Skip to main content

Polemik Seputar Hukum Ziarah Kubur

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: February 19, 2013

Kata ziarah secara harfiah berarti kunjungan. Apabila yang dimaksud sebagai kunjungan ke sebuah makam seorang suci (wali), kata ziarah kubur berarti seluruh rangkaian perbuatan ritual yang telah ditentukan.
Rasulullah saw sangat menguatirkan sesuatu yang baru ditanamkan ke dalam jiwa para pengikutnya, ialah akidah Islam. Akan tetapi setelah keimanan para sahabat dirasakan oleh Nabi saw begitu kuat dan tidak akan goyah sebab kematian, maka Nabi saw pun menyatakan:
Dulu aku mencegah kalian berziarah kubur. Selanjutnya Muhammad diberi izin untuk menziarahi ibunya. Maka berziarahlah kalian, karena disitu kalian akan ingat akhirat
Rasulullah saw sendiri sering melakukan ziarah kubur, utamanya di malam hari. Ia sering mendatangi pekuburan Baqi’ al-Gharqad dan disaksikan oleh Aisyah ra sebagaimana diriwayatkan dalam hadis:
Diriwayatan dari Aisyah, Dia berkata bahwa Rasulullah terkadang pada akhir dari malam hari keluar untuk pergi ke Baqi’. Beliau berkata, “Semoga keselamatan tercurah pada kalian, wahai penghuni rumah kaum mukmin. Kami dan kalian akan bertemu esok hari (hari Kiamat), dan sebagian dari kita akan mengharapkan syafaat dari sebagian yang lain. Insya Allah, kami akan menyusul kalian. Ya Allah, ampunilah penghuni Baqi’ al-Gharqad.”
Masih banyak lagi hadis-hadis yang menjelaskan disyariatkannya ziarah kubur. Namun ada juga yang mengatakan bahwa hadis-hadis tentang ziarah sebagian besar adalah hadis da’if.
Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani membantah tuduhan itu dengan mengatakan banwa para hafidz hadis dan para Imam hadis yang terpercaya, begitu pula Imam empat (Imam Syafi’i, abu Hanifah, Malik dan Hambal) menyebut di dalam kitab-kitab mereka bahwa ziarah Nabi Muhammad saw termasuk syariat. Hadis yang menunjukkan itu termasuk golongan hadits hasan, namun ada yang mengganggap hadis sahih seperti Ibn Sakan, as-Subki, dan as-Suyuthi.
Kalangan fuqaha mazhab Hanafi, Shafi‘i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa hukum ziarah ke makam Rasululullah saw adalah sunnah. Sayyid Abu Bakr bin Muhammad Shata al-Dimyati (w. 1302 H.), yang dikenal dengan panggilan al-Bakri, menyatakan:
Disunahkan Berziarah dimakam Nabi saw karena itu termasuh mendekatkan diri pada Allah yang paling agung, baik bagi laki-laki atau perempuan. Sebagian Ulama seperti Ibnu Rif’ah dan al-Qomuli, juga mengatakan hal itu. Begitu pula berziarah ke makam nabi-nabi, para ulama dan para wali. Karena berziarah kemakam mereka tidak sama dengan jika berziarah kemakam kerabat. Berziarah bertujuan untuk mengagungkannya. Sehingga diharapkan mendapat perkara ukhrowi (akhirat.)
Hal yang senada juga dikatakan oleh Iman Nawawi, bahwa seluruh ulama sepakat (ijma’) bahwa ziarah ke makam nabi (khususnya), orang-orang saleh, para syahid, ulama, para wali dan kerabat hukumnya sunnah.
Kemapanan disyariatkannya ziarah ini berlangsung kurang lebih sudah 14 abad sejak Rasulullah, yang kemudian para diperkuat dengan ijma ulama mengenai hal tersebut. Sehingga pada awal abad empat belas di Syiria (Syam) muncul kaum fanatik yang tidak banyak jumlahnya, tampillah Taqi ad-Din ibn Tamiyyah sebagai juru bicara yang lantang dalam khotbah-khotbahnya dan tulisan-tulisannya menempatkan negara Islam yang berkuasa sibuk memilah-milah antara sunah dan bid’ah. Dia menentang segala macam pembaharuan, yang telah mengubah konsep asli Islam baik dalam doktrin maupun praktik. Dengan semangat yang sama ditentangnya pengaruh-pengaruh filasafat yang telah berhasil menyusupi Islam (termasuk dalil kalam Asy’ariah). Juga ditentangnya kultus terhadap Nabi dan wali-wali. Ia mencela sebagai bertentangan dengan iman. Berziarah ke makam Nabi yang diberi nilai keagamaan yang tinggi dan dipandang sebagai pelengkap ibadah haji ke makah, dengan keras ditentangnya.
Pada abad ke delapan belas, muncul Muhammad ibn Abd al-Wahab (1787 M) yang diilhami oleh studi yang mendalam terhadap tulisan-tulisan Ibn Taimiyah meneruskan perjuangannya kembali.
Sebenarnya Ibn Abd al-Wahhab juga tidak senantiasa mengharamkan ziarah kubur, mengkafirkan orang yang bertawasul dengan orang-orang yang sholih, dan mengkafirkan Ibn Arobi.
Sulaiman bin Suhaim memfitnah Ibnu Abdul Wahab dengan mengatakan bahwa dia menganggap sesat semua kitab madzhab empat, bahwa manusia semenjak 600 tahun yang silam tidak menganut agama yang benar, mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari taqlid.
Ibnu Abdul Wahab difitnah lagi ingin meruntuhkan kubah Rasululllah saw dan jika mampu mengambil talang Ka’bah yang terbuat dari emas selanjutnya akan menggantinya dengan talang kayu. Mengharamkan ziarah ke makam Nabi saw, mengingkari ziarah ke makam kedua orang tua dan makam orang lain, mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah, mengkafirkan Ibnu Faridl dan Ibnu Araby, dan bahwasanya saya membakar kitab Dalailul Khairatt dan Raudlul Rayaahin yang kemudian saya namakan Raudlul Syayaathiin.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani, az-Ziarah an Nabawiyah; Baina Syariyyah wa al-Bidah, (Birut: Kulliah Ad Dakwah Al-Islamiyah, 1420). F de Joung, Hari-Hari Ziarah Kairo, dalam Studi Belanda Konteporer Tentang Islam, Dibawah redaksi Herman Leonard Beck dan Niko Keptein, (Jakarta: INIS, 1993). Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Dihak al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, (Beirut: Dar al-Gharb al Islami, 1998). Sayyid Abu Bakr Muhammad Shata al-Dimyati, I‘anah alTalibin ‘ala Hall Alfaz Fath al-Mu‘in, (Beirut: Dar Ibnu ‘Ashomah, 2005).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar