Skip to main content

Orientalisme Vs Islam; Pengertian dan Sejarah

Oleh: Mushlihin, S.Pd.I, M.Pd.IPada: August 13, 2011

Dari segi bahasa, orientalisme dan orientalis berasal dari kata orient yang mengandung arti timur/asia timur. Sedang oriental mengandung arti orang timur/Asia dan timur. Sumber lain menyebutkan, orientalisme berasal dari bahasa Prancis orient yang berarti timur atau bersifat timur, dan isme berarti paham, ajaran, cita-cita, atau sikap.
Dalam literatur Arab, orient atau oriental digunakan kata شرق artinya timur. Sedang bentuk kata استشراق berasal dari kata شرق yang mendapat tambahan huruf alif, sien dan ta’, mengandung arti menuntut/mencari timur. Menuntut timur tidak maksud lain kecuali belajar ilmu-ilmu timur, sastra, bahasa dan agamanya. Dalam bahasa Latin, orient bermakna belajar atau mempelajari sesuatu, menurut bahasa Prancis kata orienter berarti arahan, petunjuk dan bimbingan, Sedangkan menurut bahasa inggeris orientation mengandung arti bimbingan atau yang berkaitan dengan bidang moral, masyarakat, pemikiran, atau bimbingan kepribadian dalam pemikiran atau spiritual. Oleh karena itu, tahun pertama sebagian perguruan tinggi disebut tahap orientasi. Dan, dalam bahasa Jerman, Sich Orientern bermakna mengumpulkan ilmu dan pengetahuan.
Menurut istilah, orientais mengandung arti orang yang mengetahui sebagian bahasa-bahasa timur, definisi inilah yang diyakini oleh Arberry tahun 1638 (seorang anggota persekutuan gereja-gereja timur), Anthony Wood tahun 1691, Samuel Clarke. Di tempat lain, Arberry yakin, sesuai dengan Oxpord Dictionary, orientalis adalah orang yang mengetahui bahasa-bahasa dan sastra timur Sumber lain menyebutkan, orientalis adalah ilmuwan yang mendalami bahasa-bahasa, kesusastraan, agama, sejarah, adat istiadat, dan ilmu-ilmu dunia timur.
Dunia timur yang dimaksud di sini adalah wilayah yang terbentang dari Timur Dekat sampai Timur Jauh dan Negara-Negara yang berada di Afrika Utara. Istilah barat dalam makalah ini, mengandung arti paham orientalis plus missionaris bukan barat dalam arti lawan timur secara geografis, tetapi sebuah paham yang tidak dapat melepaskan diri dari keyahudian, kekristenan atau keturunan etnis mereka ketika menulis tentang Arab dan Islam. Karena baik barat maupun timur secara geografis adalah dunia makhluk Tuhan juga sebagai mana manusia,hewan dan tumbuh-tumbuhan lainnya.
Dalam Ensiklopedi Nurkholis Majid, ia berkata; terdapat beberapa faktor yang menyebabkan barat sulit mengubah konsepnya dari negatif ke positif, pertama; karena sejarah permusuhan barat timur yang sangat panjang, kedua, berkaitan dengan riwayat paling akhir dari kolonialisme barat terhadap Islam di mana Islam tampak reaksioner dan ketiga, adanya tragedi Israel. Entah sampai kapan barat tidak lagi menjadi musuh. Satu hal yang pasti, al-Qur’an berbicara, tidak akan pernah berhenti. Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani atau orang-orang musyrik sama saja dalam hal ini. Meskipun cara dan gaya mereka berbeda dalam memusuhi Islam dan kaum muslimin, akan tetapi bertemu dalam satu tujuan yaitu, memusuhi dan berusaha memurtadkan umat Islam dari agama Islam. Dan, menurut catatan sejarah, seperti juga dikemukakan al-Qur’an, pemusuhan itu, bukan perkara baru. Kajian tentang timur dalam sejarahnya, tidak sebatas kajian murni, akan tetapi seluruh hasil kajian itu, dipersembahkan kepada missionaris dalam rangka membantu gerakan kolonialisme ke dunia timur, khususnya Islam Jika demikian adanya, maka wajar jika kajian barat tentang timur lebih khusus Islam diwaspadai. Artinya, menyaring apa saja yang datang dari barat menjadi keharusan, dalam rangka memilah untuk mengambil yang memberi manfaat saja.
Untuk bahan kajian dan analisis, orientalisme dapat dibedakan ke dalam tiga bagian:
  1. Keahlian mengenai wilayah Timur. 
  2. Metodologi dalam mempelajari masalah ketimuran.
  3. Sikap ideologi terhadap masalah ketimuran, khususnya terhadap Islam.
Tiga point di atas, berkumpul dalam istilah orientalis dan orientalisme, yang berkonsentrasi mengkaji kawasan timur, lebih khusus Islam.
Dari pengertian bahasa dan istilah di atas, penulis menyimpulkan bahwa orientalisme adalah sebuah paham/cara pandang, pengetahuan barat tentang timur, secara khusus Islam, sedangkan orientalis adalah orang yang mendalami ilmu-ilmu atau dunia timur.
Sejarah dan Latar Belakang Munculnya Orientalisme. Dapat disebutkan, setidaknya dua periodisasi muncul dan berkembangnya orientalisme. Dan, seluruh babak sejarah itu, menggambarkan perubahan demi perubahan cara pandang, tujuan dan telah melahirkan orientalis-orientalis dengan misi dan visi yang beragam tentang dunia timur. Dua periodisasi itu:
  • Masa sebelum meletusnya perang salib. Saat umat Islam mengalami zaman keemasannya (650-1250 M), Masa perang salib sampai masa pencerahan di Eropa, dan Munculnya masa pencerahan di Eropa sampai sekarang. Masa sebelum meletusnya perang Salib. Ketika umat Islam mengalami masa keemaannya, negeri-negeri Islam dengan gerakan ekspansinya, khususnya Bagdad dan Andalusia Spanyol menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan. Pada Masa ini, penduduk asli Eropa menggunakan bahasa Arab dan adat istiadat bangsa Arab dalam kehidupan sehari-hari. Mereka sekolah di sekolah-sekolah berbahasa Arab. Bahkan, diantara raja-raja Spanyol yang nonmuslim, seperti Peter I (w. 1104), raja Aragon, ada yang hanya mengenal huruf Arab. Al-Fonso IV mencetak uang dengan memakai tulisan Arab. Di Sicilia, juga sama, Raja Normandia, Roger I, secara khusus menjadikan istana kerajaan sebagai tempat pertemuan filosof, dokter, dan ahli-ahli Islam lainnya dalam berbagai bidang pengetahuan. Pada masa Roger II, pengaruh Arab semakin kental, antara lain pakaian kebesaran kerajaan, gereja-gereja dengan ukiran-ukirannya, bahkan mode pakaian wanita meniru budaya Arab. Pada Masa keemasan Islam bukan hanya berpengaruh bagi bangsa-bangsa Eropa yang berada di bawah kekuasan Islam masa itu, sehingga penuntut ilmu dari Prancis, Inggeris, Italia datang belajar ke perguruan dan universitas yang berada di Sicilia, Andalusia. Di antara pemuka Kristen, misalnya Gerbert d’Aurillac dan Adelard dari Bath (1107-1135 M) datang belajar ke Andalusia dan Sicilia. Dalam suasana seperti inilah muncul orientalisme di kalangan barat. Bahasa Arab dipandang sebagai bahasa yang harus dipelajari dalam bidang ilmiah dan filsafat. Bahasa Arab pada waktu itu, dimasukkan ke dalam kurikulum berbagai perguruan tinggi Eropa seperti di Bologna (Italia) tahun 1076, Oxpord (Inggeris) tahun 1167, Chartres (Prancis) tahun 1117. Dan muncul penerjemah generasi pertama pula pada saat itu antara lain Constantinus Africanus (w, 1087) dan Gerard Cremonia (w 1187). Perkembangan selanjutnya, pengajaran bahasa arab semakin meningkat. Di Itakia pengajaran bahasa Arab di adakan di Roma (1330 M), Florencia (1321 M), Padua (1361 M),Gregoria (1217 M). Di Perancis diadakan di Toulouse (1217 M), Montpellier (1221 M), Bordeaux (1441 M) sedang di Inggeris bahasa Arab dipelajari di Cambridge (1209 M), dan di bagian Eropa lainnya pelajaran bahasa Artab baru dipelajari sesudah abad ke-15. Dari Perang Salib sampai Masa Pencerahan Perang Salib berlangsung dari tahun 1096-1291 M yang membawa kekalahan bagi kaum Kristen. Tidak lama setelah itu, kerajaan Ottoma (Usmani) mengadakan serangan ke Eropa. Adrianopel ditaklukkan pada tahun 1366 M, Constantinopel jatuh pada tahun 1453 M, bahkan Yerusalem juga ditaklukkan oleh umat Islam menyusul Balkan. Kekalahan dalam perang Salib dan jatuhnya Constantinopel merupakan pengalaman pahit Kristen Eropa, sehingga raja-raja Eropa bersumpah untuk mengusir orang ‘kafir’. Di sinilah muncul semangat orang-orang Eropa untuk mengecam dan menyerang Islam dari berbagai kepentingan. Sebagai bias dari kebencian ini pengarang-pengarang Eropa mulai menulis buku-buku dengan gambaran yang salah campur kebencian terhadap Islam. Sumber lain menyebutkan, bahwa kajian tentang timur digalakkan dalam rangka membantu gerakan kolonialisme di satu sisi, dan sisi lain untuk pelecehan terhadap ajaran-ajaran Islam. Pemikiran ini muncul ketika orang-orang Kristen tidak sanggup lagi melawan kaum muslimin melalui pedang/senjata, sehingga mereka berpikir, cara baru memerangi umat Islam adalah melalui perang pemikiran/gazwu al-fikr. Ternyata cara ini, sangat manjur sehingga pengaruh pemikiran kebarat-baratan bahkan ke-mulhid-an telah merambah dunia timur.
  • Masa pencerahan sampai sekarang; Gambaran buruk Islam dan nabi Muhammad saw, dan permusuhan Kristen sejak setelah perang salib akibat tulisan-tulisan mereka mulai mereda setelah memasuki masa pencerahan (Enlightenment) di Eropa yang diwarnai keinginan mencari kebenaran. Pada masa ini kekuatan rasio mulai meningkat dari hanya memandang secara apriori. Karena sebuah tulisan yang dibutuhkan obyektifitasnya bukan mengada-ada. Pada masa ini mulailah muncul tulisan-tulisan yang bersifat obyektif dan terbuka, misalnya, tulisan-tulisan Voltaire (1684-1778) dan Thomas Carlyle (1896-1947). Periode ini sekalipun muncul penulis-penulis obyektif mulai memasuki masa kolonialisme. Orang barat datang ke dunia Islam untuk berdagang dan kemudian hendak menguasai dan menundukkan timur. Untuk tujuan ini, maka bangsa-bangsa timur perlu diketahui secara benar dan obyektif. Dengn jalan ini hubungan lebih dekat dan mereka lebih mudah ditundukkan. Maka gambaran Islam dan timur dalam tulisan merekapun mulai obyektif. Misalnya, tentang agama dan adat istiadat Indonesia, muncul tulisan-tulisan Marsden, Raffles, Wiken, Keyser dan Snouck Hurgronje. Bahkan Napoleon I mengadakan ekspedisi ke Mesir 1798, ia membawa sejumlah orientalis untuk mempelajari adat istiadat, ekonomi dan pertanian Mesir. Orientalis itu antara lain, Langles (ahli bahas Arab), Villoteau (mempelajari music Arab) dan Marcel (mempelajari sejarah Mesir. Meskipun pengaruh kolonialisme sangat kuat pada periode ini kuat, tetapi abad XX muncul orientalis yang berusaha menulis dunia Islam secara ilmiyah dan obyektif. Dalam tradisi ilmiah baru ini, bahasa Arab dan pengenalan teks-teks klasik mendapat mendapat kedudukan utama. Di antara mereka adalah Sir Hamilton A.R Gibb, Louis Massignon, WC. Smith dan Frithjof Schuon. Nama yang terakhir ini, misalnya pernah menulis Understanding Islam yang mendapat sambutan baik di kalangan dunia Islam. Meskipun harus disebutkan bahwa tidak semua tulisan orientalis modern tentang Islam dapat oleh rasa keagaman umat Islam. Selain serangan pemikiran orientalis-missionaris sejak sebelum perang salib di satu pihak, pada awal abad 19 M, ternyata di pihak lain sebagian penguasa wilayah Timur mulai silau dengan peradaban baru di Barat. Daulah Usmani sebagai Negara super power ketika itu, mulai tertarik dengan armada perang Eropa, sehingga Sultan Salim III mulai membangun armada tempurnya dengan mengikuti system armada perang eropa modern. Sultan Salim III, mendatangkan beberapa insinyur dan ahli militer dari Swedia, Prancis, Hungaria dan Inggeris untuk membangun dan melatih sistem angkatan bersenjata modern.
Belakangan, kaum orientalis berusaha membantah bahwa mereka bukanlah orientalis seperti yang dikenal selama ini. Akan tetapi mereka adalah Arabists (belajar tentang Arab), Islamists (belajar tentang Islam), dan Humanists (belajar tentang ilmu-ilmu kemanusiaan), atau bahwa mereka adalah orang yang secara khusus mengkaji iklim, sosial dan ekonomi di kawasan-kawasan dunia tertentu, termasuk dunia timur. Pengaburan istilah ini, dalam rangka makar. Mereka ingin berkata bahwa ini bukan makar, meskipun sebenarnya pengantian nama ini adalah makar di atas makar.
Referensi Makalah®
Kepustakaan:
John M. Echols dan Hasan Shadili, Kamus Inggeris–Indonesia, Jakarta, Penerbit Gramedia: 1996. Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 2001. Mazin bin Shalah Mithbaqani Dikutip dari CD dari Ma’arif Islamiyah. Mazin bin Shalah Mithbaqany, al-Istisyraq, Dikutip dari CD dari Ma’arif Islamiyah. Qasim Assamurai, Al Istisyraq bayna al Maudu’iyyah Wa al Ifti’aliyyah, terjemah oleh Syuhudi Ismail, Bukti-Bukti Kebohongan Orientalis, Jakarta, Gema Insani Press 1996. Budhi Munawar-Rahman, Ensiklopedi Nurkholish Majid, Mizan, Bandung, 2006. Imad al-Sayyid Muhammad Ismail al-Syarbini, Kitabatu ‘A’dai al-Islami wa Munaqasyatuha, Daru al-kutub al-Misriyyah; 1422 H/2002 M. Abdu al-Muhsin bin Zain bin Mut’ab al-Mathiriy, al-Tha’nu fi al-Qur’any al-Karim wa al-Raddu ‘ala al-thainin fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyar al-Hijriy. Abdul Majid Abdu al-Salam al-Muhtasib, Ittijahat al-tafsir fi al-Asri al-rahin, diterjemahkan Moh. Maghfur Wachid dengan judul Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, Bangil, Al-Izzah Press, 1997.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik referensi halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar
Tutup Komentar