Skip to main content

Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Islam

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: September 10, 2011

Demokrasi dapat ditelusuri hingga zaman Yunani dengan Kota Athena sebagai pusat pemerintahannya, yang menghasilkan banyak pemikir dalam kurun waktu yang panjang (450-350 SM). Para pemikir terkenal  seperti Socrates (470-399 SM), Plato (390 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) sudah mengemukakan teori-teori tentang prinsip kekuasaan yang melibatkan rakyat.
Menurut Socrates bahwa kekuasaan tidak akan pernah mewujudkan keadilan kecuali harus melibatkan partisipasi penuh dari rakyat termasuk jika rakyat diakui sebagai suatu unsur dalam pengawasan sistem pemerintahan. Sedangkan Plato menyusun suatu teori yang terkenal melalui konsep Republic. Plato berpendapat bahwa demokrasi merupakan upaya untuk menempatkan hak-hak publik atas pengaturan suatu sistem kehidupan.
Meski istilah demokrasi berasal dari Athena yang dalam bahasa Yunani Kuno berasal dari dua kata; demos berarti rakyat dan kratos/cratein berarti pemerintahan, dan bahwa Athena dipandang sebagai model pertama dari sistem demokrasi namun, istilah ini dikembangkan dari waktu ke waktu sehingga mendapat penekanan dan bobot baru yang memperkaya pengertian demokrasi. Pada tahun 431 SM Pericles (1994:5) mengemukakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi penuh, sama di depan hukum dan dijunjungnya penghargaan atas segala cara pandang warga masyarakat secara utuh.
Konsep demokrasi memiliki posisi penting dalam ilmu politik bahkan tidak berlebihan jika disebut sebagai salah satu kata kunci utama dalam bidang ilmu politik dan pemerintahan. Itulah sebabnya indikator kemajuan dari suatu sistem pemerintahan salah satunya adalah kehidupan demokratis. Demokrasi berkembang pesat sebagai suatu landasan sistem pemerintahan sejak zaman modern.
Jalaluddin Rahmat (1996) menyatakan bahwa di era modern demokrasi dikenal bertitik tolak pada Revolusi Prancis dengan jargon utama; Egalite (Persamaan atau Kesederajatan), Fraternite (Persaudaraan), dan Liberte (Kebebasan). 
Dapat dikatakan bahwa salah satu penyangga demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi tiga kekuasaan negara yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang memiliki kesetaraan wewenang dan masing-masing independen secara fungsional, walaupun secara struktural dalam sistem pemerintahan yang nampak amat menonjol adalah eksekutif sebagai penyelenggara kekuasaan dalam menjalankan undang-undang dan amanat rakyat. Alexis de Tocqueville dalam juga menambah teori yang menguatkan demokrasi yang dikenal sebagai asas masyarakat sipil bahwa :
Masyarakat sipil merupakan suatu bagian sistem sosial yang didalamnya terdapat institusi-institusi “bukan negara” atau non-goverment dalam rangka mengimbangi kekuasaan institusi negara yang dikendalikan pemerintahan. Dengan demikian menurut Tocqueville masyarakat sipil bukan unsur yang bergantung penuh kepada Negara.
Menurut Juan J. Lins (2001:126) mengatakan bahwa :
Suatu sistem akan dianggap demokratis jika di dalamnya memungkinkan dirumuskannya secara bebas segala preferensi politik, dengan menggunakan kebebasan-kebebasan dasar, yaitu untuk berserikat, mendapatkan informasi, dan berkomunikasi, dengan tujuan membuka persaingan bebas di antara para pemimpi untuk mendapatkan keabsahan pada jangka waktu tertentu dengan saran anti kekerasan, tanpa menyingkirkan jabatan politik efektif apapun dari persaingan tersebut atau melarang anggota komunitas politik manapun untuk menunjukan preferensi mereka”
Dari penjelasan tersebut, maka “demokrasi” dapat diringkas sebagai konsep yang meletakkan dan memberi kekuasaan pada rakyat pada sistem pemerintahan dalam suatu kelompok masyarakat maupun negara, sebagai bentuk dan mekanisme suatu sistem pemerintahan dalam mewujudkan perimbangan kewenangan dalam menyusun, menjalankan dan mengadili proses pelaksanaan  undang-undang, pelibatan partisipasi publik secara penuh dengan memperhatikan asas-asas kesamaan hak, kesederajatan, penghargaan individu dan sebagai instrumen untuk menyeimbangkan antara konflik dengan konsensus (pertentangan dan kesepakatan-kesepakatan sosial).
Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan dapat ditemukan penjelasannya dalam ilmu politik  yang dikenal juga filsafat kekuasaan. Secara sosiologis, setiap individu dalam masyarakat memiliki kepentingan masing-masing yang dapat saja berbeda dengan kepentingan-kepentingan individu yang lain. Oleh sebab itu, di zaman kapanpun selalu terdapat suatu persepakatan kelompok sosial untuk meregulasi (mengatur) sistem kehidupannya. Dari sinilah pokok-pokok sistem pemerintahan dimulai. Syafinuddin Almandari (2005) mengatakan bahwa pada masyarakat yang paling primitif pun sudah dikenal sejenis sistem pemerintahan secara sederhana yang berusaha mengatur berbagai kepentingan dan hubungan antar individu.
Suatu masyarakat dapat dikatakan stabil jika terdapat komponen-komponen yang mendukungnya seperti; rakyat, pemerintah, dan ketentuan-ketentuan. Ada masyarakat yang ketentuan-ketentuannya itu berada di tangan pemerintahnya itu sendiri, misalnya masyarakat dengan sistem pemerintahan monarkhi. Bagi sistem ini konstitusi itu tidak terlalu penting karena pendapat dan perintah raja merupakan sesuatu yang berkedudukan sama kuat dengan konstitusi. Sedangkan pada masyakarat demokratis dikatakan bahwa konstitusi dipandang sangat perlu untuk mengurangi kewenangan pemimpin dalam menentukan kebijakan-kebijakannya, bahkan pemimpin itu sendiri harus taat kepada konstitusi.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas menujukkan bahwa yang dimaksud dengan “sistem pemerintahan adalah suatu perangkat bagian dari sistem politik yang berkenaan dengan penataan hubungan kekuasaan antara penguasa (pemerintah) dengan rakyat”.
Sistem Pemerintahan Islam
Teoritikus besar Muslim Iran, Muhammad Baqir Sadr (2001) mengemukakan bahwa Islam menganut sistem politik dan pemerintahan yang berlandaskan pada keluhuran fitrawi manusia. Apa saja yang dikehendaki manusia secara fitrawi sesungguhnya diajarkan sebagai tujuan utama sistem pemerintahan Islam.
Baqir Sadr (2001:30) menyatakan; “Sesungguhnya pemerintahan Islam diikat dengan kebenaran, keadilan, dan dukungan dari pihak-pihak yang dilemahkan dalam masyarakat.”
Prinsip dasar kemasyarakatan dalam Islam adalah hilangnya eksploitasi dan penindasan. Oleh sebab itu, misi pembebasan menjadi tujuan utama kemasyarakatan Islam, termasuk sistem politiknya. Murtadha Muthahhari (1989) menjelaskan bahwa suatu masyarakat yang di dalamnya terdapat praktik mengeksploitasi akan menyebabkan kematian suatu kaum. Kematian yang dimaksud bukan kematian individual, melainkan kematian sosial.
Ali Syariati (1995) berpendapat bahwa :
Masyarakat dan pemerintahan Islam bukan dicirikan oleh simbol dan jargon serta sejumlah pengakuan keislaman, melainkan dari suatu kesungguhan dan pembuktian bahwa di dalamnya ada upaya untuk membebaskan manusia dari ketertindasan. Dia membedakan antara agama yang dikampanyekan penguasa untuk kepentingan memelihara penindasan, dengan agama yang dianut untuk mengakhiri penindasan. 
Pemerintahan Islam berbeda dengan konsep Hegel yang menyatakan masyarakat sebagai realitas independen atau mandiri, tetapi merupakan kumpulan yang terbentuk dari individu-individu yang butuh untuk diurus secara kolektif, sehingga perlu didasarkan pada kepastian aturan (hukum) yang sesuai dengan fitrah atau karakter sejati umat manusia. Manusia dalam sistem pemerintahan Islam adalah setara di hadapan hukum dan harus mengakui seluruh kebajikan demokrasi dan menolak penggunaan prinsip demokrasi untuk suatu menindasan.
Keadilan adalah inti sistem pemerintahan Islam yang patut dijunjung tinggi. Sehingga jika suatu negara menyatakan memilih sistem pemerintahan Islam namun kering dengan dari upaya tegas menentang kezaliman politik dan ekonomi, maka sejatinya bukanlah pemerintahan Islam. Al-Qur’an menyebutkan asas ini dalam Surah al-Maidah/8, sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakkan keadilan karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum menjadikan kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dari penjelasan diatas tersebut diatas, dapat dinyatakan bahwa “sistem pemerintahan Islam merupakan bagian dari filsafat kekuasaan dalam Islam yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan hadis, yakni menjunjung tinggi dan memperjuangkan keadilan, kebenaran, serta menghapuskan penindasan”.
Referensi Makalah®
*Berbagai sumber
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar