Skip to main content

Definisi Kebahagiaan menurut Pakar

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: October 27, 2012

Kebahagiaan menurut Ahmad Asy-Syarbashi, merupakan hal yang selalu dihayalkan oleh setiap orang. Manusia selalu mencari kebahagiaan pada setiap waktu dan tempat. Sebagian di antara mereka benar-benar menemukan, meskipun orang-orang yang bahagia sedikit sekali. Sebagian yang lain telah diperdaya oleh buruk sangka dan telah dikalahkan oleh kegelisahan. Mereka menghabiskan hidup mereka dengan keyakinan bahwa mereka tercegah dari kebahagiaan dan bahwa penderitaan adalah bagian yang tak terpisahkan dari mereka, padahal kebahagiaan ada di depan orang-orang yang lalai.
Menurut Ahmad Asy-Syarbashi, kebahagiaan terwujud dengan jelas dalam pelaksanaan kewajiban. Sebab, pelaksanaan kewajiban memiliki kenikmatan rohani yang tidak dapat diketahui kecuali bagi orang yang mempunyai prinsip dalam kehidupan dan berusaha memperjuangkannya.
Haji Abdul Malik Karim Amirullah atau lebih dikenal dengan Hamka, banyak mengutip berbagai macam pendapat tentang definisi kebahagiaan dalam perspektif yang berbeda. Diantara pendapat yang dikutipnya adalah pendapat Yahya bin Khalid al-Barmaky, Hutai’ah, Zaid bin Tsabit, Ibnu Khaldun, Abu Bakar Ar-Razi dan al-Ghazali.
Yahya bin Khalid al-Barmaky, berpendapat bahwa kebahagiaan adalah sentosa perangai, kuat ingatan, bijaksana akal, tenang dan sabar menuju maksud, sedangkan Hutai’ah dalam sebuah syairnya ia menulis;
“Menurut pendapatku bukanlah kebahagiaan itu pada mengumpulnya harta benda, tetapi taqwa akan Allah itulah bahagia, taqwa akan Allah itulah bekal yang sebaik-baiknya disimpan pada sisi Allah sajalah kebahagiaan para orang yang taqwa”.
Menurut Zaid bin Tsabit kebahagiaan adalah jika petang dan pagi seorang manusia telah memperoleh aman dari gangguan manusia itulah dia orang yang bahagia. Sedangkan Ibnu Khaldun berpendapat bahagia itu adalah tunduk dan patuh mengikuti garis-garis Allah dan perikemanusiaan.
Abu Bakar Ar-Razi, berpendapat bahagia yang dirasakan oleh seorang tabib, ialah jika ia dapat menyembuhkan orang yang sakit dengan tidak mempergunakan obat, cukup dengan mempergunakan aturan makan saja, sebagai wacana tambahan al-Ghazali berpendapat bahagia adalah kelezatan yang sejati yaitu bilamana manusia dapat dengan tetap mengingat Allah.
Deskripsi di atas adalah kajian tentang definisi kebahagiaan dilihat dari sudut pandang religiusitas berikut ini akan dikaji definisi kebahagiaan dengan sudut pandang yang berbeda, yaitu dengan paradigma filosofis yang menyajikan pemikiran dari Puspoprojo, Aristoteles yang mewakili filsafat klasik dan Louis O. Kattsoff.
Richard Carlson bericara mengenai eksistensi bahagia, yang menurutnya definisi kebahagiaan adalah hak setiap orang dengan berbagai macam strata dan status, cuma pandang dan pola pemaknaan lebih lanjut ia mengatakan;
Seseorang pernah bertanya kepada saya, “Jika harus memilih satu frasa atau pedoman yang telah membantumu mempertahankan sudut pandang yang tepat ketika orang lain bersikap menjengkelkan, apa yang akan kau pilih?” Kata-kata yang keluar dari mulut saya adalah, “Semua orang berhak merasa bahagia”. Pikirkanlah sebentar. Semua orang ingin bahagia, orang-orang yang kamu kenal dan mereka yang tidak kamu kenal, orang yang kamu sukai dan orang yang tidak kamu sukai. Orang yang baik, orang jahat, semua orang ingin bahagia dan semua orang dengan caranya masing-masing mencoba menjadi bahagia. Bahkan orang-orang yang melakukan hal buruk sering melakukan hal buruk itu sebagai upaya aneh untuk membuat diri mereka sendiri lebih bahagia. Itu hanya bagian sikap manusiawi.
Definisi kebahagiaan menurut Puspoprojo adalah keinginan yang terpuaskan karena disadari memiliki sesuatu yang baik secara lebih spesifik ia memfokuskan pendapatnya pada konsep seseorang dapat merasa puas dan pasti mampu membatasi keinginan-keinginannya dengan membuat kompromi yang bijaksana. Tetapi, ada satu hal penting yang menurutnya perlu diberi perhatian khusus adalah bahwa kepuasan jasmani semata bukanlah kebahagiaan. Kebahagiaan adalah keadaan subjektif yang menyebabkan seseorang merasa dalam dirinya ada kepuasan keinginannya dan menyadari dirinya memiliki sesuatu yang baik. Keadaan semacam itu hanya ada dalam sesuatu yang mampu merenungkan dirinya dan sadar akan dirinya, yaitu makhluk yang berakal budi.
Kebahagiaan tidaklah sama dengan kegembiraan atau kesenangan. Kebahagiaan adalah suatu keadaan yang berlangsung (a lasting condition) dan bukanlah suatu perasaan atau emosi yang berlalu. Secara umum boleh jadi seseorang merasa bahagia meskipun ia sedang menderita kesedihan, demikian pula seseorang yang mengalami ketidakbahagiaan yang kronis juga bisa mengenal saat-saat gembira. Juga kebahagiaan bukanlah suatu disposisi atau sikap jiwa yang riang gembira, meskipun tidak disangkal bahwa hal-hal tersebut bisa menolong ke arah kebahagiaan. Sebab sebagian orang dapat memiliki perilaku demikian meskipun dalam menghadapi kekecewaan.
Filsafat moral memandang kebahagiaan kodrati saja (natural happiness). Kebahagiaan kodrati adalah pemuasan segala hasrat yang termasuk dan muncul dari kodrat telanjang manusia (man’s bare nature).
Aristoteles berpendapat bahwa kebahagiaan bukanlah suatu perolehan untuk manusia dan corak bahagia itu lain-lain dari berbagai ragam, menurut corak dan ragam orang yang mencarinya. Kadang-kadang sesuatu yang dipandang bahagia oleh seseorang, tidak demikian oleh orang lain, sebab kebahagian merupakan suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendak masing-masing. Ia juga berpendapat bahwa bahagia itu bukan mempunyai arti dari satu kejadian, melainkan berlainan coraknya menurut tujuan masing-masing manusia. Bahagia adalah tujuan akhir tiap-tiap manusia. Pendapat Aristoteles tersebut akan semakin beda apabila dipadukan dengan pendapat Hendrik Ibsen, yang secara mendasar ia frustasi dan kecewa dengan realitas kebahagiaan.
Hendrik berpendapat bahwa mencari kebahagiaan itu hanya menghabiskan umur, karena jalan untuk menempuhnya sangat tertutup. Setiap usaha untuk melangkah ke sana senantiasa memperoleh kecewa, karena mula-mula orang yang menujunya menyangka bahwa perjalanan telah dekat, tetapi secara nyata sangat jauh. Menurutnya, manusia belum pernah mencapai bahagia sebab setiap jalan yang ditempuh menjauhkan jalan manusia kepadanya.
Pendapat Hendrik Ibsen, berbeda dengan Leo Tolsyoy. Ia berargumen bahwa yang menjadi sebab manusia putus asa di dalam mencari kebahagiaaa ialah karena bahagia itu diambilnya untuk dirinya sendiri bukan untuk bersama. Padahal segala bahagia yang diborong untuk sendiri itu mustahil berhasil karena bahagia semacam itu selalu mengganggu kebahagiaan orang lain. Orang lain yang terganggu akhirnya responsif jika ia tersinggung dan berusaha mempertahankan diri oleh sebab itu bukan lagi menuntut bahagia memberi keuntungan, tetapi memberi kerugian bersama, pendapat Tolstoy ini mendapat pengakuan dari Bertrand Russel dan George Bernard Snaw.
Louis O.Kattsoff mengkaji kebahagiaan dengan mengkorelasikan etika. Diawal kajiannya ia suatu ajaran yang mendasarkan diri pada suatu tujuan. Tujuan berupa keselamatan abadi dan suatu teori yang memberi titik berat pada kenikmatan atau kebahagiaan dikatakan bersifat hedonistik. Hedonisme adalah suatu teori yang mengatakan bahwa kenikmatan atau akibat-akibat nikmat dalam diri manusia sudah mengandung kebahagiaan.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Richard Carlson, Jangan Meributkan Masalah Kecil Buat Para Remaja, terj. Rina Buntaran, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001). Ahmad Asy-Syarbashi, Yas’alunaka; Tanya Jawab Lengkap Tentang Agama dan Kehidupan, terj. Muhammad Attaf, (Lentera Basritama, Jakarta, 2001). Haji Abdul Malik Karim Amirullah, Tasawuf Modern, (Pustaka Panjimas, Jakarta, 2001). Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf; Dirasah Islamiyah IV, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993). Puspoprojo, Filsafat Moral; Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek, (Pustaka Grafika, Bandung, 1999). Diane Colline, Lima Puluh Filosof Dunia Yang Menggerakkan, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001). Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Barat, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001). Ahmad Syadali, Filsafat Umum Untuk Fakultas Tarbiyah dan Ushuluddin Komponen MKDK, (Pustaka Setia, Bandung, 1997). Wacana Hendrick Igsen lebih lanjut lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001). Harry Hamesma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992). Ahmad Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat, (Pustaka al-Husna, Jakarta, 1981). HarunHadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Kanisius, Yogyakarta, 1988).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar