Skip to main content

Penguasaan Barang Gadai menurut Fikih

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: June 10, 2013

Gadai bukan termasuk pada akad pemindahan hak milik, tegasnya bukan pemilikan suatu benda dan bukan pula kadar atas manfaat suatu benda (sewa menyewa), melainkan hanya sekedar jaminan untuk suatu hutang piutang, itu sebabnya ulama sepakat bahwa hak milik dan manfaat suatu benda yang dijadikan jaminan berada di pihak yang menggadaikan. Murtahin (yang menerima barang gadai) tidak boleh mengambil menguasai barang gadai kecuali diizinkan oleh rahin dan barang gadai itu bukan binatang.
Barang gadaian dipandang sebagai amanat bagi murtahin sama dengan amanat yang lain, dia tidak harus membayar kalau barang itu rusak, kecuali karena tindakannya.
Ibnu Qudamah dalam kiatbnya al-Mugny menjelaskan bahwa pengambilan kekuasaan dari barang gadai itu mencakup pada dua keadaan yaitu yang tidak membutuhkan kepada biaya seperti rumah, barang-barang dan sebagainya, yang membutuhkan pembiayaan.
Mengenai hukum penerima gadai dengan manfaat dari barang yang membutuhkan biaya dengan seizin yang menggadaikan adalah sebanding dengan biaya yang diperlukan. Dari dua bagian di atas dapat ditemui adanya barang bergerak dan barang tetap. Barang bergerak adalah barang yang dalam penyerahannya tidak membutuhkan akte otentik seperti buku dan lain sebagainya. Sedangkan barang tetap adalah barang yang dalam penyerahannya memerlukan suatu akte yang otentik seperti rumah, tanah dan lain-lain.
Jika memperhatikan penjelasan di atas, pada hakekatnya penerima gadai atas barang jaminan yang tidak membutuhkan biaya tidak dapat menguasai barang jaminan tersebut. Bahwa penerima barang gadai tidak boleh menguasai barang gadai an walaupun di izinkan oleh murtahin.
Akan tetapi menurut mayoritas ulama, penerima gadai boleh menguasai dari barang gadai bila sudah diizinkan oleh penggadai, dengan catatan hendaknya hal tersebut tidak disyaratkan dalam akad.
Syariat Islam dalam masalah gadai pada prinsipnya adalah untuk kepentingan sosial, yang ditonjolkan adalah nilai sosialnya. Tetapi dipihak lain pada kenyataannya atau prakteknya tidak demikian halnya. Karena di nilai tidak adil, pihak yang punya uang merasa dirugikan, atas dasar karena adanya inflasi nilai mata uang. Sementara uang tersebut bisa juga dipakai sebagai modal usaha.
Atas dasar hal-hal tersebut, murtahin boleh menguasai barang gadai sepanjang diizinkan oleh rahin, dan tidak mengarah pada riba yang diharamkan. Yakni murtahin boleh menguasaihanya sekedar untuk mengatasi kerugian yang dial ami oleh murtahin.
Kemudian perlu diingat pula bahwa dalam hutang piutang, tetap harus ditekankan nilai -nilai sosialnya seperti pada prinsip utamanya. Sehingga seandainya yang berhutang itu masih belum mampu untuk membayar atau melunasi hutangnya. Maka jangan sampai ditumpukkan beban yang memberatkan, seperti diharuskan ada uang lebih dari uang pokok pinjaman.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ibn Qudamah, al-Mugni Li Ibn Qudamah, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah al-Arabiyyah, t.th). Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar