Skip to main content

Biografi Abdul Karim Soroush

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 20, 2012

Abdul Karim Soroush lahir di Teheran Selatan, Iran pada 1945, dalam Iingkungan yang memiliki concern terhadap pendidikan. Dalam kalender Islam, hari kelahiran Soroush bertepatan dengan hari Asura tahun 1324 H. Atas dasar inilah orang tua Soroush memberi nama Soroush dengan Husayn Haj Farajullah Dabbagh. Nama Abdul Karim Soroush itu sendiri adalah pen name atau nama yang ia gunakan sebagai identitas saat Soroush mempublikasikan karyanya. Nama Husayn dalam tradisi Syiah adalah nama suci, karena Imam Husayn, cucu nabi Muhammad saw, meninggal pada tanggal 10 bulan Asyura.
Setelah menamatkan pendidikan dasarnya di Qa’imiyyah School, Abdul Karim Soroush melanjutkan sekolah menengahnya di Mortazavi High School lalu pindah ke Alavi High School. Alavi merupakan sekolah yang bisa berkembang dan mapan (established) ketika dipegang oleh dua pengusaha yang cukup terkenal yakni Asghar Karbaschiyan dan Reza Rouzbeh.
Selama menimba ilmu di Alavi, Soroush dapat belajar tentang persoalan-persoalan agama. Apalagi Reza Rouzbeh, yang merupakan alumnus universitas dan seminary di Qum, membuka kelas reguler dan mengajarkan mata kuliah Islamic Law (Hukum Islam, Fiqih) serta exegesis (tafsir).
Setelah menyelesaikan sekolahnya, Soroush ambil bagian untuk mengikuti tes masuk Universitas Teheran dengan mengambil jurusan fisika dan farmasi. Soroush lebih memilih jurusan farmasi atas rekomendasi Rouzbeh. Di universitas ini, Soroush sempat belajar Filsafat Islam pada Muthahari. Komentar (syarh) yang diberikan Murtadha Muthahhari atas karya Allamah Thabathaba'i (Ushul-e Falsafe wa Rawish-e Rialism), memberikannya suatu pencerahan. Begitu pula ketika ia membaca Tafsir al-­Mizan yang juga karya Thabathbai.
Saat menjalani kuliah di Universitas Teheran, Soroush sebenarnya ingin belajar banyak kepada Mutahhari. Sayangnya Mutahhari tidak sempat mengajari Soroush dalam rentang waktu yang cukup. Namun, Mutahhari memperkenalkan Soroush kepada salah satu muridnya, seorang ulama yang juga imam di salah satu mesjid Teheran. Dari imam tersebut, Soroush belajar filsafat Islam selama beberapa tahun. Dan ia merasakan manfaat dari pelajaran yang diberikan oleh sang imam tersebut. Sorous menyelesaikan studi di Universitas Teheran selama enam tahun.
Setelah meraih gelar dalam bidang farmasi, Soroush melewatkan masa dua tahun untuk menjadi tentara sebagai bentuk kewajiban warga negara. Setelah itu ia menjadi pimpinan laboratorium yang bergerak dalam penelitian produk makanan, toilettries dan alat-alat kesehatan di Buhsehr. Pekerjaan ini ia lakoni selama lima belas bulan. Soroush kemudian kembali ke Teheran dan mulai bekerja di Laboratorium kontrol kesehatan, tetapi tak lama kemudian ia kembali ke London untuk untuk mengambil studi baru dan agar menjadi lebih familiar dengan dunia modern.
Abdul Karim Soroush menggunakan kesempatan pertamanya untuk mengambil gelar MSc sebagai analis kimia, yang telah menjadi spesialisasi keilmuannya. Setelah menyelesaikan studi di Universitas London, Soroush kemudian melanjutkan pendidikannya ke Chelsea College di London, selama lima tahun. Di Universitas ini ia mendalami masalah sejarah dan Filsafat sains. Pada masa itu pulalah Soroush bersama aktivis Iran lainnya yang belajar di Inggris dan tergabung dalam Muslim Youth Association (MYA) giat mengkampanyekan perlawanannya terhadap rezim Syah.
Beberapa kolega Soroush dari Afrika menganjurkan Soroush dan kawannya dari MYA untuk menjadikan imam barah yang berada di London Barat sebagai pusat aktivitas. Tempat inilah yang sering didatangi oleh pelajar Islam Iran di Inggris, terutama pada saat-saat menjelang terjadinya revolusi. Tokoh-tokoh besar dan aktivis dari berbagai belahan Eropa dan Iran, datang serta memberikan ceramah di tempat ini, termasuk Ayatullah Behesti dan Murtadha Mutahhari.
Di Inggris, pidato-pidato Abdul Karim Soroush dicetak dalam pamflet dan buiku. Pada awalnya dia memberikan ceramah yang merupakan seri tulisannya yang berjudul “Dialectical Antagonisme” (‘Iazad-Dialektiki), sebagai usahanya untuk mencoba menghadang berkembangnya pengaruh aliran kiri, terutama dari Mujahidin Khalq yang berhasil menarik hati dan pikiran banyak aktivis mudah melalui ideologi Marxisnya. Buku pertama Soroush yang dipublikasikan di Iran saat ia masih berada di London berjudul “Dialectical Antagonism” yang merupakan kumpulan ceramah yang ia sampaikan di Imam Barah.
Pada saat yang sama, Soroush mengarang buku yang berjudul “The Restless nature of the World” (Sifat Dinamis Alam Semesta, Nahad-e Naaram-e Jahan) yang berisi tentang “Harkat-e Johari” (Gerak Substansial). Dalam buku ini Soroush mencoba mengemukakan dasar-dasar dari filsafat Islam, yakni tauhid (Monotheism) dan hari kebangkitan (Ma’ad, Resurection) dari gerak substansial dan menyajikan pemikiran Mulla Sadra sebagai basis filosofis yang kuat bagi objek-objek keimanan.
Pasca meletusnya revolusi, Soroush kembali ke kampung halamannya dan bergabung dengan college pelatihan guru. Belum genap satu tahun ia bergabung dengan college itu, muncullah gerakan yang menghendaki ditutupnya beberapa universitas, karena ada indikasi lembaga pendidikan mi telah terkontaminasi oleh model pendidikan barat. Tidak lama setelah itu, dibentuklah Institut Revolusi Kebudayaan, yang terdiri dari 7 orang anggota yang ditunjuk langsung oleh Imam Khomeini. Dan Soroush menjadi salah satu anggotanya.
Abdul Karim Soroush kemudian kembali aktif memberikan ceramah di Masjid Imam Shadiq di Teheran Utara. Ceramahnya kaIi ini berisi seputar analisis terhadap kandungan Nahj AI­Balaghah (Kumpulan ucapan, pidato dan surat Ali bin Abi Thalib).
Meskipun banyak mendapat intimidasi dari berbagai pihak, terutama kalangan yang loyal terhadap Ayatullah Khomeini, Soroush tidak kemudian berhenti untuk menularkan ide dan gagasannya. Bahkan pada tahun 1990, Soroush dan beberapa rekannya mendirikan majalah bulanan Kiyan, yang diperuntukan bagi mereka yang mempunyai visi konstruktif dalam pengembangan wacana agama dan intelektualitas. Tema-tema yang cukup sensitif di negara Iran seperti pluralisme agama, hermeneutika, Civil Society, toleransi dan demokrasi ia publikasikan melalui majalah tersebut.
Sejak tahun 2000, Soroush menjadi Dosen tamu di Harvard University, dan memegang mata kuliah Islam dan Demokrasi, Studi Quran dan Filsafat Hukum Islam. Ia juga turut mengajar Filsafat Politik Islam di Princeton University dan Wissenschaftkolleg Berlin, Jerman. Sebagai seorang intelektual, Soroush tidak hanya membuktikannya dengan menelurkan berbagai karya tulis, namun pengakuan itu juga ia dapatkan dalam bentuk penghargaan.
Pada bulan April 2004, Soroush bersama Sadik Jalal al-Azm (Syiria), Fatima Mernisi (Maroko) terpilih menjadi penerima penghargaan Erasmus Prize yang digagas oleh Praemium Erasmianum Foundation. Penghargaan ini diberikan kepada seseorang atau institusi yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam mewarnai dan beradaptasi dengan kultur eropa, masyarakat dan ilmu pengetahuan sosial. Ketiga intelektual muslim tersebut berhak menerima 150.000 Pounds, yang diberikan langsung oleh Pangeran Bernhard di Amsterdam Belanda.
Keberhasilan Soroush menyabet penghargaan tersebut dikarenakan ia cukup pintar memadukan agama dengan modernitas. Dan secara kebetulan, Erasmus Prize untuk tahun 2004 mengambil tema “Agama dan Modernitas”. Tema ini didasarkan atas berkembangnya politik dan masyarakat yang cukup memberikan peluang bagi semua lapisan dalam memulai memperdebatkan kembali relasi antara agama dan modernitas.
Selain Erasmus Prize, Soroush juga pernah menerima penghargaan sebagai “Muslim Democrat of the Year” untuk tahun 2004 dari Centre for the Study of Islam and Democracy (CSID) di Washington DC, Amerika.
Pada bulan April 2005, Soroush terpilih menjadi salah satu dari 100 orang yang paling berpengaruh di dunia versi majalah TIME. Penghargaan tersebut diberikan kepada mereka yang memiliki talenta untuk melakukan transformasi di dunia. TIME menyebut Soroush sebagai “Irans Democratic Voice”.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Robin Wright, Iran’s Greatest Political Challenge: Abdol Karim Soroush, (World Policy Journal, 1997). Patricia J. Higgins, “Minority-State Relations in Contemporary Iran”, dalam Ali Banuazizi dan Myron Weiner (ed), The State, Religion and Ethnic Politics: Afghanistan, Iran and Pakistan, Syarcuse University Press, 1986). Tedi Kholiludin, “Abdul Karim Soroush: Potret Santri Liberal Iran”, dalam Majalah Syir`ah, Januari, 2004). Abdul Karim Soroush, Reason, Freedom And Democracy in Islam: Essential Writings of Abdolkarim Soroush, (New York: Oxford University Press, 2000).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar