Skip to main content

Syarat al-Jarh wa at-Ta’dil

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: June 14, 2013

Al-jarh wa at-Ta’dil, masing-masing mempunyai tingkatan-tingkatan lafal, para kritikus hadis akan mengkritik dengan penilaian yang berbeda-beda. Sebagian kritikus menilai adil dan sebagian mungkin akan menilai cacat, maka diperlukan teori-teori yang dapat dijadikan syarat Jarh wa at-Ta’dil sebagai penilaian suatu hadis.
Pertama: Ta’dil didahulukan atas Jarh. Bila seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang dipilih adalah kritikan yang berisi pujian. Hal ini disebabkan sifat dasar periwayat adalah terpuji, sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian, bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang kemudian, maka yang harus dimenangkan adalah sifat dasarnya.
Kedua: Jarh didahulukan atas Ta’dil. Bila seorang kritikus hadis dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang dipilih adalah kritikan yang berisi celaan, dengan syarat a) pengkritik yang menyatakan celaan lebih paham terhadap pribadi yang dicelanya; b) dasar untuk menguji adalah persangkaan baik dari pribadi kritikus hadis dan persangkaan baik itu harus dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang bersangkutan.
Ketiga: Apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang memuji dan yang mencela maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai dengan penjelasan tentang sebab-sebab lainnya.
Apabila sorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu, dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali kritikan yang mencela disertai dengan penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang bersangkutan, maka ketercelaan tersebut bisa menang.
Keempat: Apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong dha’if, maka kritikannya terhadap orang tsiqah tidak diterima.
Kelima: Jarh tidak diterima kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara cermat) dengan adanya kekhawatiran akan terjadinya kesamaan tentang orang yang dicelanya.
Keenam: Jarh dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dan masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan. Apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yang bermusuhan dalam masalah keduniawian, maka kritikan tersebut harus ditolak.
Referensi Makalah®
Kepustakan:
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, (Bandung: al-Ma’arif, 1974). Munzier Saputra, Ilmu Hadis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003). Hasbi As-Syidiqi, Pengantar Hukum Islam, (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1997). Hadi Mufa’at Ahmad, Dirasah Islamiyah, (Semarang, Sarana Aspirasi, 1994).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar