali dalam perkawinan, terlebih lagi yang menegaskan demikian. Bahkan ayat-ayat dan hadis-hadis yang biasa dipakai alasan oleh ahli fikih yang mensyaratkan wali hanya memuat kemungkinan yang demikian itu.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Sayyid Sabiq, Fihkus Sunnah, (Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Ijtimaiyah, tt). Imam Malik Ibn Annas, al-Muwatha’, (Beirut Libanon: Dar al-Kitab Ilmiyah tt). Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000). Abul Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Al-Faqih, Bidayat al­Mujtahid Wa nihayat al-Muqtasid, (Beirut: Dar al- Jiil, juz 2, 1409H/1989M).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar