Skip to main content

Biografi Imam Abu Hanifah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: October 24, 2012

Nama lengkapnya adalah Abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit bin Zufi At-Tamimi. Dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H, pada masa pemerintahan Abdul Al-Malik ibn Marwan, Dinasti Umayyah. Abu Hanifah dilahirkan di tengah keluarga Persia dan diberi nama “An-Nukman” sebagai kenangan akan nama salah seorang Raja Persia dimasa silam. Abu Hanifah masih mempunyai pertalian hubungan kekeluargaan dengan Imam Ali bin Abi Thalib ra. Ali bahkan pernah berdoa bagi Tsabit, agar Allah memberkahi keturunannya.
Ayah Abu Hanifah adalah seorang pedagang besar. Sejak kecil, Abu Hanifah selalu bekerja membantu ayahnya. Ia selalu mengikuti ayahnya ke tempat-tempat perniagaan. Di sana ia turut berbicara dengan pedagang­pedagang besar sambil mempelajari pokok-pokok pengetahuan tentang perdagangan dan rahasia-rahasianya. Demikian yang dilakukannya sehari­hari hingga saat ada seorang ulama fikih bernama al-Sya’bi melihatnya dan menyarankan agar ia mengalihkan perhatiannya kepada ilmu pengetahuan.
Sejak usia kanak-kanak, Abu Hanifah menyaksikan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh al-Hajaj, Gubernur Irak, dan pembasmian yang dilakukannya terhadap siapa saja yang berani menentang penguasa Bani Umayyah, tidak peduli apakah mereka itu ulama ahli fikih kenamaan atau tidak. Oleh karena itu tidak aneh jika sejak kecil ia sudah mengenal tingkah laku para penguasa Bani Umayyah dan mencela keras penindasan yang mereka lakukan. Dalam hati kecilnya, Abu Hanifah menolak dan menentang keras kesewenang-wenangan mereka. Dari ayah dan bundanya, ia mewarisi perasaan cinta kepada Ahlul Bait Rasulullah saw.
Pada masa itu, tidak ada orang yang menghembus-hembuskan perbedaan antara muslim yang berkebangsaan Arab dan bukan Arab. Tidak ada yang mendapat perlakuan yang istimewa selain para anggota Ahlul Bait Rasulullah saw. Sudah bersemayam di dalam lubuk hati Abu Hanifah, terutama setelah ia mengenal para imam di kalangan mereka setelah ia menimba pengetahuan dari mereka, dan setelah ia menyaksikan sendiri berbagai bentuk penindasan yang dilancarkan siang malam oleh para penguasa Bani Umayyah terhadap mereka.
Pada suatu hari ketika ia sedang menfatwakan suatu ketentuan hukum fikih di Madinah, sambil duduk ia melihat Imam Ja’far Asy-Sadiq turut mendengarkan sambil berdiri. Seketika itu Imam Abu Hanifah berkata, ”wahai putera Rasulullah, Allah tidak suka melihatku, duduk sementara engkau berdiri.”
Abu Hanifah menumpahkan kegiatannya pada ilmu pengetahuan. Ia menghubungi sejumlah ulama dan tidak pernah meninggalkannya hingga akhir hayatnya. Dengan kesungguhan dan ketekunannya ia terus-menerus belajar. Sementara itu banyak pula orang lain yang menimba ilmu pengetahuan darinya. Bidang kegiatan baru itu menguras semua kesanggupan, kecerdasan, dan kepandaiannya. Abu Hanifah berguru kepada Hammad ibn Abi Sulaiman, yang jika ditarik ke atas maka akan sampai kepada Imam Ali bin Abi Thalib ra. Selain itu, ia juga banyak menimba ilmu dari Ja’far Ash-Shadiq.
Abu Hanifah selalu mengikuti kelompok-kelompok pendidikan yang diselenggarakan oleh para ulama di dalam Masjid Kufah. Di sana ada yang mempelajari ilmu kalam (‘aqa ’id atau tauhid) dan yang mempelajari Hadis-hadis Nabi saw. Ada juga yang mempelajari ilmu fikih. Akan tetapi, yang terbanyak adalah mempelajari al-Quran al-Karim. Selanjutnya ia terus menuntut ilmu pada kelompok-kelompok pendidikan (halaqat) yang ada di kota Basrah. Perhatiannya tertarik pada kelompok diskusi para ulama ahli ilmu kalam, karena di kelompok ini selalu ada diskusi dan perdebatan hangat yang dirasa dapat memuaskan jiwa mudanya.
Selama kurun waktu tertentu, Abu Hanifah tetap mengikuti diskusi kelompok para ahli ilmu kalam, tetapi kemudian berpindah ke halaqah yang lain. Setelah mencapai tingkat kematangan, ia mengetahui dengan jelas bahwa kaum salaf (kaum muslim generasi pertama atau para Sahabat Nabi saw.) adalah orang yang paling banyak mengetahui dan menguasai dasar­dasar ilmu ‘aqa’id, namun mereka tidak pernah memperdebatkannya. Perdebatan tentang itu tidak mendatangkan kebaikan apapun. Oleh karena itu, ia berpendapat lebih baik menumpahkan perhatiannya pada pendalaman al-Quran dan Hadis.
Pada mulanya, ia tekun menimba ilmu kepada beberapa orang guru di Masjid Kufah. Akan tetapi kemudian, ia berguru kepada seorang ulama saja yaitu kepada Hammad ibn Abi Sulaiman. Apabila karena suatu keperluan sang guru bepergian meninggalkan Kufah, sebelum berangkat ia lebih dulu mengangkat Abu Hanifah sebagai guru penggantinya untuk mengajar di dalam halaqah hingga saat ia pulang.
Sebenarnya Abu Hanifah ingin mengadakan halaqah tersendiri. Akan tetapi, pada waktu ia mewakili gurunya banyak peserta yang menanyakan kepadanya berbagai masalah yang belum pernah mereka ajukan sebelumnya. Enam puluh masalah (kasus) yang ditanyakan, ia jawab semua. Ketika gurunya sudah pulang dari Kufah, semua jawaban yang diberikannya dalam halaqah disampaikan kepada gurunya. Ternyata dari enam puluh masalah, hanya empat puluh saja yang disetujui dan dibenarkan oleh gurunya, sedangkan dua puluh lainnya bertentangan dengan pendapat gurunya. Setelah Abu Hanifah mengetahui hal itu, ia bersumpah tidak akan berpisah dengan gurunya hingga akhir hidupnya.
Ketika gurunya wafat, Abu Hanifah masih berusia 40 tahun. Dengan sendirinya, ia sekarang menjadi guru dalam halaqah, menggantikan gurunya yang telah tiada. Ia juga banyak menimba ilmu dari para ulama yang lain dalam perjalanannya berulang-ulang ke Basrah dalam kesempatan menunaikan ibadah haji di Makkah, dan dalam kesempatan berziarah ke makam Nabi Muhammad saw di Madinah.
Ketika berada di Madinah, Imam Abu Hanifah berdiskusi dengan Imam Malik ibn Anas tentang beberapa masalah yang menimbulkan perbedaan pendapat. Dalam diskusi tersebut, hadir Imam al-Layts ibn Sa’ad dari Mesir, yang hidup sezaman dengan Imam Ja’far Ash-Shadiq, Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik ibn Anas. Terjalinlah persahabatan dengan sebagian dari mereka. Akan tetapi bersamaan dengan itu, meledaklah pertikaian dengan sebagian yang lain.
Ketika itu, ayah Abu Hanifah telah wafat dan meninggalkan warisan di Kufah berupa sebuah toko besar, tempat memperjualbelikan berbagai kain sutera. Toko ini sudah sangat terkenal. Abu Hanifah berniat hendak ber­syirkah (bekerja sama) dengan pedagang lain, karena dengan cara itu ia mempunyai cukup waktu untuk terus menuntut ilmu dan mendalami pengetahuan tentang soal-soal agama, hingga dapat leluasa mendayagunakan akal pikirannya dalam ber-istinbath, mencari kebenaran hukum.
Imam Abu Hanifah adalah seorang yang zuhud dan juga pandai. Imam Abu Hanifah sering sekali dapat keluar dari kesukaran dengan kecepatan berfikirnya, dan dengan hujjah yang luas. Ketangguhannya dalam mempertahankan dan membela pendapatnya, penghormatan yang diperoleh dari para penguasa yang lebih mengutamakan dirinya dari pada para ahli fikih bayaran, semua itu membangkitkan kedengkian dan iri hati dalam hati mereka. Mereka mengipas-ngipas kalangan yang berkuasa untuk menjatuhkan martabatnya dan berusaha hendak menjebloskannya ke dalam perangkap.Di antara yang memusuhi Imam Abu Hanifah adalah Ibn Abi Layla dan pengikutnya Sabramah.
Imam Abu Hanifah meninggal pada bulan rajab tahun 150 H atau 767 M. dia meninggalkan banyak murid. Abu Mahasin Syafi’i membuat daftar murid Imam Abu Hanifah sebanyak sembilan ratus tiga belas orang. Namun, yang paling terkenal adalah Abu Yusuf, Muhammad ibn Hasan al­-Syaibani, dan Zufar.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Abdurrahman Asy-Sarqawi, A ’immah Al-Fiqh At-Tis’ah, (Bandung, Pustaka Hidayah, 2000). Muhammad Jawad Mugniyah, Fikih Lima Madzhab, (Jakarta, Penerbit Lentera, 2002). Abdur Rahman I. Doi., Syari ’ah Kodifikasi Hokum Islam, (Jakarta, Rineka Cipta, 1993). Jaih Mubarok, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2000).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar