Skip to main content

Pengantar Metodologi Riset Ibnu Masarrah; Filosofi Menentukan Kebenaran

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: December 30, 2011

Dalam bukunya “Risalah al-‘Itibar”, Ibnu Masarrah mejelaskan bagaimana manusia dapat mencapai kebenaran yang hakiki (Tuhan). Buku ini merupakan upaya Ibnu Masarrah sebagai seorang filosof muslim setelah al-Kindi (filosof Arab) untuk menyelaraskan antara filsafat dengan agama. Dimana pada saat itu filsafat dan para filosof mendapat banyak kecaman dari kaum agamis. Mereka diserang sebagai pembuat bid’ah. Ibnu Masarrah sependapat dengan pemikiran al-Kindi bahwa filsafat tidaklah bertentangan dengan agama.
Penulis ingin menguraikan pendapat Ibnu Masarrah dalam usahanya untuk mencari kebenaran yang hakiki (Tuhan) dan diikuti oleh dalil-dalil al-Qur’an untuk menunjukkan bahwa filsafat dengan agama tidaklah bertentangan, menurut Ibnu Masarrah ada 2 cara :
1. Wahyu (agama)
Cara wahyu dimulai dari yang paling tinggi yaitu Tuhan, kemudian turun secara bertahap sampai kepada yang terendah (manusia). Artinya wahyu diturunkan oleh Allah melalui perantaraan malaikat Jibril, kemudian diberikan kepada manusia (dalam hal ini para nabi dan para rasul) kemudian para nabi dan rasul menyampaikannya kepada umatnya.
Sesuai dengan petunjuk al-Qur’an bahwa Tuhan adalah sumber segala ilmu pengetahuan dan Ia memberikan ilmu-Nya kepada manusia yang dikehendakiNya. Sebagian pengetahuan tersebut ada yang disampaikan Tuhan kepada nabi Muhammad saw melalui Qur’an secara essensial mencakup tentang moral, keimanan dan sebagainya. Sebagian pengetahuan tersebut ada yang diberikan Tuhan melalui usaha manusia. Pengetahuan yang kedua ini berkaitan dengan fenomena alam.
Wahyu inilah yang membimbing manusia untuk dapat mencapai kebenaran yang hakiki (Tuhan). Ibnu Masarrah sependapat oleh aliran mu’tazilah mengungkapkan mengenai fungsi wahyu. Bahwa wahyu dapat menjelaskan kepada manusia cara yang tepat menyembah Tuhan. Menurut Ibn Abi Hasyim (seorang tokoh Mu’tazilah) mengatakan bahwa ritual-ritual ibadah, seperti sholat dapat diketahui manusia bukan melalui akal tetapi melalui wahyu. Nabi-lah yang membawa ritual-ritual itu dan apa yang dibawa oleh nabi tidak boleh tidak mesti benar, dan ini menunjukkan fungsi wahyu.
2. Akal
Menurut Ibnu Masarrah, manusia telah dikaruniakan akal yang dapat berfungsi untuk mengetahui adanya Tuhan. Ibnu Masarrah menjelaskan lebih lanjut bahwa akal dapat mencapai pengetahuan akan adanya Tuhan melalui tanda-tanda yang ada pada makhluk-Nya, kemudian dengan mengamati dan mengambil pelajaran dari gejala-gejala alam dan apa yang terjadi di sekitarnya.
Cara akal dimulai dimulai dari yang terendah yang ada di bumi (manusia berfikir dengan akalnya) kemudian naik secara bertahap sampai kepada yang mahatinggi- Allah. Ibnu Masarrah menambahkan dengan menjelaskan keadaan para wali yang arif dan bijaksana (awliya al mustabsirin) “ Demi Tuhan, telah terbuka fikiran mereka dengan menyaksikan langit dan bumi dan dengan diutusnya para nabi dan rasul ke dunia ini.
Sebagai salah satu fungsi dari akal, Ibnu Masarrah menjelaskan mengenai cara i’tibar (mengambil pelajaran) atau ta’ammul. Ibnu Masarrah mengatakan “Allah telah memerintahkan kepada kita untuk mengambil pelajaran dari hal-hal tersebut (penciptaan langit dan bumi). Dan Allah menunjukkan kepada orang-orang Baduy adanya penciptaan bumi, sedangkan alam jagad raya dan makluknya serta tanda-tanda penciptaannya merupakan jalan yang ditempuh oleh para mu’tabir untuk sampai kepada yang MahaBesar.
Pendapat Ibnu Masarrah mengenai metodologi riset (pencarian kebenaran yang hakiki yaitu Tuhan), nampaknya sedikit berbeda dengan pendapat Ibnu Hazm. Menurut Ibnu Hazm kebenaran hanya diperoleh dari manusia saja. Ibnu Hazm menjabarkan mengenai bagaimana manusia dapat memperoleh kebenaran, yaitu melalui cara-cara :
3. Panca indera, Akal, Intuisi.
Menurut Ibnu Hazm, manusia dapat mencapai kebenaran dengan dua daya, yaitu daya indera dan akal. Daya indera mampu menangkap realitas obyek, sedangkan akal menangkap hal-hal yang abstrak. Kemampuan akal menurut Ibnu Hazm, lebih utama daripada kemampuan indera, karena daya indera yang normal sekalipun terkadang mengalami banyak kelemahan dan kekeliruan dalam menangkap realitas obyek dibandingkan kemampuan akal dalam tangkapannya terhadap obyek.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Syaikh Kamil Muhammad Muhammad ‘Iwaydhah, http : // www. Op. org/Nigeria/ Kenny/ Masarra.htm. Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Cet.I:Jakarta : UI-Press, 1987. M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an ; Tafsir Maudhu’I atas pelbagai persoalan umat, (Cet. VII: Bandung: Mizan, 1988. H. Ibrahim Khursyid, et.all, Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah ; Ibnu Hazm,Dar al-Syu’ub,t.th.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar