Skip to main content

Hal yang Menjadi Hak Mayat

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: January 08, 2013

Bila diketahui seorang manusia meninggal dunia, maka diantara hal yang dianjurkan adalah memejamkan matanya, ditutupkan mulutnya dengan diikat dagu dan kepalanya, dibukakan pakaiannya, diselimuti dengan kain yang ringan dan menutupi seluruh tubuhnya, diselesaikan segala hutangnya dan dipercepat penguburannya
Setelah manusia meninggal, ada beberapa hak yang masih didapatkan oleh mayat yang harus dipenuhi oleh manusia yang masih hidup. Menurut ijma’ ulama, melaksanakan hal yang menjadi hak mayat, hukumnya fardu kifayah.
Menunaikan hak bagi mayit adalah dengan menyelenggarakan empat perkara yaitu:
Memandikan Mayat
Mayat yang wajib dimandikan ialah mayat muslim yang tidak terbunuh dalam peperangan melawan kaum kafir. Apabila yang meninggal laki-laki maka yang paling utama untuk memandikannya adalah bapaknya, atau kakeknya, atau anak lelakinya, atau ashabahnya, kemudian lelaki asing, isteri, kemudian kaum wanita kerabatnya. Apabila yang meninggal itu wanita, maka yang memandikannya adalah wanita kerabatnya, atau wanita asing, lalu suaminya, lalu kaum lelaki kerabatnya. Orang-orang yang ada ikatan silaturahim dengan si mayat lebih berhak memandikannya daripada orang luar.
Telah disepakati oleh para ulama (kecuali Abu Hanifah), tentang dibolehkannya suami memandikan jenazah istri, demikian pula sebaliknya. Alasan suami tidak boleh memandikan istrinya, karena istri lepas dari perlindungannya setelah ia meninggal. Namun istrinya boleh memandikan suaminya, karena ia masih dalam iddah suaminya. Artinya, bahwa istrinya itu masih berada dalam hak suaminya.
Selain orang-orang yang berkepentingan untuk memandikan mayat, hendaknya tidak ada yang menghadiri upacara pemandian. Orang yang memandikan hendaknya seorang yang dapat dipercaya dan shaleh agar menyiarkan kebaikan yang dilihatnya dari mayat dan menyembunyikan keburukannya.
Fuqaha sependapat bahwa mayat yang wajib dimandikan ialah mayat muslim yang tidak terbunuh dalam peperangan melawan kaum kafir. Akan tetapi sebagian ahli fiqih membolehkannya.
Orang yang memandikan diwajibkan memulai pekerjaannya dengan niat karena dialah yang terkena perintah memandikan. Kemudian memulai dengan mengurut perut mayat untuk mengeluarkan kotoran yang mungkin terdapat di dalamnya, lalu membersihkan najis dari badannya.
Dalam membersihkan tubuh ini dia hendaknya menggunakan robekan kain untuk membersihkan auratnya karena mengusap aurat adalah haram.
Adapun cara memandikan mayat paling sedikit harus meratai seluruh tubuhnya setelah menghilangkan najis pada tubuhnya. Selanjutnya bagi orang yang memandikan mayat disunatkan mewudukannya juga tiga kali sebagaimana wudunya orang yang hidup. Dan jika setelah dimandikan kemudian ada sesuatu yang keluar (dari perut si mayat), maka wajib membersihkannya tanpa dimandikan dan diwudukan lagi.
Adapun cara memandikan mayat yang paling sempurna adalah dengan mengerjakan beberapa hal, yakni setelah mayat diwudukan lalu dibasuh kepalanya dan dagunya dengan daun bidara dan semacamnya, kamudian bagian tubuhnya sebelah kanan dibasuh tiga kali dan sebelah kiri tiga kali. Dianjurkan pada bilasan terakhir dicampur dengan kapur barus.
Menurut ulama pengikut Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, seorang muslim tidak memandikan seorang kafir begitu juga sebaliknya, tetapi jika dikhawatirkan mayat tersebut terbengkalai maka hanya dikuburkan saja.
Sedangkan menurut Imam Syafi’iy, Abu Hanifah dan beberapa pengikutnya boleh memandikan kerabatnya yang kafir, hanya karena menjaga kebersihan dan bukan sebagai ibadah.
Tayamum boleh dilakukan terhadap mayat sebagai ganti memandikannya, jika dalam keadaan tidak ada air, atau dikhawatirkan badan mayat akan rusak jika terkena air. Atau dapat menimbulkan tersebarnya benih penyakit dari tubuhnya, sehingga membahayakan orang¬orang sekitar.
Juga apabila seorang perempuan meninggal di tengah-tengah kaum lelaki, atau laki-laki meninggal di tengah-tengah kaum perempuan yang bukan mahramnya.
Mengkafani Mayat
Pada mayat laki-laki disunatkan mengkafani dengan tiga lapis pakaian, dan diutamakan yang berwarna putih. Dalam kafan tersebut disertakan kain sarung dan dua kain pembungkus. Kain sarung untuk menutup bagian tubuh mulai pusar sampai lutut, sedangkan lapisan kedua mulai dari leher sampai mata kaki, dan lapisan ketiga untuk menutup seluruh tubuh mayat. Adapun mayat perempuan dikafani dengan lima lapis pakaian, yaitu kain sarung, kerudung, baju dan dua lapis kain pembungkus.
Kain kafan disunatkan dalam keadaan; (a) baik, bersih dan menutupi seluruh tubuh; (b) berwarna putih; dan (c) kering dan berminyak wangi. Kain kafan hendaknya tidak mahal harganya. Meskipun demikian, wanita boleh dikafani dengan sutra. Apabila mayat meninggalkan harta, maka biaya pengkafanan di ambilkan dari hartanya.
Menshalati Mayat
Pelaku shalat jenazah harus muslim dan bukan mati syahid. Menurut ulama Hanafiyah dan as-Salafiyah boleh dikerjakan pada sembarang waktu, walaupun di waktu yang dimakruhkan. Sedangkan menurut Ahmad dan Ibnu Mubarak dimakruhkan pada saat terbit dan tenggelamnya matahari.
Jumhur ulama sepakat bayi yang keluar (keguguran) sebelum berumur empat bulan tidak dimandikan ataupun dishalatkan, tetapi jika sudah berumur empat bulan dan sudah bergerak maka wajib dishalatkan.
Yang lebih patut mengerjakan dan mengimami shalat jenazah adalah ayahnya, kakeknya, anak lelakinya, kemudian anak lelaki dari anak lelaki (cucu), menurut tertib ‘ashabah. Walaupun demikian orang yang paling berhak tersebut, boleh mengusahakan orang lain yang lebih tua atau lebih berilmu untuk mengimami shalat tersebut.
Menguburkan Mayat
Setelah dishalatkan maka mayat tersebut dikuburkan dalam liang lahad. Liang lahad tersebut yakni galian di dasar kubur yang sekedar dapat memuat tubuh mayat. Batas kuburan sampai bagian dada paling atas orang dewasa. Mayat tersebut dimiringkan atas sisi kanan tubuhnya dengan dihadapkan ke arah kiblat.
Pada dasarnya memakamkan mayat bertujuan agar manusia tidak melihat dan terganggu dengan kerusakan tubuhnya, kejelekan pemandangannya dan kebusukan baunya, dan agar tertutup dari kawan maupun lawan, sehingga lawan tidak merasa gembira dan sahabatnya tidak merasa sedih.
Menurut fuqaha, bahwa wajib menguburkan mayat dengan suatu cara yang dapat mencegah binatang buas menggalinya dan tercium baunya oleh manusia. Dan tidak boleh membuat bangunan di atasnya.
Tidak dimakruhkan menguburkan jenazah pada malam hari. Jika memang dapat dipastikan bahwa hak-hak mayat tidak ada yang tertinggal. Para ulama sepakat menghukumi makruh menguburkan mayat pada tiga waktu berikut, yaitu: waktu matahari terbit, waktu matahari berada tepat ditengah-tengah, dan waktu matahari terbenam.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Ja’fari, (Jakarta: Lentera, 1996). Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2004). Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993). Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001). Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar