Skip to main content

Rububiyyah dalam Term Rab dan Rabbani

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: October 04, 2011

Menarik untuk dianalisis secara mendalam mengenai wahyu-wahyu pertama yang diterima oleh Nabi saw, kata yang digunakan untuk menunjukkan “Tuhan Yang Maha Esa” adalah Rabb bukan Allah. Dengan menelusuri ayat-ayat yang dimaksud, akan ditemukan aplikasi rubūbiyah dalam term Rab yang terinterpretasi di dalamnya, sebagai berikut;
1. QS. al-Alaq (96) sebagai wahyu pertama dalam lima ayatnya tidak terdapat kata Allah. Kata yang menunjuk pada-Nya adalah rabbika yang disebutkan sebanyak dua kali. Benar bahwa kata Allah ditemukan dalam ayat ke-14, tetapi para ulama sepakat bahwa ayat-ayat keenam sampai ayat terakhir dalam surat ini, bukan wahyu pertama.
2. QS. al-Qalam (68) sebagai wahyu kedua dalam keseluruhan ayatnya yang berjumlah 52 itu, tidak ditemukan satupun kata “Allah”. Yang ada adalah; 4 kali kata rabbika; 3 kali kata rabbanā; 2 kali kata rabbahu; dan satu kali kata rabbahum.
3. QS. al-Muzammil (73) sebagai wahyu ketiga ditemukan kata rabbika dua kali dan kata Allah tujuh kali pada ayat-ayat terakhir (kedua puluh). Tetapi, menurut Quraish Shihab bahwa ayat terakhir tersebut turun setelah nabi saw hijrah ke Madīnah, karena-ayat itu berbicara tentang keterlibatan para sahabat dalam peperangan, sedang-kan peperangan pertama baru terjadi pada tahun kedua hijriah.
4. QS. al-Mudaśśir (74) sebagai wahyu keempat dalam tujuh ayat pertama tersebut disebut kata rabbika sebanyak dua kali.
5. QS. al-Lahab (111) sebagai wahyu kelima, juga tidak ditemukan satu-pun kata Allah.
Dengan mencermati kronologis turunnya ayat-ayat al-Quran yang menggunakan kata rabb pada awal kenabian Muhammad saw, menujukkan bahwa kata rabb inilah yang pertama kali dipakai oleh Allah swt dalam memperkenalkan dirinya.
Menurut Abd. Muin Salim bahwa penggunaan Rabb dalam al-Quran menunjuk kepada Zat yang disembah, harus dalam bentuk makrifat, yakni al-Rabb. Oleh sebagian ulama mendefinisikan kata rabb tersebut sepadan dengan al-tarbiah (pendidikan). Alasannya adalah karena Allah yang mengatur dan memelihara makluk-Nya, sebagai mana dalam QS. al-Nisā (4): 23, yakni “وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ” (…dan anak-anak tiri kamu yanng berada dalam perlindungan kamu). Dalam hal ini, anak tiri disebut ربيب karena berada dalam pendidikan suami.
Dari kata rabb yang berarti “memelihara” tersebut terbentuk kata rubūbiyyah yang artinya “pemeliharaan”. Oleh karena itu, konsep rubūbiyah yang terkandung dalam term rabb tersebut berimplikasi pada masalah pemeliharaan. Dalam QS. al-Syū’arah (26): 18 sebutkan;
قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ
Terjemahnya: Fir`aun menjawab: "Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.
Interpretasi ayat tersebut dalam Tafsīr Ibn Kaśīr adalah أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا أي اما أنت ياموس الذي ربياناك فينا وعلى فراشنا وانعمناك مدة سنين …engkau hai Mūsa yang pada kami memeliharamu sejak kecil, dan kami menyejukkanmu bertahun-tahun lamanya). Jadi, kata nu-rabb-ika dalam ayat ini berkonotasi “memelihara”, yakni sejak kecil nabi Mūsa as dipelihara oleh Fir’aun, yang kemudian pada ayat selanjutnya (ayat 19) dalam surat tersebut Fir’aun berkata bahwa nabi Mūsa as tidak pandai membalas jasa baiknya (Fir’aun).
Manusia juga, terutama para orang tua harus tertanam pada dirinya sifat dan sikap rubūbiyah dalam bentuk memelihara anak-anaknya. Sebaliknya, sebagai anak harus mendoakan orang tuanya sebagaimana dalam QS. al-Isrā (17): 24, yakni; وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (katakanlah; wahai Tuhanku kasihanilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah memeliharaku sejak kecil). Artinya bahwa balasan yang terima oleh orang tua adalah akan “dikasihani” oleh Allah swt, karena mereka memelihara anak-anaknya sejak kecil.
Pada QS. al-Isrā (17): 24 tersebut di atas, kelihatan bahwa rubūbiyyah Allah swt untuk para orang tua yang memelihara anaknya sejak masih kecil. Di sini, hubungan antara orang tua dan anak dipersatukan dalam cinta yang istemewa, yakni rahīm. Kaitannya dengan ini, Dawam Rahardjo menyatakan bahwa, seandainya orang tua kita itu musyrik sekalipun, kita tetap harus bersikap baik dan tidak boleh membentak atau mengeluarkan kata-kata kasar, walaupun kita juga harus mengingatkan mereka agar meninggalkan ke-musyrikan. Kasus ini seperti ini, banyak terjadi di zaman Nabi saw. Karena pada waktu itu Islam menarik perhatian generasi muda. Sedangkan orang tua mereka, pada umumnya bersifat konservatif, mempertahankan kepercayaan lama. Terhadap mereka itu, Nabi saw menganjurkan agar mengingatkan dan menarik orang tua mereka ke jalan yang benar. Tetapi mereka dilarang, atas perintah Tuhan, Sang Pemelihara, menyakiti hati orang tua mereka. Cintah kasih anak kepada orang tua, adalah cintah yang lebih dengan cinta Allah dibandingkan dengan cinta yang lebih dengan cinta-kasih kepada yang lain. Apalagi cinta orang tua, terutama ibu kepada anak-anak mereka.
Konsep Rubūbiyyah dalam Term Rabbāni
Menurut Abd. Muin Salim bahwa kata Rabbāni secara leksikal adalah bermakna “menyembah Tuhan”, atau seseorang yang berilmu pengetahuan yang makrifah kepada Allah dan amat teguh berpegang kepada agama. Mufassir ini juga mengatakan bahwa kata rabbāni yang jamaknya rabbāniyyun bermakna orang-orang yang menegakkan atau mengamalkan isi al-kitab, dan dapat pula berarti menyelenggarakan kemaslahatan serta men-sempurnakan sesuatu.
Kata rabbāni dalam al-Quran disebut tiga kali, yakni Āli Imrān (3): 79; QS. al-Māidah (5): 44 dan 63. Berdasarkan penelusuran penulis, ketiga ayat ini berbicara tentang orang-orang Yahūdi, yakni “para pembesar dan para cendekiawannya yang berbakti kepada kehidupan masyarakat.” Untuk mengetahui implementasi rubūbiyah dalam term-term rabbāni tersebut, maka berikut ini akan dikutip salah satu ayat yang dimaksud, yakni QS. Āli Imrān (5): 79 sebagai berikut:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
Terjemahnya: Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
Menurut keterangan dari Ibn ‘Abbās sebagaimana yang dikutip oleh H. Abd. Muin Salim bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kedatangan utusan pendeta-pendeta Yahudi dan Nashrāni dari najrān. Ketika Nabi saw mengajak mereka memeluk Islam, Abū Rāfi’ al-Qurāzhi bertannya kepada Nabi saw, apakah ia berdakwah supa ia disembah sebagaimana orang-orang Nashrāni menyembah ‘Isā bin Maryam. Karena peristiwa tersebut, maka turunlah ayat tersebut. Dengan turunnya ayat ini, maka ditegaskan kepada mereka bahwa justru mereka itu diperintahkan menjadi rabbāniy dengan jalan mengajarkan dan mempelajari kitab suci.
Selanjutnya, term rabbāni dalam bentuk jamak pada QS. al-Māidah (5): 44 dan 63 yang di dalamnya termaktub kata al-ahbār (orang-orang berilmu) berhubungan dengan para ahli agama dari kalangan mereka, yakni ilmuan Yāhūdi. Ayat pertama dari dua ayat yang terakhir ini, diketahui bahwa golongan yang disebut rabbāni dan ahbār mempunyai status sosial sebagai pemegang kekuasaan politik. Sebab, seperti para nabi, mereka menegakkan hukum taurat dalam mengatur masyarakat. Sedangkan dalam ayat kedua, Allah swt mencela kaum rabbāni dan ahbār it karena mereka tidak mencegah kaumnya dari melakukan perbuatan dosa seperti memakan harta yang haram.
Memahami terminologi Rabbāniyah sebagaitata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan yang satu dan menuju kepada Tuhan yang satu. Karena kemahaesaan-Nya maka zat dan sifat Tuhan adalah tunggal, Dia adalah monoteisme mutlak dan tidak dapat didefinisikan dalam kerangka ruang dan waktu.
Rubūbiyah merupakan inti ajaran tauhid yang didalamnya tercakup transendensi keesaan dari segi Zat-Nya dan keesaan dari segi Sifat-Nya. Keesaan-Nya, tersucikan dari sifat dikotomi, dari bersekutu serta kesamaan atau keserupaan dari makhluk-Nya.
Tekait dengan rbūbiyah tersebut, maka Milton K. Mintz berpandangan bahwa Tuhan tidak sama dengan alam, tetapi Dia mempunyai hubungan dengan alam, karena adanya kenyataan bahwa alam ini sangat butuh dan sangat tergantung pada pemeliharaan-Nya. Hubungan kausalitas (ta’alluq) ini, sekaligus mengindikasikan bahwa Tuhan itu Esa dan tanpa sedikitpun Ia butuh kepada makhluk, justeru makhluk itulah yang butuh bahkan ia tergantung dari segala-segala-nya dari Tuhan. Karena semua makhluk tergantung pada Tuhan, maka harus dipahami bahwa Tuhanlah yang menentukan segala-segalanya.
Sampai di sini, dapat dirumuskan bahwa jika term rabbāni dikaitkan dengan term rubūbiyyah yang keduanya sebagai padanan dari kata rabb, akan berimplikasi pada adanya sikap komitmen yang tinggi dan dinamis terhadap ilmu agama dan kemaslahatan umat. Karena itu, dengan menanamkan kedua sikap ini secara bersamaan (rubūbiyyah dan rabbāni)dalam diri masing-masing, akan berwujud pada nilai spritual yang tinggi, yakni sikap untuk menyembah dan beribadah kepada Allah swt satu-satunya dan setulus-tulusnya. Karena itu, setiap muslim hendaknya mempunyai semangat yang tinggi dalam berketuhanan, yang mempunyai sikap-sikap pribadi yang secara sungguh-sungguh berusaha memahami Tuhan dan menaati-Nya.
Kepustakaan:
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm; Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997. Abd. Abd. Muin Salim, Jalan Lurus Menuju Hati Sejahtera, Jakarta: Yayasan Kalimah, 1999. Abū al-Fidā Ismail bin Kaśīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, juz IIISemarang: Toha Putra, t.th. M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi AlQur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsepKunci, Jakarta: Paramadina, 1996. Abd. Muin Salim, Fitrah Manusia dalam Al-Quran Ujungpandang: LSKI, 1990. Abd. Muin Salim, Fikih Siyasah; Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Quran, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1992. Tim Penyusun Yayasan Bimantara, Ensiklopedi AL-Qur’an,: Yayasan Bimantara, 1997. Milton K. Munitz, The Way of Philosphy (New York: Mac Millan Publisising Co Inc, 1979.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar