Skip to main content

Pembelajaran Berbasis Demokrasi di Madrasah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 08, 2011

Konsep tentang Islam dan demokrasi telah mulai mendapat tempat signifikan dalam pendidikan politik Islam modern. Dalam upaya untuk menemukan suatu basis ideologis yang diterima oleh semua kalangan di dunia Islam, para pemikir dari berbagai kalangan masyarakat muslim mulai merambah misi baru untuk merekonsiliasi perbedaan perbedaan antara berbagai kelompok. Padahal menurut penulis Islam dan demokrasi saling memperkuat bahkan di dalam ajaran Islam terdapat nilai-nilai demokrasi.
Ada dua hal yang menjadi dilema di dalam pendidikan Islam. Pertama, berkaitan dengan elemen-elemen fenomenologis yang mengundang perdebatan apakah Islam compatible (cocok) dengan demokrasi atau tidak. Yang kedua, berkaitan dengan akar-akar demokrasi dalam pengalaman Islam.
Bagi sebagian kalangan, terutama dalam lingkungan akademis dan media Barat, wacana mutakhir tentang Islam memunculkan keraguan serius mengenai kompatibilitas Islam dan demokrasi. Alasan yang kerap dikemukakan adalah, kaum revitalis muslim punya kelemahan dalam hal komitmen mereka terhadap pluralisme dan demokrasi. Akibanya negara-negara dunia Islam selalu gagal dalam upaya membentuk suatu politik demokratis.
Sejalan dengan prinsip demokrasi pendidikan Islam, pendidikan menurut Poulo Freire (cendikiawan katolik dari Brazil),adalah pendidikan yang menempatkan manusia pada posisi sentral dalam setiap perubahan yang terjadi serta mampu pula mengarahkan dan mengendalikan perubahan itu. Mencela jenis pendidikan yang memaksa manusia yang menyerah kepada keputusan-keputusan orang lain. Pendidikan yang di usulkan adalah pendidikan yang dapat menolong manusia untuk meningkatkan sikap kritis terhadap dunia dan dengan demikian mengubahnya.
Kecenderungan Paulo Freire terhadap pendidikan di atas, tidak banyak berbeda dengan apa yang di ajarkan Muhammad saw, enam belas adab yang lalu: dengan konsepsi ajaran tauhid yang mulia serta praktek pendidikan dan dakwah Islam-nya yang begitu toleran terhadap perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan sahabat-sahabatnya. Beliau amat menghargai setiap perbedaan pendapat dari para sahabat , seperti perbedaan pendapat antara sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khatab.
Dalam konteks pendidikan Islam, Azyumardi Azra melontarkan suatu keprihatinan terhadap prestasi pendidikan Islam yang masih menempati posisi marjinal. Azra menyatakan bahwa; dikarenakan pengelolaan yang secara umum kurang profesional, pendidikan Islam seringkali kalah bersaing dalam berbagai segi dengan sub sistem pendidikan Nasional yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok masyarakat lain.
Bukan rahasia lagi, bahwa citra dan gengsi lembaga pendidikan Islam sering dipandang sebagai subordinat dari pendidikan yang diselenggarakan pihak lain.
Pendapat di atas memperlihatkan benang merah dari kelemahan besar yang diperlihatkan oleh lembaga pendidikan Islam yakni kelemahan menejerial, eksklusifitas dan rendahnya prestasi. Jika di amati, maka ketiga titik lemah tersebut, kesemuanya merupakan permasalahan yang sangat esensial.
Atmosfir reformasi yang mulai bergulir pada tahun 1998, tampaknya membawa angin segar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Politik pendidikan nasional berubah seiring dengan pergantian pemerintahan. Pada tanggal 7 mei 1999, presiden Habibie menandatangani Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Implementasi dari undang-undang tersebut meskipun belum bisa dilaksanakan sepenuhnya) akan segera mengubah secara drastis konsep penyelenggaraan negara. Dengan undang-undang ini, kabupaten dan kotamadya memiliki kewenangan yang sangat besar, termasuk dalam bidang pendidikan. Sebab dalam pasal 7 undang-undang no 22 tahun 1999 ini dinyatakan bahwa:
Dengan kata lain, salah satu imbas dari digulirkannya undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, telah menggeser pengelolaan pendidikan yang bersifat sentralistik menjadi pendidikan desentralistik.
Sebagai langkah awal dalam upaya membangun madrasah adalah bagaimana men-set ulang pola pikir para pengambil kebijakan dan pengelolah lembaga pendidikan tersebut. Bagaimana peningkatan citra dan gengsi madrasah dengan instrumen prestasi? Bagaimana megubah pola manajemen? Serta bagaimana meningkatkan partisipasi aktif masyarakat sehingga mereka merasa memiliki madrasah? Dengan kata lain madrasah tidak terpisah dari masyarakatnya. Kesemuanya merupakan pertanyaan-pertanyaan krusial yang harus segerah dijawab oleh para pengelolah madrasah.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Mun'im A. Sirry, Dilema Islam dilema demokrasi pengalaman baru muslim dalam transisi Indonesia, Jakarta: PT. Gugus Pres, 2002. Paulo Freire, Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasan dan Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Mukhtar Bukhari, Pendidikan dan Pembangunan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar