Skip to main content

Konsep Mudharabah menurut Ulama

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: February 04, 2013

Dalam ajaran Islam, konsep profit sharing disebut bagi hasil. Konsep ini sangat mudah dijumpai dalam praktek masyarakat Islam pada masa Rasulallah dan sahabat hingga masyarakat muslim saat ini. Dalam dunia perbankan, profit sharing (bagi hasil) adalah merupakan suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana (Shahibul Maal) dengan pengelola dana (Mudharib).
Kata mudharabah berasal dari bahasa arab yang artinya bepergian untuk urusan dagang, atau memukul yang mempunyai arti proses memukulkan kakinya dalam perjalanan usaha. Mudharabah juga disebut qiradh yang berasal dari kata al-Qardhu yang berarti al-Qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan.
Banyak pengertian mudharabah yang disampaikan oleh para ulama dengan bermacam-macam perbedaan, namun subtansinya adalah sama sebagaimana yang penulis sampaikan di atas hanya redaksinya yang berbeda.
Menurut Hasbi As Shidiqi bahwa mudharabah adalah semacam persekutuan (syarikat) akad, bermufakat dua orang padanya dengan keuntungan tertentu: Modal dari satu pihak sedang usaha menghasilkan keuntungan dari pihak yang lain dan keuntungannya dibagi di antara mereka.
Dalam fikih muamalah, definisi terminologi bagi mudharabah diungkapkan secara bermacam-macam oleh beberapa ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi; yaitu suatu perjanjian untuk berkongsi di dalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.
Sementara madzhab Maliki menamainya sebagai: penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.
Madzhab Syafi’i memberikan pengertian mudharabah sebagai pemilik modal yang menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya.
Sedangkan menurut madzhab Hambali: penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.
Dari beberapa uraian tersebut dapat dilihat bahwa masing-masing pengertian mudharabah secara global sesungguhnya dapat dipahami, namun secara terperinci pengertian mudharabah tersebut mempunyai kekurangan yang masih belum terjelaskan. Satu hal yang barangkali terlupakan oleh empat madzhab ini dalam mendefinisikan mudharabah adalah bahwa kegiatan kerja sama mudharabah merupakan jenis usaha yang tidak secara otomatis mendapatkan hasil. Oleh karena itu penjabaran mengenai untung dan rugi perlu untuk dijelaskan sebagai bagian integral dari sebuah definisi yang baik.
Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (Mudharib). Keuntungan secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman nabi, bahkan telah dipraktikkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika nabi berprofesi sebagai pedagang, ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, ditinjau dari hukum Islam, maka praktik mudharabah ini dibolehkan, baik menurut al-Quran, sunah, maupun ijma’.
Dalam praktik mudharabah antara Khadijah dengan Nabi, saat itu Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh Nabi Muhammad saw. keluar negeri. Dalam kasus ini, Khadijah berperan sebagai pemilik modal (shahibul maal) sedangkan nabi Muhammad saw. berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib). Nah, bentuk kontrak antara dua pihak dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua yakni si pelaksana usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung disebut akad mudharabah.
Sejalan dengan definisi diatas Afzalur Rahman juga menjelaskan tentang istilah mudharabah yaitu suatu kontrak kemitraan (patnership) yang berlandaskan pada prinsip pembagian hasil dengan cara seseorang memberikan modalnya kepada orang lain untuk melaksanakan bisnis dan keduanya membagi keuntungan dan memikul beban kerugian berdasarkan perjanjian bersama. Pihak pertama atau pemilik modal disebut Shokhibul Maal. Pihak kedua, pemakai, pengelola atau pengusaha disebut Mudharib.
Singkatnya Shohibul Maal memberikan modalnya kepada Mudharib dan sebagai imbalannya ia memperoleh bagian tertentu dari keuntungan yang diperoleh, akan tetapi jika mengalami kerugian beban keseluruhan ditanggung oleh Shokhibul Maal, dan Mudharib tidak menerima apa-apa atas jasa yang telah ia kerjakan. Oleh karena itu masalah keuntungan merupakan pertimbangan dan bagian yang penting dalam mudharabah. Mudharabah juga merupakan kontrak perwakilan antara Shohibul Maal dengan Mudharib. Wakilnya tidak rugi apapun kecuali upah atas kemampuan kerjanya dan sebagainya, dan ia juga kehilangan keuntungan yang merupakan upahnya apabila terjadi kerugian dalam bisnis.
Dari pengertian mudharabah tersebut, dapat dipahami bahwa mudharabah didalam fikih adalah persekutuan antara dua orang yang saling bersepakat untuk melakukan kerjasama dalam usaha dimana orang yang menjalankan harta berhak mengambil keuntungan dari modal yang diperdagangkan atau yang dikelolanya. Dan modal yang diperdagangkan dalam akad mudharabah sepenuhnya berasal dari pemilik modal. Oleh karena itu pemilik modal tidak terlibat dalam manajemen usaha, dan keuntungan dibagi menurut kalkulasi (nisbah) yang disepakati oleh kedua belah pihak. Manakala terjadi kerugian yang menanggung kerugian adalah pemilik modal. Pihak pengelola tidak menerima kerugian secara materi tapi cukup menerima atau menanggung kerugian tenaga dan waktu yang dikeluarkan selama mengelola usaha, selain tidak mendapatkan bagian keuntungan.
Dalam pembiayaan mudharabah ini senantiasa pada prakteknya harus mentaati peraturan yang dibuat oleh yang mempunyai wewenang. Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa terkait dengan pembiayaan mudharabah ini, ketentuannnya adalah:
  1. Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan untuk suatu usaha produktif.
  2. Shahibul Maal membiayai 100% kebutuhan suatu proyek sedangkan pengusaha sebagai Mudharib atau pengelola usaha.
  3. Jangka waktu usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pihak. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syariah.
  4. Jumlah pembiayaan harus jelas dinyatakan dalam tunai bukan piutang.
  5. Shohibul Maal menanggung segala kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika nasabah melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
  6. Pada prinsipnya dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar Mudharib tidak melakukan penyimpangan Shohibul Maal dapat meminta jaminan dari Mudharib. Jaminan ini hanya bisa dicairkan apabila Mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
  7. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh Shihibul Maal dengan memperhatikan fatwa DSN.
  8. Biaya Operasional dibebankan kepada mudharib.
  9. Dalam hal penyandang dana tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, Mudharib berhak mendapatkan ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Hendri Anton, Pengantar Ekonomi Mikro Islam, (Yogyakarta: Ekonosia, 2003). Muhammad, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, (Yogyakarta: UII Pres, 2000). M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo. 2003). Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001). Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonosia, Edisi II, 2003). Hasbi Asy Syidiqi, Pengantar Fikih Mualmalah, (Jakarta: Bintang Bulan, 1974). Muhammad, Etika Bisnis Islam, (Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 2002). Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003). Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Terjemah: Econiomic Doctriness Of Islam, (Yogyakarta: PT Dana Bakti, Wakaf, 1995).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar