Skip to main content

Sejarah Hukum Acara Perdata

Oleh: AnonymousPada: January 21, 2013

Berbicara mengenai hukum acara perdata, perlu menguraikan dua hal yaitu sejarah ketentuan perundang-undangan yang mengatur hukum acara di peradilan dan sejarah lembaga peradilan di Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan yang mengatur tentang hukum acara di lingkungan peradilan umum adalah Herziene Indonesich Reglement (HIR). HIR mengatur tentang acara di bidang perdata dan di bidang pidana. Dengan berlakunya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka pasal-pasal yang mengatur hukum acara pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku.
Nama semula dari Herziene Indonesich Reglement (HIR) adalah Inlandsch Reglement (IR), yang berarti Reglemen Bumiputera. Perancang IR itu adalah Mr. Wichers, waktu itu presiden dari Hoogerechtshof, yaitu badan pengadilan tertinggi di Indonesia di zaman kolonial Belanda. Dengan surat keputusan Gubernur Jenderal Rochussen tertanggal 5 Desember 1846 No. 3, Mr. Wichers tersebut diberi tugas untuk merancang sebuah reglement (peraturan) tentang administrasi, polisi serta proses pidana bagi golongan bumi putera. Dalam waktu singkat kurang dari satu tahun, Mr. Wichers berhasil mengajukan sebuah rencana peraturan acara perdata dan pidana, yang terdiri atas 432 pasal.
Reglement Indonesia atau IR ditetapkan dengan Gouvernements Besluit (keputusan Pemerintah), tanggal 5 april 1848, staatsblad 1848 No. 16 dengan sebutan Reglement op de uitoefening van de Indonesier en de vreemde Oosterlingen op Java en Madura atau lazim disebut Het Inlands Reglement. Disingkat IR dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848.
Pembaharuan IR menjadi HIR Tahun 1941 (staatsblad 194 1-44) ternyata tidak membawa perubahan suatu apa pun pada hukum acara perdata di muka pengadilan negeri. Pembaruan pada IR tersebut, sebetulnya hanya terjadi dalam bidang pidana saja, sedangkan dalam hukum acara perdata tidak ada perubahan.
Jaksa waktu itu berbeda dengan penuntut umum bagi golongan Eropa, yang betul-betul merupakan suatu aparatur negara yang merdeka dan terdiri atas Officieren van Justitie yang semuanya sarjana hukum. Keadaan tersebut oleh pemerintah kolonial Belanda sudah lama dirasakan sebagai suatu penghinaan bagi golongan penduduk asli, maka sewaktu timbul kegoncangan di kawasan Samudera Pasifik dengan pecahnya perang Timur Asia, demi untuk mengikat bangsa Indonesia, pemerintah kolonial Belanda memberikan hadiah berupa kejaksaan (Op en bare Ministerie) yang berdiri sendiri (zelfstanding). Dengan dimulai di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya, secara berangsur-angsur didirikan Parket van de Officer van Justitie bij de landraad Tahun 1941.
Pada zaman Hindia Belanda sesuai dengan dualisme hukum, maka pengadilan di bagi atas peradilan gubernemen dan peradilan pribumi. Pengadilan gubernemen untuk orang Eropa adalah: Raad van Justitie, dan Hoogerechtshof. Sedangkan pengadilan untuk orang Bumiputera adalah: Landraad, dan Raas van Justitie.
Peradilan Gubernemen di Jawa dan Madura di satu pihak dan di luar Jawa di lain pihak. Untuk Bumiputera di Jawa dan Madura dikenal pengadilan Districtgereccht, Regenschapgerecht, Peradilan swapraja yaitu peradilan di daerah swapraja yang mana di Jawa ada tiga peradilan swapraja yaitu Surakarta; Yogyakarta dan Mangkunegara, serta peradilan pribumi yaitu peradilan orang pribumi di daerah yang diperintah langsung.
Bagi orang Bumiputera di luar Jawa dan madura juga dikenal beberapa peradilan yaitu: Negorijrecht Bank (khusus Ambon), Districtgerecht (khusus Bangka-Belitung, Manado, Sumatera Barat, Tapanuli, dan Banjarmasin-Ulu sungai), Magistraats gerecht, dan Landgerecht.
UU Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 1 berisi bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Sedangkan pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh Mahkamah Konstitusi. Yang dimaksud badan peradilan yang berada di bawah mahkamah agung menurut ayat (2) meliputi: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999). Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2002).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar