Skip to main content

Argumen Kisah dalam al-Quran, Bukan Salinan

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 02, 2012

Sekelompok cendikiawan berpendapat, bahwasannya kisah al-Quran hanya merupakan bentuk salinan dari kitab-kitab sebelumnya, sehingga imajinasi kita seakan-akan mengatakan bahwasannya tolak ukur dan standar pembenaran dan pembuktiannya dilihat dari sisi historis dan denotasinya terhadap risalah dan kenabian adalah harus adanya kesamaan dengan pemberitaan-pemberitaan yang dikenal oleh para Ahli Kitab.
Kedua pernyataan diatas kalaulah kita hendak obyektif untuk mengkajinya lebih mendalam lagi sangatlah tidak representatif, hal ini didasari atas beberapa argumen:
Agumen pertama; Rasulullah tidak pernah mengadakan perjalanan keluar Makkah kecuali ketika beliau berumur 9 dan 25 tahun dalam sebuah perjalanan yang sangat singkat sekali sehingga tidak sedikit yang menyangsikan akan tuduhan diatas, disamping tidak adanya isyarat dalam al-Quran akan adanya indikasi-indikasi adopsi dari agama Nasrani. Walaupun Rasulullah pada saat itu mengadakan interaksi dengan agama Nasrani, akan tetapi ajaran agama Nasrani yang ditemukan oleh beliau adalah yang telah terdistorsi dan sudah jauh melenceng dari ajaran aslinya, hal ini disebabkan oleh keserakahan para pemuka agamanya serta polemik sengit yang terjadi diantara mereka disebabkan oleh permasalahan-permasalahan yang sifatnya sepele. Sungguh sangatlah tepat apa yang dilakukan oleh Abdullah Darraz dalam menggambarkan fenomena diatas sebagai sebuah aplikasi dari penafsiran firman Allah dalam surat al-Maidah:14
(Dan di antara orang-orang yang mengatakan, “Sesungguhnya kami ini adalah orang-orang Nasrani”, ada yang telah kami ambil perjanjian mereka tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya. Maka kami timbulkan diantara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang selalu mereka kerjakan).
Hal ini jugalah yang telah mendorong Huart untuk menyimpulkan bahwasannya gagasan yang menyatakan banyaknya pengaruh agama Nasrani dalam pola berpikirnya seorang reformis muda (Rasulullah) disebabkan apa yang beliau saksikan terhadap penerapan ajaran agama Nasrani di Syria sangatlah tidak beralasan, hal ini dikarenakan lemah dan kurang akuratnya dokumen-dokemen dan bukti-bukti sejarah yang menunjukkan akan hal itu secara valid.
Agumen kedua; Pribadi Rasulullah sebagai seorang yang “ummi” tidak membaca dan menulis dan keberadaannya yang jauh dari komunitas Ahl al-kitab, sehingga tidak memungkinkannya untuk menimba ilmu dari mereka. Pada saat yang sama kondisi intelektual kaumnya yang sangat rendah dimana ilmu pengetahuan yang sampai kepada mereka hanyalah sebatas yang bersifat natural dan retorika dan tidak adanya sebuah balai pendidikan tempat bagi mereka untuk saling belajar dan mengajar, hal ini sebagaimana yang digambarkan oleh al-Quran dalam surat Jum'at ayat 2; (Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacaakan ayat-ayatnya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka al-kitab dan hikmah, dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata). Adapun perjalanan mereka pada musim panas dan dingin ke negeri Syam dan Yaman hanyalah sebatas untuk berdagang dan tidak ada sangkut pautnya dengan masalah penyebaran atau perolehan ilmu pengetahuan.
Agumen ketiga; Tidak adanya sebuah pusat kajian yang bersifat agamis baik itu di Makkah maupun daerah-daerah sekitarnya yang menyebarkan ajaran-ajaran kitab suci sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Quran.
Kalaulah implikasi ajaran agama Yahudi dan Nasrani benar adanya terhadap lingkungan dan kebudayaan jahiliyyah pada saat itu tentunya akan ada sebuah terjemahan bahasa Arab atas kitab suci mereka, sebuah kenyataan yang tidak bisa terbuktikan secara historis. Bahkan al-Quran dalam salah satu ayatnya menyatakan: “Katakanlah ‘jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum TaurĂ¢t’, maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu merupakan orang-orang yang benar” (3:93). Ayat ini menggambarkan kepada kita bahwa tidak ada diantara orang Arab saat itu yang menguasai bahasa Ibrani, disamping sebagai bukti kuat akan tidak adanya sebuah terjamah Taurat yang berbahasa Arab.
Agumen keempat; Adanya perbedaan yang sangat fundamental antara al-Quran dengan Injil dan Taurat dalam beberapa permasalahan yang sifatnya prinsipil, seperti masalah ke-Tuhan-an Almasih, penyaliban dan kepercayaan trinitas disamping apa yang diisyaratkan oleh al-Quran dari pendistorsian kaum Nasrani terhadap Injil Isa Almasih.
Kita dapatkan bahwasannya surat-surat Makiyyah-lah yang banyak mengupas fase-fase kisah dalam Taurat secara rinci, dimana kita dapatkan surat-surat Madaniyyah mensarikan pelajaran-pelajaran yang bisa diambil dari paparan kisah diatas bahkan mayoritasnya hanyalah sebatas sindiran-sindiran belaka yang bersifat abstrak.
Tidak adanya seorang gurupun yang mengajarkan Rasulullah saw baik itu dari kaumnya maupun ummat-ummat yang lainnya.
Referensi Makalah®
*berbagai sumber
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar