Skip to main content

Pendapat Ulama tentang Memakai Emas bagi Laki-Laki dan Perempuan

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: June 25, 2013

Pendapat Ulama tentang Memakai Emas bagi Laki-Laki dan Perempuan Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum memakai emas bagi pria.

Menurut al-Jaziri, haram atas orang laki-laki dan perempuan mempergunakan emas dan perak sebagai bejana. Alasan dilarangnya yaitu karena dengan mempergunakannya dapat menyebabkan remuknya hati orang-orang fakir yang tak mampu mendapatkannya.

Oleh sebab itu syariat Islam mengharamkan atas orang laki-laki dan perempuan memakainya, kecuali dalam keadaan yang menghendakinya.

Syariat lslam memperbolehkan kaum wanita berhias dengan emas dan perak, karena berhias bagi mereka merupakan suatu kebutuhan yang pokok. Bagi orang laki-laki Islam diperkenankan memakai cincin dari perak. Karena kadang-kadang mereka perlu menulis namanya di atas cincin itu.

Begitu pula Islam memperkenankan memakai yang sedikit sekedarnya tidak mengurangi jatah emas dan perak.

Namun demikian, sebagaimana haram memakai emas dan perak, maka haram pula menyimpannya tidak untuk dipakai. Kecuali apabila ada maksud dijadikan barang sewaan kepada orang yang boleh memakainya.

Demikian juga haram makan dengan sendok emas atau perak, dan membuat alat pencelak dari emas atau perak serta kaca, pena tinta, sisir, pedupaan dan botol minyak wangi, membuat cangkir kopi dari emas dan perak, membuat tempat jam, buyung tembakau dan lain-lainnya.

Sejalan dengan keterangan di atas, Syekh Abu Syujak mengatakan diharamkan atas laki-laki memakai pakaian sutera dan cincin emas itu, dan dihalalkan untuk wanita. Banyak dan sedikit emas, hukumnya sama saja.

Menurut mazhab Hanafi, boleh menghias rumah dengan bejana- bejana emas dan perak dan bukan mempergunakannya dengan syarat tidak untuk bermegah-megahan dan kesombongan, sebagaimana boleh duduk di atas sutera dan berbantal dengannya jika tidak untuk bermegah-megahan dan kesombongan.

Sementara menurut madzhab Maliki, tidak mengapa bagi orang laki-laki memperhias pedangnya dengan perak dan mas. Baik yang langsung seperti genggamannya maupun yang tidak langsung seperti sarung pedangnya.

Adapun pedang orang perempuan maka haram dihias, karena tiada diperkenankan bagi kaum wanita kecuali hanya mengenakan emas dan perak. Demikian juga haram menghias semua alat-alat perang. Tidak ada halangan menghias kulit mushaf bagian luarnya dengan mas atau perak untuk mengagungkannya.

Adapun memperhias kulit mushaf bagian dalamnya dengan emas dan perak atau menuliskannya dengan emas dan perak juga memberi tanda juz-juznya adalah makruh, dan mengenai kitab-kitab selain mushaf maka secara mutlak haram dihias dengannya.

 Selanjutnya menurut madzhab Maliki bagi seorang laki-laki yang hilang atau lepas giginya atau terpotong hidungnya boleh menggantinya dengan emas atau perak.

Boleh bagi orang laki-laki pula mengenakan cincin dari perak seberat dua dirham, karena sesungguhnya Rasulullah saw mengenakan cincin dari perak seberat dua dirham, maka kita boleh melakukannya dengan dua syarat, yaitu dengan mau mengikuti jejak Rasulullah saw, dan hanya satu biji Maka tidak boleh lebih dari satu, meskipun seluruhnya hanya seberat dua dirham.

Apabila cincin tersebut beratnya lebih dari dua dirham maka hukumnya haram. Begitu pula apabila dicampur; sebagian dari mas dan yang sebagian dari perak maka haram memakainya walaupun emasnya hanya sedikit. Cincin tersebut sunnah dipakai di jari kelingking dari tangan kiri dan makruh pada jari kelingking dari tangan kanan.

Adapun cincin berlapis, yaitu cincin yang terbuat dari bahan selain mas dan perak lalu dilapis dengan mas dan perak maka ada dua pendapat yang sama kuatnya. Sedang mengenai cincin berselaput, yaitu cincin yang terbikin dari bahan emas dan perak, kemudian ditutup tipis dengan tembaga atau timah, yakni cincin ini kebalikan dari cincin tersebut di atas, maka didapati dua pendapat, yaitu pendapat yang melarang, dan pendapat yang memperbolehkan

Namun yang bisa dipegangi ialah pendapat yang pertama yaitu pen- dapat yang melarang. Adapun bejana mudhabbab yaitu bejana yang terbuat dari kayu dan sesamanya yang pecah kemudian dirapatkan dengan tali dari emas atau perak maka ada dua pendapat yang sama kuatnya; yaitu satu pendapat melarangnya sama sekali dan pendapat yang lain memperbolehkan dengan makruh. Disamakan hukumnya dengan bejana ini ialah bejana yang dipasang lingkaran untuk digantungkan. Maka bagi laki-laki maupun perempuan, haram menggunakan emas dan perak sebagai bejana misalnya untuk makan atau untuk minum, berdasarkan sabda Rasulullah saw.

Demikian pula emas dan perak tidak boleh dibuat tempat minyak wangi, pomade atau lainnya. Apabila pelana kuda, pisau, pisau besar, pengekang kuda atau sesamanya dilapis dengan emas atau perak maka hukumnya khilaf; ada pendapat yang melarang dan ada pula yang memperbolehkan. Adapun membuat genggaman pisau dan sesamanya dari emas atau perak maka hanya ada satu pendapat yaitu haram.

Bagi kaum laki-laki dan wanita makruh memakai cincin dari besi, timah atau tembaga. Tetapi boleh memakai cincin dari akik dan sesamanya. Adapun menurut mazhab Syafi'i, bagi orang laki-laki dan perempuan boleh membuat hidung atau jari-jari dari emas atau perak.

Demikian juga diperbolehkan bagi seseorang yang telah lepas giginya memasang emas atau perak sebagai gantinya. Juga menghias mushaf dengan perak, tetapi tidak boleh jika dengan emas kecuali bagi orang perempuan.

Adapun mengecap atau mengolesnya dengan emas atau perak maka tidak boleh. Menurut pendapat yang dapat dipegangi boleh menulis mushaf dengan emas atau perak bagi orang laki-laki atau perempuan.

Boleh menggunakan bejana dari emas atau perak yang dilapis tebal dengan tembaga atau sesamanya sekiranya tidak tampak bekas dari api. Demikian pula boleh menghias peralatan perang dan melapisnya dengan perak bagi orang laki-laki dan bukan bagi orang perempuan. Dan boleh memperbaiki bejana dengan rantai atau pedang yang lebar dari perak asal kecil.

Apabila besar maka hukumnya makruh jika memakainya dikarenakan darurat. Apabila tidak karena darurat maka haram hukumnya. Yang dimaksud besar ialah apabila rantai tersebut dapat melingkari seluruh tepi bejana, sedangkan yang dimaksudkan kecil ialah apabila tidak dapat melingkari seluruh tepi bejana.

Namun juga ada pendapat yang menyatakan bahwa kecil dan besarnya rantai itu ditentukan oleh adat kebiasaan (urf). Bagi orang laki-laki diperkenankan menyimpan perhiasan emas dan perak dengan tujuan disewakan kepada siapa saja yang boleh memakainya dengan tanpa ada silang pendapat dalam madzhab.

Menurut golongan Hanafiyyah, apabila ada makanan dan sesamanya diletakkan di atas bejana yang terbikin dari emas dan perak maka tiada halangan seseorang yang makan meletakkan tangannya secara langsung (menyentuh) atau dengan sendok untuk menyuap. Yang dihukumkan makruh tahrim adalah apabila orang yang sedang makan tadi memegangi bejana yang terbikin dari emas dan perak tersebut kemudian dipergunakan seperti ia mempergunakan ceret yang terbuat dari perak yang dipakai untuk mengambil air dari kolam lalu disiramkan ke atas kepala.

Tidak ada larangan makan dan minum dengan bejana yang dilapis dengan emas atau perak dengan syarat apabila bagian yang ada emas atau peraknya berada di arah dalam. Begitu pula tidak ada larangan memakai bejana, kursi, tempat tidur dan sesamanya yang ditambal dengan emas atau perak apabila dia tidak menyentuh pada bagian yang ada emas atau perak.

Boleh mengenakan pakaian yang dilukis dengan emas dan perak. Begitu pula boleh menggunakan tiap-tiap barang yang disepuh/lapis dengan emas dan perak apabila setelah ia meleleh/mencair tidak memiliki harga tersendiri.

Tidak makruh meletakkan emas atau perak pada mata pisau atau pegangan pedang dengan syarat tidak memegangi pada bagian yang ada emas dan peraknya pada saat mempergunakannya.

Tidak ada larangan menghias pedang dan talinya termasuk menghias sabuk dengan perak, bukan dengan emas. Apabila dengan emas maka hukumnya makruh tahrim.

Adapun menghias pisau, gunting, tempat pena, tempat tinta dan kaca dengan emas maka hukumnya makruh tahrim. Kalau dengan perak maka ada dua pendapat. Tidak ada larangan membuat jarum jam, paku pintu dan sesamanya dengan emas dan perak. Mengenai membuat pintu dari emas atau perak maka hukumnya makruh tahrim.

Salah seorang ulama Aceh, TM. Hasbi Ash Shiddieqy menyatakan: Jumhur ulama berkata, memakai cincin emas adalah haram bagi orang laki-laki. Begitu juga cincin yang sebagiannya dari emas dan sebagiannya dari perak.

Jumhur ulama membolehkan kaum perempuan memakai perhiasan emas, baik berupa cincin, kalung, gelang dan sebagainya, baik telah bersuami ataupun belum, baik masih muda ataupun telah tua. Dalam pada itu jumhur ulama membolehkan anak-anak memakai perhiasan emas pada hari-hari besar saja. Mengenai hari-hari yang lain, ada yang mengatakan, boleh, dan ada yang mengatakan tidak. Ada yang membolehkan bagi anak yang belum mumayyiz, tidak membolehkan bagi anak yang sudah mumayyiz.

Referensi Makalah®

Kepustakaan: Taqiyuddin Abubakar ibn Muhammad al-Hussaini, Kifayat Al Akhyar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th). T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2003). TM.Hasbi Ash Shiddiqie, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar