Skip to main content

Asas Legalitas Hukum Pidana dalam Tinjauan al-Quran

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 04, 2012

Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana berbunyi : nullum delictum, nulla poena, sine previa, lege punalia (tidak ada delik, tidak ada pidana, tanpa ada peraturan yang mengancam terlebih dahulu). Asas ini dirumuskan oleh A. Von Feuerbach (1775-1883 M), seorang sarjana hukum pidana kelahiran Jerman, dan mempopulerkannya pada tahun 1801 M.
Asas legilitas ini juga telah dimasukkan dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) Indonesia dalam pasal 1 : (1) yang berbunyi :
Tiada suatu perbuatan yang dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Tujuan dari asas ini ialah agar orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang, terlebih dahulu mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya, jika perbuatan itu dilakukan. Dalam keadaan demikian, secara kejiwaan dia akan segan berbuat dan kalau dia melakukan perbuatan tersebut, berarti hukuman yang dijatuhkan kepadanya dipandang sudah disetujuinya sendiri.
Kalau dalam hukum positip, Feuerbach dianggap sebagai pencetus asas legalitas, maka jauh sebelum itu (sekitar abad VII M). al-Quran telah menyebutnya dalam beberapa ayat, antara lain :
وما كنا معذبين حتى نبعث رسو لا
….. Dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang Rasul (Q.S Al-Isra : 15) .
وما كان ربك مهلك القر ى حتى يبعث فى أمها رسو لا يتلوا عليهم أيتنا وما كنا مهلكى القرى الا واهلها ظالمون
Dan tidaklah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum dia mengutus diibu kota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepda mereka; Dan tidak pernah pula kami membinasakan kota-kota kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedhaliman (Q.S. Al- Qashash : ayat 59).
Al-Maraghi menafsirkan ayat pertama menyatakan bahwa sebagaimana sunnatullah (hukum alam) yang telah berlaku dalam alam ini, Sesungguhnya tidak seorang pun dijatuhi siksaan, baik siksaan dunia maupun siksaan akhirat atas perbuatan yang dilakukannya atau menantang perbuatan itu, kecuali kepadanya telah diutus seorang rasul untuk memberi petunjuk ke jalan yang benar, pembebas dari kesesatan, penegak argumentasi, pembawa undang-undang, dan peyeru dakwah.
Al-Alusi menafsirkan ayat kedua menyatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak menurunkan siksaan kepada penduduk suatu daerah (negara), sebelum mengutus seorang rasul kepada ibu kotanya dengan membacakan ayat-ayat Allah, untuk mengajak mereka kepada kebenaran dan memberi petunjuk kepadanya tentang hal ihwal kehidupan ini. Sebab, ibu kotalah merupakan pusat pemerintahan sauatu negara, pusat penetapan hukum, dan pusat pelaksanaan dakwah.
Berdasar dari kedua penafsiran di atas, dapat dipahami bahwa kejahatan apa saja yang diperbuat manusia sebelum datangnya rasul sebaga pembawa imformasi tentang aturan hidup manusia, khususnya yang berkenaan dengan perundang-undangan, maka kejahatan semacam itu belum dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum yang patut dijatuhi hukuman.
Dari pemahaman kedua ayat di atas dan ayat-ayat yang lain, para ulama merumuskan asas legalitas dalam hukum Islam yang berbunyi :
لاحكم لأفعال العقلاء قبل ورد النص (tidak ada hukuman bagi perbuatan bagi orang-orang yang berakal sehat, sebelum ada nas). Berdasarkan rumusan ini, ulama mengembangkannya dalam beberapa syarat, yakni dua syarat untuk orangnya dan dua syarat lagi untuk perbuatannya.
Syarat bagi orangnya ialah : (1) Sanggup memahami nas-nas syarak yang berisi hukum taklifi, dan (2) patut dimintai pertanggungjawaban dan dijatuhi hukuman. Sedangkan syarat bagi perbuatannya ialah : (1) perbuatan itu mungkin dikerjakan dan disanggupi untuk ditinggalkan atau dikerjakan, dan (2) perbuatan itu diketahui dengan sempurna oleh pelaku.
Kalau dibandingkan antara asas legalitas yang dikemukakan oleh Feuerbach dengan asas legalitas yang dibawa oleh Alquran, dapat ditemukan bahwa dalam al-Quran bukan saja harus ada undang-undang yang mengancam perbuatan baru orang itu dihukum, jika dia mengerjakannya. Akan tetapi, sebelum memberikan undang-undang yang melarang suatu perbuatan, terlebih dahulu diberikan penerangan (keterangan) mengenai perbuatan yang akan dilarang undang-undang tersebut.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta : PT.Bina Aksara, 1984). Moeljatno, KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), (Jakarta : PT.Bina Aksara, tth.). Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir : Mushthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, tth.), Juz XV. Syihab al-Din Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi, Ruh al-Ma’ani Tafsir al-Qur’an al-Azhim wa al-Sab’ al-Matsani, (Bairut : Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, tth.), Juz XX. Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 11986). Abdoerraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, (Jakarta : Bulan Bintang, 1986).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar