Skip to main content

Harut dan Marut dalam QS. al-Baqarah: 102) menurut Penafsiran Ulama

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: June 24, 2013

Harut berasal dari kata harata yang berarti mencela, mencerca, menjadi luas, orang yang tak dapat menyimpan rahasia dan berkata keji serta yang lebar sudut bibirnya. Sedangkan Marut berasal dari kata al-martu, yang berarti tanah lapang yang tak bertumbuh-tumbuhan, tanah tak bertumbuh-tumbuhan serta badan yang tak berambut.
Ibnu Saiyidah menyatakan bahwa kata tersebut mengandung makna kehormatan serta pakaian yang disandangnya telah terkoyak-koyak. Ibnu Muqbal menambahkan bahwa ketika membentuk kata hurta mempunyai makna manusia yang lebar mulutnya. Ketika membentuk kata harit mempunyai makna orang yang tak dapat menyimpan rahasia serta berkata jelek. Sedangkan kata Harut sendiri ada dua kemungkinan, yaitu nama suatu malaikat dan raja. Adapun pendapat yang lebih popular adalah malaikat.
Ketika al-Quran menyebut bahwa: “kami adalah fitnah,” maksudnya adalah manusia diciptakan untuk dijadikan ujian, karenanya janganlah menjadikan kufur di antara kalian. Manusia diciptakan dalam keadaan diuji, entah dengan dosa, kemudian taubat, kembali lagi berbuat dosa lalu taubat. Ibnu al-Arabi mengatakan bahwa fitnah yang dimaksudkan adalah pengetahuan (ilmu pengetahuan), ujian, harta benda, anak-anak, kufur, perbedaan pendapat di antara manusia serta terbakarnya di api neraka.
Adapun kata Marut sendiri dari kata al-Martu yang berarti kebahagiaan tanpa hasil atau tanah gersang (tanah yang tidak ada tumbuh-tumbahan sama sekali) maupun badan yang tak berambut/berbulu. Sedangkan kata Marut sendiri termasuk nama non Arab. Kata al-Marmarit sendiri mempunyai arti musibah atau bencana yang hebat. Artinya Marut adalah orang yang membawa bencana yang besar.
Al-Ashfahani mengemukakan bahwa Harut dan Marut terdapat dua pendapat, yaitu dua malaikat, sedangkan mufasir lainnya mengatakan sebagai suatu nama setan. Pendapat terakhir didukung oleh Abu Muslim al-Ashfahani serta al-Qurthubi. Hal tersebut berkaitan dengan anggapan orang-orang Yahudi yang mengemukakan bahwa Allah telah menurunkan Jibril dan Mikail dengan membawa sihir, akhirnya Allah menampik tuduhan tersebut.
Dilihat dari struktur kalimat ayat tersebut susunannya adalah dan tidaklah Sulaiman kafir serta apa yang dibawa oleh kedua orang tersebut, akan tetapi yang kafir adalah setan yang mengajarkan manusia tentang sihir di Babil. Adapun Harut dan Marut adalah pengganti (substitute) dari setan.
Berbeda dengan pendapat di atas, Muhammad Ali sebagaimana yang dikutip oleh Umar Hasyim menyatakan bahwa dlamir (kata ganti) huma kepada dua masalah, yaitu pertama kepada Nabi Sulaiman dan Jin Ifrit dan kedua kembali kepada malaikat Harut Marut. Sedangkan huruf ma, adalah ma nafi, jadi berarti bahwa ilmu sihir itu tidak diturunkan kepada kedua malaikat Harut dan Marut.
Hal senada juga disampaikan Muhyiddin al-Darwisyi Harut Marut merupakan badal (kata ganti) dari kata Malakain. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ayat 102 dari surat al-Baqarah merupakan bagian dari ragam balaghah yang menunjukkan kepastian suatu ilmu, yaitu sihir serta adanya jimat-jimat, walaupun pada akhirnya Allah menegaskan Sulaiman serta melarang beredarnya ilmu tersebut. Artinya pada dasarnya semua ilmu adalah Allah yang menurunkan dan boleh dilaksanakan, kecuali sihir yang sudah mendapatkan perintah sebagai suatu ilmu yang dilarang.
Al-Zamakhsyari berpendapat bahwa lafadh harut marut adalah mengikuti (athaf) lafadh sebelumnya, yaitu sihir, sehingga keduanya merupakan badal (pengganti) dari lafadh Malakain. Ini artinya keduanya merupakan orang yang diturunkan Allah sebagai ujian kepada manusia, yaitu dengan membawa sihir. Oleh karenanya barangsiapa yang mempelajari serta mengamalkan sihir berarti kafir, demikian juga jika ada orang yang menjahui atau mempelajarinya akan tetapi tidak untuk diamalkan, maka orang tersebut masuh dalam kondisi mukmin.
Al-Zuhaili juga memaparkan beberapa pendapat tentang eksistensi Harut dan Marut. Ayat wa ma unzila terdapat dua pendapat, yang pertama adalah athaf (mengikuti obyek) pada kalimat sihr, kedua adalah athaf pada ma tatluw al-syayathin. Adapun yang ketiga adalah menempati posisi Jar karena mengikuti obyek Mulki Sulaiman.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhyiddin al-Darwisyi, I’rab al-Qur’an al-Karim wa Bayanuhu, (Dar al-Irsyad li al-Syu’un al-Jami’iyah: Suriyah, 1994). Al-Qanuji, Abjad al-Ulum, Abu al-Nur, (Damaskus dalam Dar al-Hadits, t.th). Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Pustaka Progressif, Surabaya, 1997).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar