Skip to main content

Sahabat dalam Menerima dan Menyampaikan Hadis

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 09, 2011

Sahabat jumlahnya sangat banyak. Di antara mereka ada yang sehari-harinya bergaul, dan bertemu dengan Rasul, tapi tak sedikit pun yang karena alasan tertentu tidak dapat bertemu dan bergaul langsung dengan Nabi. Mengingat keanekaragaman dan keadaan para sahabat tersebut, maka cara sahabat menerima hadis dari Nabi pun berbeda. Cara para sahabat dalam menerima hadis dari Nabi dapat disebutkan sebagai berikut:
Secara Langsung dari Nabi saw
Maksudnya bahwa para sahabat mendengar, melihat dan menyaksikan langsung apa yang dilakukan, disabdakan atau segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi. Hal ini bisa dijumpai pada majelis Nabi atau sahabat langsung bertanya kepada Nabi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Secara Tidak Langsung dari Nabi saw
Pada bagian ini cara sahabat menerima hadis tidak langsung dari Nabi saw, baik itu mendengar, melihat atau menyaksikan langsung segala sesuatu yang berkaitan dengan Nabi saw. Hal in disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
Kesibukan para sahabat dalam mengurus kebutuhan hidup dan keperluan lainnya, sehingga mereka terkadang tidak sempat datang ke majelis Nabi, akan tetapi meskipun tidak hadir mereka tetap bisa menerima hadis Nabi dengan bertanya kepada sahabat yang menghadiri majelis tersebut.
Tempat tinggal yang berjauhan dari  tempat tinggal Nabi. Hal ini memungkinkan sahabat tidak dapat menerima hadis langsung dari Nabi akan tetapi menanyakannya kepada para sahabat yang lain.
Merasa malu untuk bertanya langsung kepada Nabi, karena masalah yang ditanyakan kepada Nabi, menyangkut masalah yang sangat pribadi. Sahabat yang memiliki masalah demikian, biasanya minta tolong kepada sahabat lainnya untuk menanyakan kepada Nabi.
Nabi sendiri sengaja minta tolong kepada sahabat, (biasanya kepada isteri beliau sendiri) untuk mengemukakan masalah-masalah khusus, misalnya yang berhubungan dengan soal-soal kewanitaan. Dengan demikian, maka penerimaan hadis dalam masalah yang seperti itu, oleh para sahabat diterimanya secara tidak langsung. Umpamanya tentang masalah haid. Pernah Nabi meminta kepada Aisyah untuk menjelaskan tentang tanda-tanda haid berhenti. Dalam hal ini Aisyah menjelaskan “ambillah sepotong kapas yang bersih kemudian letakkan di tempat darah. Jika kapas itu tetap putih, maka itu berarti tanda haid telah berhenti”.
Cara Sahabat Menyampaikan Hadis
Sahabat dalam meyampaikan hadis kepada sahabat lainnya menempuh dua cara yaitu:
Periwayatan secara lafadz
Periwayatan hadis secara lafaz adalah “periwayatan hadis yang redaksi atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasulullah Saw”. Maksudnya bahwa hadis  yang diterima lafadznya sama dengan lafadz yang disampaikan oleh Nabi. Para sahabat dalam meriwayatkan hadis menempuh jalan ini. Mereka berusaha agar dalam periwayatan hadis selalu sesuai dengan lafadz yang disampaikan oleh Nabi. Di antara para sahabat yang paling menuntut periwayatan hadis sesuai dengan lafazd asli dari Nabi adalah Ibnu Umar. Periwayatan hadis secara lafazd sangat sedikit disinggung pada buku-buku hadis yang ada.
Periwayatan secara makna
Periwayatan secara makna adalah periwayatan hadis “dengan maknanya saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkannya”. Perbedaan redaksi periwayatan ma’na ini tetap menjaga makna dan secara utuh sesuai dengan apa yang dimaksud dengan Rasulullah tanpa perubahan sedikit pun.
Terjadinya periwayatan secara ma’na disebabkan karena para sahabat berbeda-beda dalam tingkat kualitas daya ingat, ada yang hafalannya kuat dan ada yang lemah. Selain itu kemungkinan masanya sudah lama sehingga yang diingat hanya maksudnya saja sedangkan lafazd aslinya sudah tidak diingat lagi.
Rasulullah tidak melarang periwayatan hadis secara ma’na akan tetapi dalam meriwayatkannya sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika meriwayatkan hadis ada istilah-istilah tertentu yang digunakannya untuk menguatkan penukilannya, seperti dengan kata: qala Rasul saw hakadza (Rasul saw telah bersabda begini), atau nahwan atau qala Rasul saw qarîban hâdzâ.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa kebolehan muhaddis meriwayatkan hadis hanya apabila mereka memahami dan mengetahui dengan benar tentang Bahasa Arab beserta segala seluk beluknya, makna-makna dan kandungan yang terdapat dalam hadis yang dimaksud serta memahami kata yang bisa merubah makna dan kata yang tidak merubahnya. Ini dimaksudkan agar kandungan dan hukum yang terdapat dalam hadis tersebut tidak mengalami pergeseran makna. Akan tetapi bila perawi tidak memiliki kecakapan tersebut maka tidak diperbolehkan untuk meriwayatkan hadis, dan terjadi kesepakatan bahwa tidak ada kewajiban dalam menyampaikannya.
Imam Syafi’iy dalam hal ini menyebutkan bahwa orang yang meriwayatkan harus kuat agamanya, mengetahui hadisnya dengan benar, memahami apa yang diriwayatkannya dan mengerti kata-kata yang merubah maknanya dengan tepat.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Fatchur Rahman,Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits, Bandung: Alma’arif, 1974, Muslich Shabir, Terjemah Riyadhas Shalihin, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 2004, Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Bandung: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Imam az-Zabidi, Mukhtashir Shahih al-Bukhari (Ringkasan Shahih al-Bukhari). Malaysia: Crescent New, t.th.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar