Skip to main content

Pendidikan Mental Bagi Remaja

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 19, 2013

Pendidikan Mental Bagi Remaja Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari.

Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang tidak positif, misalnya tawuran.

Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya. Mengingat bahwa masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya dan dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, remaja hendaknya memahami dan memiliki apa yang disebut kecerdasan emosional.

Kecerdasan emosional ini terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.

Masa remaja juga ditandai dengan kondisi emosional yang kuat, kuatnya emosi ini kadang-kadang menimbulkan kembali pertengkaran-pertengkaran yang sudah berlalu dan terkadang akan menimbulkan rasa kebencian lagi. Tingkat emosi anak-anak remaja dapat dilihat dengan berbagai cara seperti, temperamental (mudah marah), sering menolak untuk berkomunikasi.

Adanya perbedaan atau jurang pemisah (GAP) antara generasi anak dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. permasalahan generation gap ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul seperti masalah ketergantungan narkotik, kehamilan diluar nikah, hubungan bebas, dll.

Untuk itu di sinilah letak pentingnya pendidikan mental bagi remaja yang meliput :

Komunikasi. Berkomunikasi dengan anak merupakan suatu cara yang paling efektif untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Tentu saja komunikasi disii harus bersifat dua arah, artinya kedua belah pihak harus mau saling mendengarkan pandangan satu dengan yang lain. Dengan melakukan komunikasi orang tua dapat mengetahui pandangan-pandangan dan kerangka berpikir anaknya, dan sebaliknya anak-anak juga dapat mengetahui apa yang diinginkan oleh orangtuanya. Kebingungan seperti yang disebutkan diatas mungkin tidak perlu terjadi jika ada komunikasi antara remaja dengan orangtuanya. Komunikasi disini tidak berarti harus dilakukan secara formal, tetapi bisa saja dilakukan sambil makan bersama atau selagi berlibur sekeluarga. (Mu'tadin, 2002)  

Kesempatan. Orang tua dan tenaga pendidik sebaiknya memberikan kesempatan kepada anak remaja untuk membuktikan atau melaksanakan keputusan yang telah diambilnya. Biarkan remaja tersebut mengusahakan sendiri apa yang diperlukannya dan biarkan juga ia mengatasi sendiri berbagai masalah yang muncul. Dalam hal ini orang tua hanya bertindak sebagai pengamat dan hanya boleh melakukan intervensi jika tindakan sang remaja dianggap dapat membahayakan dirinya dan orang lain. (Mu'tadin, 2002)  

Tanggungjawab. Bertanggungjawab terhadap segala tindakan yang diperbuat merupakan kunci untuk menuju kemandirian. Dengan berani bertanggungjawab (betapapun sakitnya) remaja akan belajar untuk tidak mengulangi hal-hal yang memberikan dampak-dampak negatif (tidak menyenangkan) bagi dirinya. Dalam banyak kasus masih banyak orang tua yang tidak menyadari hal ini.

Sebagai contoh: dalam kasus remaja yang ditahan oleh pihak berwajib karena terlibat tawuran, tidak jarang dijumpai justru orang tua lah yang berjuang keras dengan segala cara untuk membebaskan anaknya dari tahanan, sehingga anak tidak pernah memproleh kesempatan untuk bertanggungjawab atas perilaku yang diperbuatnya (bahkan tidak sempat melewati pemeriksaan intensif pihak berwajib).

Pada kondisi demikian maka remaja tentu saja tidak takut untuk berbuat salah, sebab ia tahu orangtuanya pasti akan menebus kesalahannya. (Mu'tadin, 2002)

Konsistensi. Konsistensi orang tua dalam menerapkan disiplin dan menanamkan nilai-nilai kepada remaja dan sejak masa kanak-kanak di dalam keluarga akan menjadi panutan bagi remaja untuk dapat mengembangkan kemandirian dan berpikir secara dewasa. Orang tua yang konsisten akan memudahkan remaja dalam membuat rencana hidupnya sendiri dan dapat memilih berbagai alternatif karena segala sesuatu sudah dapat diramalkan olehnya. (Mu'tadin, 2002)

Dengan memberikan pendidikan atau arahan yang telah disebutkan, maka remaja diharapkan untuk bisa mengatasi masalah¬masalah yang sering timbul, terutama yang ditimbulkan oleh perilakunya sendiri di dalam masyarakat sekitarnya seperti : Keliru dengan peranan dan tanggungjawab diri, sering merasa diri disalahfahamkan dan dipersalahkan, merasa diri dilayan secara tidak adil, kesunyian, sukar memahami emosi, susah membuat keputusan, dan lain-lain.

Referensi Makalah®
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar