Skip to main content

Pengertian dan Syarat Hadis Shahih

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: July 12, 2012

Secara etimologis shahih berarti sah, legal, benar, tepat atau sehat, selamat dan sempurna. Adapun pengertian hadis shahîh secara istilah, adalah hadis yang sanadnya bersambung oleh orang yang adil, cermat dari orang yang sama sampai berakhir pada Rasulullah saw, atau kepada sahabatnya atai tabi’in, bukan hadis yang kontroversial dan terkena illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.
Menurut Abu Amir Usman bin Abd. al-Rahman bin Shalah al-Syahrazuri (biasa disebut Ibn Shalah), bahwa hadis shahih adalah yang bersambung sanadnya sampai kepada Nabi diriwayatkan oleh orang yang adil dan dhabit sampai akhir sanad (di dalam hadis itu), tidak terdapat kejanggalan (illat).
Dari pengertian hadis tersebut, maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur kaidah keshahihan hadis yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis adalah; (1) apabila sanadnya bersambung; (2) seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil dan dhabit; serta (3) hadis terhindar dari kejanggalan dan terhindar dari illat. Butir-butir tersebut telah mencakup sanad dan matan hadis dengan perincian sebagai berikut :
  1. Adapun butir-butir yang berhubungan dengan sanad ialah; (a) periwayat dalam sanad harus bersambung; dan (b) periwayat harus bersifat adil, dhabit, tidak janggal dan illat.
  2. Adapun butir-butir yang berhubungan dengan matan ialah; (a) ter-hindar dari kejanggalan; dan (b) terhindar dari cacat (illat).
Dengan mengacu pada unsur-unsur kaidah hadis di atas, maka ulama hadis menilai bahwa hadis yang memenuhi semua usnur di atas, dinamakan hadis shahîh. Apabila sebagian unsur tidak terpenuhi maka hadis itu bukanlah hadis shahih. Hadis yang sanadnya shahîh belum tentu matannya juga shahîh, dan sebaliknya.
Adapun penjelasan dari kelima unsur di atas sebagai berikut :
  1. Sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung sampai akhir sanad tersebut. Jadi seluruh rangkaian periwayat yang disandari oleh al-mukharrij (penghimpun riwayat hadis dalam karya tulis) sampai kepada tingkat sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi bersambung dalam periwayatan.
  2. Periwayat bersifat adil ialah secara etimologi kata adil berarti tidak berat sebelah, tidak memihak juga berarti sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Kata adil berasal dari bahasa Arab al-‘adlu merupakan masdar dari kata kerja ‘adala. Al-‘Adlu memiliki banyak arti antara lain keadilan, lurus dan condong kepada kebenaran.
  3. Periwayat bersifat dahbit ialah secara etimologi berarti kokoh, kuat, tepat dan hafal dengan sempurna. Secara terminologi periwayat yang dhabit adalah memahami, menghafal dan menyampaikan dengan baik apa yang telah didengarnya atau diterimanya dan bukan hanya sebatas materi hadis aja, hal ini berlaku di mana dan kapan saja dalam aktivitas kesehariannya.
  4. Terhindar dari keterjanggalan atau syâdz, yakni memiliki bahasa yang rancu serta sangat sulit untuk dapahami maksud atau kandungannya.
  5. Terhindar dari ketercacatan atau illat, yakni ta’n al-hadîs yang diistilahkan dengan hadis-hadis yang tidak memiliki sabda kenabian, misalnya karena tidak memiliki sanad atau memiliki sanad tapi perawinya tergolong cacat.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Lengkap (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997). Subhi Shaleh, Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu, diterjemahkan oleh Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas ilmu-Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993). Abu Amar Usman Ibn Abd. al-Rahman Ibn al-Shalah al-Syahrazuri, ‘Ulûm al-Hadîts, naskah ditelitih oleh Nuruddin (al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1972). Al-Nawâwiy, Al-Taqrîb li al-Nawawi Fann al-Ushûl al-Hadîts (Kairo: Abd. al-Rahman Muhammad, t. th.). M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis; Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1995). W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1982). Ahmad Ibn Muhammad al-Fayyumi, al-Misbah al-Munir fiy Gharib al-Sayrh al-Kabir li al-Rafi’i (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1978). Louis Ma’lûf, Al-Munjid fiy al-Lugah (Cet. XII; Beirut: Dâr al-Masyriq, 1977). M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Sanad Hadis (Cet.I; Jakarta: Bulan Bintang 1994).
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar